29.5.17

Panggung Sastra: Suara Yang Menyala

Listrik yang sempat padam tidak menyurutkan orang-orang untuk datang ke lokasi acara Panggung Sastra Antologi Pendhapa 21 yang bertajuk "Suara Yang Menyala", yang bertempat di Pondok Pesantren Nailun Najjah Assalafy, Desa Kriyan Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara pada hari Rabu tanggal 24 Mei 2017.

Panggung Sastra Antologi Pendhapa 21 adalah semacam launching dari buku kumpulan puisi yang berjudul "Suara Yang Menyala", yang berisi puisi dengan beragam tema dari 11 orang penyair dari kota-kota di pantura Jawa Tengah, yaitu berasal dari Jepara, Kudus, Pati dan Rembang.

Mereka adalah Abdi Munif, Aloeth Pati, Alie Emje, Arif Khilwa, Asa Jatmiko, Asyari Muhammad, Bambang ES, Saliem Sabendino, Lelly Mettawati Widjaja, Yudhie Yarcho dan Zamroni Allief Billah.

Wijang J Riyanto in action

Sekitar jam 20.00 WIB acara dibuka dengan sambutan dari tuan rumah, kemudian dilanjutkan pengantar dari Taman Budaya Jawa Tengah selaku pemrakarsa acara ini, yang dalam hal ini diwakili oleh Wijang J Riyanto, yang seusai memberi kata pengantar beliau kemudian berpuisi.

Seperti disampaikan oleh Wijang J Riyanto, bahwa "Pelaksanaan kegiatan dengan berkeliling dari empat penjuru provinsi Jawa Tengah ini dimaksudkan agar sastra tidak hanya dinikmati dan diapresiasi oleh masyarakat di pusat-pusat kota, tetapi oleh seluruh lapisan masyarakat di manapun berada. Karya-karya yang terdapat dalam buku-buku yang diterbitkan tidak hanya tersimpan di Taman Budaya Jawa Tengah saja, melainkan juga disimpan di perpustakaan dunia seperti di Leiden, Cornell dan Washington."

Acara kemudian dilanjutkan dengan parade pembacaan puisi dari masing-masing penyair yang puisinya terdapat dalam buku antologi pendhapa 21 "Suara Yang Menyala".

Di tengah-tengah acara, hadirin sempat dikejutkan dengan kehadiran Bapak Marzuki, Bupati Jepara. Kemudian beliau didaulat untuk memberi sepatah-dua patah kata, dan tak hanya itu, beliau juga sempat bersyair.

Selain parade puisi dari para penyair yang ikut dalam antologi tersebut, acara dilanjutkan dengan penampilan dari beberapa penyair tamu, satu di antaranya adalah Kartika Catur Pelita, seorang penulis asal Jepara yang sudah menulis ratusan judul cerita pendek dan menerbitkan novel.

Kartika Catur Pelita sempat mengungkapkan kegelisahannya mengenai ketidak tahuan bapak Bupati Jepara tentang Akademi Menulis Jepara, juga betapa susahnya menerbitkan buku untuk penulis-penulis Jepara.

***

Acara selanjutnya adalah diskusi yang dipandu oleh Udik Agus DW,  ketua Dewan Kesenian Daerah Jepara dan pembicara Sunardi KS, seorang penulis senior dari Jepara, dengan tema "Sastra Yang Terpinggirkan."

Menurut Sunardi KS, "Banyak orang keliru beranggapan soal sastra dan sastrawannya, dianggap lusuh, garang, kontra dengan penguasa dan banyak lagi lainnya. Itu karena mereka jauh dari sastra. Padahal banyak juga sastra yang romantis dan relijius."

Kemudian Sunardi KS menyitir kata-kata yang berkait paut soal kepenyairan, yang pada intinya bahwa "Penyair menyeret beban dari sunyi ke bunyi bahasa. Akan gila seorang penyair yang diam memendam perkataan. Dan siksa penyair itu tak pernah berhenti."

Bagi Sunardi KS,  "Antara penyair dan puisi adalah sepasang kekasih yang tak bisa dipisahkan."

Menurut Sunardi KS, "Terpinggirnya sastra barangkali karena kesalahan penyairnya sendiri. Penyair sering menulis sesuatu dengan kata-kata yang terlalu sulit dipahami oleh orang lain."

Kemudian dialog dibuka dengan beberapa penanya yang masing-masing menanyakan atau bahkan menyuarakan kegelisahan soal dunia literasi di Indonesia yang tidak berjalan dengan semestinya. 

Ada salah seorang peserta diskusi yang menyatakan bahwa "Apresiasi terhadapp sastra di indonesia begitu memprihatinkan, sehingga sastra menjadi terpinggirkan."

Udik Agus DW selaku moderator sempat juga menyampaikan tentang rendahnya minat baca anak-anak sekolah di Indonesia, "di Amerika atau Rusia minat baca cukup besar. Tapi di Indonesia? Kecil sekali", katanya, yang kemudian ditanggapi oleh seorang peserta. "Apakah yg jadi masalah itu minat baca? Atau keterjangkauan bacaan?".

Ketika waktu sudah menunjukkan jam 24.00 WIB, acara kemudian ditutup dengan doa shalawat dan tarian sufi.

***
-- pada akhirnya: dari sepi kembali ke sepi.