28.8.15

Tjatatan Terakhir



"This is the end, beautiful friend.
This is the end, my only friend, the end"1

^^

Sudah bertahun-tahun aku merasakan sakit di kepala. Pertama-tama kupikir ini adalah sakit kepala biasa, tapi lama kelamaan ternyata rasa sakit ini menjadi luar biasa. Tidak hanya ketika aku sedang memikirkan sesuatu, tapi juga ketika aku sedang tidak memikirkan apa-apa. Entah. Aku tak tahu apa sebenarnya sakit yang kuderita ini. Pun dengan namanya, aku tak tahu. Tapi, semakin lama rasa sakit ini semakin menekan. Tak peduli di saat apa pun. Kadang datang di saat aku sedang tidur, hingga membuat aku terjaga di tengah tidurku di tengah malam seperti "baru saja" bermimpi buruk. Tapi kadang juga datang di saat aku sedang mengerjakan sesuatu. Pernah aku sampai harus membanting Gibson-ku, gara-gara rasa sakit itu datang ketika aku sedang menggarap lagu untuk albumku yang akan datang.

Kadang aku berpikir, apakah ini adalah karena begitu beratnya tekanan yang aku terima sebagai akibat dari meledaknya "Nevermind", sehingga job untuk pentas selalu datang, tidak pernah berhenti dari satu kota ke kota yang lain, dan membuat aku tak sempat lagi untuk beristirahat secara total? Atau ini adalah sebuah kutukan, karena ternyata kakek dari kakekku dulu pernah mengalami hal seperti ini? Entah.

Jujur, aku sudah bosan bahkan muak dengan segala puja-puji dari semua orang karena meledaknya albumku. Bukan apa-apa, hanya aku merasa dengan itu semua membuat aku tidak bisa bebas lagi melakukan hal-hal yang kusenangi. Aku tidak bisa bebas lagi berjalan-jalan tanpa ada orang-orang yang mengerumuniku. Bahkan setiap aku melakukan sesuatu, pasti ada yang akan bilang,"Hei! Jangan lakukan itu! Itu tidak pantas untukmu! Itu akan mempengaruhi imejmu nanti!". Begitu dan seterusnya. Aku hanya diam saja, sambil dalam hati membatin,"Persetan dengan segala macam imej!".
Aku merasa tidak pantas untuk mendapatkan puja-puji tersebut, karena apa yang kulakukan itu adalah hanya karena untuk menyenangkan hatiku saja. Aku tidak peduli apakah orang lain akan senang atau tidak. Kalau sekarang aku dianggap sebagai pahlawan, itu adalah kesalahan mereka. Kenapa mengganggapku sebagai pahlawan atau dewa?

^^

Aku ingat, waktu perayaan ulang tahunku yang ke 17, aku marah dan menyuruh orang-orang untuk berhenti dan tidak usah menyanyikan lagi lagu "Panjang Umur".
Mereka bertanya,"Kenapa ?".
Aku menjawabnya,"Aku tidak ingin panjang umur! Aku ingin mati di saat usiaku 27 tahun!".
Mereka bertanya lagi,"Kenapa?".
"Karena aku ingin seperti pahlawan-pahlawanku", jawabku.
"Siapa mereka?".
"Jim Morrison, Jimi Hendrix, Janis Joplin".
"Oh! Dasar orang gila!", begitu kata orang-orang itu.

Aku juga benci Chairil Anwar. Karena aku tidak suka dengan satu baris kata dalam puisinya, “..Aku ingin hidup seribu tahun lagi3..”. Kadang aku heran pada Chairil, apa yang dipikirkannya pada waktu dia menulis baris itu. Apa dia mau, hidup sampai tua dan penyakitan? Dasar!!

Bila sudah mulai bosan dengan apa yang ada di hadapanku, aku akan melarikan diri ke candu, obat atau minum. Tapi sudah beberapa waktu ini, aku sudah tidak bisa lagi menikmati semua itu. Tidak tahu, apakah karena rasa sakit di kepala yang semakin sering datang menjenguk, sehingga membuatku semakin susah untuk berkonsentrasi pada satu hal. Atau karena ada sebab lain, yang aku belum tahu. Aku tak tahu.
Aku juga sudah tidak bisa lagi menikmati hubungan seksual dengan Sophie, istriku tercinta yang sudah melahirkan anakku, perempuan kedua yang tercantik dalam hidupku, Bean. Kalaupun aku melakukannya dengan Sophie, aku hanya berusaha untuk memuaskannya. Sedang untukku sendiri, kadang aku harus bermasturbasi! Seperti ketika aku masturbasi dan membiarkan spermaku ikut memberi warna dalam lukisan yang sedang kukerjakan, dulu.

^^

Mungkin ini sudah waktunya, aku harus mengakhiri semuanya. Di saat rasa sakit di kepala yang kuderita semakin terasa menyesakkan. Di saat beban yang ada semakin tidak tertanggungkan. Di saat semua tekanan yang ada semakin membuatku merasa tidak nyaman.
Mungkin memang sudah waktunya untukku mengakhiri semuanya. Sekali lagi, mengakhiri semuanya. Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 27. Seperti keinginanku sejak dulu, aku tak ingin hidup lagi selebihnya dari 27 tahun. Dan karena Tuhan tidak segera memanggilku, maka aku memutuskan untuk menghadap langsung saja padanya, dengan harapan nanti di sana aku akan dapat bertemu dengan pahlawan-pahlawan masa kecilku yang sudah lebih dulu pergi.
“Sophie istriku, apapun yang terjadi aku tetap dan akan selalu mencintaimu. Maafkan atas semua kesalahan yang telah kulakukan padamu. Terima kasih telah mau menemaniku di saat baik maupun buruk. Terima kasih juga telah memberiku hadiah termanis, Bean, anak kita. Kumohon tetaplah hidup, untuknya, untuk hidupnya yang lebih baik tanpa aku. Dan sampaikan padanya, aku bangga dan sayang padanya. Juga sampaikan maafku karena tidak bisa mengantarkannya beranjak dewasa. Sampai ketemu lagi di kehidupan yang akan datang. Aku cinta padamu. Aku cinta kalian”.

“Untuk semua teman-teman, terima kasih atas semua dukungan dan bantuannya. Terima kasih atas semua cinta dan simpatinya. Ingat, lebih baik terbakar habis daripada memudar!"
^^
....Kurdt, Gitaris dan Vokalis Nirvana ditemukan tewas di sebuah kamar dengan kepala pecah tertembak pistol Remington M-11 pada hari ulang tahunnya yang ke 27. Diduga Kurdt tewas bunuh diri dengan cara menembakkan pistol ke dalam mulutnya sendiri. Bersama tubuhnya ditemukan pula Aspirin, Jack Daniels, sebungkus Marlboro yang masih tersisa 3 batang, secarik kertas berisi tulisan yang diduga sebagai surat dan sebuah pistol ....

Terdengar suara seorang reporter dari sebuah stasiun televisi yang membacakan sebuah berita tentang kematian salah seorang personel band Nirvana.

Televisi kumatikan, segera kugendong Bean dan kubawa dia ke mobil di mana Sophie sudah menunggu. Hari ini adalah hari ulang tahun Fla yang ke 3. Dan kami akan ke Disneyland.[]

Catatan:
1) Lirik lagu “The End” The Doors.
2) Salah satu album masterpiece Nirvana
3) Satu baris kata puisi Chairil Anwar


Episode Keabadian



[1]
Rambut gondrong, celana jeans robek di bagian lutut dan t-shirt putih bergambar sampul album band Sonic Youth, rokok di tangan, itulah atribut yang selalu melekat padanya. Kurt, namanya. Seorang vokalis sebuah band yang baru-baru ini albumnya meledak hebat di pasaran. Dan karena lirik-lirik lagunya yang lugas, tanpa batas dan kompromi, dia dianggap sebagai juru bicara generasinya.
Tapi orang-orang itu tak pernah tahu, apa sebenarnya yang dirasakannya. Orang-orang hanya melihatnya sebagai sosok yang sukses menjual jutaan kopi albumnya ke seluruh dunia, tanpa pernah mau tahu apa sebenarnya yang ada di dalam hatinya.
Sudah lama ia muak dengan apa yang telah ia dapatkan, nama tenar, uang melimpah dan segala fasilitas serta kemudahan-kemudahan lainnya. Tapi bukan itu yang ia inginkan, ia hanya ingin bernyanyi, tak peduli orang senang mendengarnya atau tidak. Ia muak dengan perlakuan para fans yang selalu mengelu-elukan namanya ketika di atas panggung, tapi ketika nanti ia sudah tidak bisa apa-apa, mereka akan dengan mudah melupakan dan menganggapnya tidak pernah ada. Ia juga muak dengan apa yang ditawarkan para penggemar kepadanya.
Pernah suatu kali, penggemarnya seorang perempuan muda yang bahkan payudaranya saja belum tumbuh menawarkan diri untuk memberikan keperawanannya, dan ia menolaknya. Dengan itu semua, yang dilakukannya adalah mengkonsumsi heroin secara rutin untuk menghilangkan semua kemuakan yang dirasakan.

Sudah dua bulan ini ia keluar masuk rehabilitasi, tapi tak pernah kelihatan hasilnya.
Orang-orang menganggapnya nyeleneh, aneh. Kadang ia menggonggong seperti anjing di pelataran parkir mobil. Kadang ia tertawa keras, tanpa ada sebabnya. Tapi kadang ia juga terlihat murung, diam dan menyendiri. Ia lebih kelihatan sebagai seorang “gelandangan” daripada seorang “bintang besar”.
Kemarin ia lari dari tempat rehabilitasi, dan orang-orang tidak ada yang tahu kemana perginya.
Hingga tiga hari kemudian, polisi menemukannya tewas dengan kepala tertembak, pistol di tangan kiri, dan secarik kertas bertuliskan,”…you have raped me harder than you’ll ever know…”.

[2]
Jendela kamar selalu tertutup, sehingga tak ada udara segar yang masuk. Cahaya matahari pun masuk hanya lewat celah-celah yang ada di atas jendela. Pengap, sesak, belum lagi asap rokok yang mengepul dari bibirnya. Tape deck butut lamat-lamat mengalunkan “Juwita Malam”nya Ismail Marzuki dalam versi keroncong.
Ia masih saja asyik menulis. Menulis apa saja, sajak, cerita atau hanya sekedar coretan-coretan yang tak tentu rimbanya. Di depannya, segelas kopi pekat sisa semalam yang tinggal separuh dan setangkup roti bakar dengan telur mata sapi di tengahnya, menemaninya. Tumpukan kertas terletak di atas meja, dan beberapa buku tampak tergeletak begitu saja di sudut kamar. Beberapa gumpalan kertas tersebar di beberapa sudut dalam ruangan ini.
Sudah beberapa minggu ini ia tinggal di kamar ini. Sendiri tanpa ada yang menemani. Hanya kadang-kadang saja ada teman yang mengunjungi, itu pun hanya sebentar, paling hanya untuk menengok keadaannya. Bahkan sudah hampir seminggu ini tak ada teman yang mengunjungi.

Ia terbatuk. Tubuhnya semakin kurus bila dibandingkan dengan keadaannya beberapa bulan sebelumnya. Sekarang ini ia nampak kumuh dan penyakitan. Ia terbatuk lagi, dan nafasnya mulai tersengal-sengal, penyakit yang menyerang paru-parunya kambuh lagi. Ia terbatuk lagi, dan kali ini disertai dengan dahak yang keluar dari mulutnya, berwarna hitam, kental dan ada sedikit bercak berwarna merah di situ, merah darah.
Ia masih belum menyerah. “Juwita Malam sudah masuk bagian reffrain. Di ambilnya roti, coba dimakannya, tapi dimuntahkannya lagi sepotong roti yang tadi berhasil digigitnya. Cuh!, ia muntahkan potongan roti ke bawah meja dekat kaki yang sebelah kanan.

Beberapa lama, ia masih asyik menulis. Masih terbatuk. Dan mungkin karena kepayahan, ia nampak pulas tertelungkup di atas kertas-kertas yang berserakan di meja.
Di atas ranjang, tergeletak satu eksemplar buku baru, masih bersegel plastik dengan tulisan,”AKU, kumpulan sajak oleh Chairil”.

[3]
…is everybody in? the ceremony is about to begin!…1

Musik mengalun pelan. Ia duduk sambil menghisap rokok, dan di tangan kirinya memegang sebotol vodka. Di depannya, sebuah layar televisi hitam putih 21 inci sedang menampilkan rangkaian gambar-gambar dari pemutar video yang terletak di atasnya.

Gambar-gambar itu bercerita, tentang sekumpulan bocah-bocah yang sedang berpesta di acara ulang tahun salah satu temannya, tentang seorang lelaki yang sedang berjalan-jalan di pantai sambil membawa buku Jack Kerouac “On The Road”, tentang sebuah band yang sedang mengadakan tour di sebuah kota besar di Amerika bagian utara.

Suatu hari ia dan bandnya sedang tour di suatu kota, ketika di panggung, pada saat menyanyikan lagu ketiga, orang-orang melihatnya bernyanyi sambil berdansa dengan gaya yang aneh. Padahal menurutnya, ia sedang bernyanyi dan berdansa dengan sekelompok orang-orang Apache di sebuah ritual acara penyembahan yang dilakukan oleh suku tersebut.

Seteguk vodka langsung dari botol meluncur ke perut melalui kerongkongan. Tubuhnya sekarang telah berbeda dengan tubuhnya yang dulu. Kini, perutnya telah dilapisi oleh tumpukan lemak yang membuat beberapa gelambir nampak menghiasi beberapa permukaan perutnya. Wajahnya pun kini sudah tak klimis lagi, penuh dengan bulu yang dibiarkan  memanjang tanpa pernah di cukur.

Gambar-gambar masih bercerita. Menampilkan keabadian dalam istilahnya sendiri. Ia masih belum beranjak dari tempatnya duduk. Masih dengan rokok di tangan kanan, dan vodka di tangan kirinya. Di belakangnya, poster dirinya berpose seperti Jesus saat disalibkan, menempel gagah di dinding kamarnya. Televisi menampilkan gambar seorang perempuan muda berambut ikal-pirang sedang tertawa-tawa dan menari-nari,”Ah, Pam, di mana sebenarnya kau kini? Aku merindukanmu!”. Ia bergumam sendiri.

Berdiri, meneguk lagi vodka dari botolnya. Memandang keluar ke arah bukit di sebelah selatan kamarnya, tempat pemakaman para tokoh-tokoh besar,”Jika aku mati nanti, aku ingin dimakamkan di sana”, katanya pada dirinya sendiri.

Berjalan perlahan ke kamar mandi. Berbaring di bath tub, dengan rokok di tangan kanan dan vodka di tangan kiri. Memejamkan mata. Mencoba menikmati segala kebekuan dan keabadian menurut caranya sendiri. Ia tersenyum, seperti menjemput malaikat maut yang akan membawanya ke surga.

[4]
Aku merasa seperti berada di taman labirin. Aku tak bisa menemukan jalan keluar. Semua buntu. Suntuk. Aku tersesat. Tak tahu harus menentukan, cara apa yang akan kutempuh untuk menyongsong keabadian. Kematian.


1 Lirik lagu “Awake Ghost Songs” The Doors

"d"


AKU dinamakan “D”, entah apa arti dan maksudnya, aku tak pernah tahu. Siapa orang tua kandungku, aku tak pernah tahu. Dari cerita orang-orang yang kudengar, aku adalah bayi yang ditemukan tergeletak di depan pagar rumah yang sekarang kutinggali, pada suatu subuh bertahun yang lalu. Dan menurut mereka, aku (mungkin) adalah anak hasil dari hubungan gelap, yang tak pernah dikehendaki kelahirannya, dan akhirnya dibuang begitu saja.

            Siapa pun aku, siapa pun orang tua kandungku, bagaimana keadaan ketika aku dilahirkan, aku tak peduli. Dan sekali lagi, aku tak pernah peduli itu.



            INI adalah malam ke seratus, sejak aku menjelajahi ribuan situs untuk memuaskan kesenanganku, menghabiskan waktu. Pusing, pening mulai datang. Migren. Kepala serasa mau meledak, dan aku menyesal tidak memasang pemindai di kepalaku agar aku bisa tahu berapa banyak virus dan cacing yang berdiam dan tinggal di otakku, dan berpesta pora di sana sehingga membuat otakku menjadi semakin bebal jika digunakan untuk memikirkan sesuatu.

            Di layar, masih terpampang foto Adolf Hitler menghisap cerutu sambil memandangi ribuan mayat bergelimpangan di ujung sepatu hitamnya. Aku demikian tergila-gila dengannya. Entah apa yang menyebabkannya, aku sendiri tak pernah tahu. Aku sering berpose sepertinya, dengan posisi tangan melambai, aku bisa merasakan kepuasan yang luar biasa melebihi apa yang pernah kurasakan ketika pertama kali melakukan masturbasi pada saat masih kelas 5 SD.

            Aku mengantuk, tapi mata ini tetap tak mau terpejam. Kupaksa untuk memejamkan mata, tetap tak bisa. Aku terbaring di ranjang, dan menatap dinding kamar yang penuh dengan poster orang-orang yang begitu aku agungkan; Ozzy, Hitler dan Jim Morrison, dan membuatku selalu ingin menjadi seperti mereka. Abadi.

Jantung sudah berhenti berdetak, bahkan paru-paruku pun sudah lama tak berfungsi lagi, sejak Marlboro mengirimkan ribuan miligram nikotin ke sana. Sering aku terbatuk dan mengeluarkan dahak bercampur darah yang berwarna hitam, tapi kebiasaan ini tak bisa begitu saja kutinggalkan. Sama seperti ketika aku tidak bisa meninggalkan kebiasaanku yang lain; memotret bugil perempuan-perempuan yang mau di bayar hanya dengan sebutir ectasy dengan kamera hitam putih milikku satu-satunya, atau minum kopi pahit dengan iringan musik rock yang kusetel dengan volume kencang, juga masturbasi sambil menonton film-film porno bajakan yang kubeli dengan harga 15 ribuan per keping.
             
Di sudut, masih mengalun sayup-sayup suara Ozzy membawakan “Dreamer” dari tape deck butut, yang kubeli dari pasar loak setahun yang lalu. Kadang aku mengandaikan diriku sebagai “aku” seperti yang terdapat dalam lirik lagu tersebut, dan aku merasa benar-benar ada di dalam lagu itu. Ya, sepertinya aku adalah seorang pemimpi.

            “Aku bermimpi Friedrich Nietzsche membisikiku bahwa semua laki-laki itu jahat!”, kata Bean padaku.
“Aku tidak melihat ada keindahan sedikit pun pada tubuh seorang laki-laki. Tak ada yang menarik!”

Aku hanya terdiam mendengarnya bicara, aku masih sibuk mengedit dan memanipulasi foto-foto bugil dari perempuan yang baru saja kupotret tadi pagi.

            “Laki-laki adalah binatang. Mereka sering memperlakukan perempuan hanya sebagai obyek saja, setelah keinginannya terlampiaskan, dengan mudah dia akan mencampakkannya begitu saja seperti sampah yang tak berguna”.

Bean masih terus berkata-kata, menyumpah serapahi laki-laki. Aku tak dapat mengingat semua kata-katanya, karena aku tak pernah memikirkannya. Itu adalah masalahnya, dan aku tak ingin terlibat dengan masalah itu.

            “Aku benci semua laki-laki, termasuk semua laki-laki yang pernah meniduri aku”, lanjutnya lagi.
“Berarti kamu benci padaku, karena aku pernah tidur denganmu?”, sahutku kemudian, sambil tersenyum kecil.

Bean terdiam. Aku terdiam. Dan kami berdua terdiam, tenggelam dengan kesibukan masing-masing. Bean berbaring di ranjang, melamun, dan aku melanjutkan kegiatanku tadi yang sempat terhenti.

            Sementara itu, detak jarum jam di dinding kamar sibuk mengabadikan kebekuan ini.

            Aku mencoba mengaduk-aduk memori otakku yang kurasa sudah penuh dan semakin lambat saja memikirkan sesuatu. Mencoba mengingat-ingat kembali apa yang pernah kulakukan dan alami ketika aku kecil dulu.

            Aku ingat sering menonton film-film dua warna; hitam putih. Aku ingat sering menonton Janur Kuning, Pengkhianatan G30S/PKI, film-film dokumenter tentang keadaan negeri ini di masa perang kemerdekaan, juga film-film bisu Charlie Chaplin. Mungkin inilah yang membuatku membenci warna-warna selain hitam dan putih. Dan mungkin ini jugalah yang membuat mimpi-mimpiku selalu hitam putih, tak pernah berwarna. Tapi, aku tak pernah ingat sejak kapan aku mengalami hal ini.

            Aku ingat ketika aku sedang mengintip seorang perempuan yang sedang mandi di kamar mandi berdinding dari bambu, di belakang rumah. Aku sangat menikmati saat-saat itu. Dan sejak saat itulah aku mulai senang melihat tubuh telanjang perempuan, tak peduli berapa pun usia mereka.

            Tumpukan album yang berisi foto-foto hitam putih masa kecilku masih tergeletak di sudut, di bawah gantungan baju dan celana yang entah sudah berapa hari tak pernah dicuci, berdebu, bahkan ada beberapa bagian dari foto-foto itu yang lengket, berjamur dan mengelupas rusak. Kubolak-balik halaman demi halaman album itu sambil mencoba mengingat-ingat kembali kenangan-kenangan yang ada di balik foto-foto itu. Ingatanku melayang jauh, menembus waktu, kembali ke masa-masa silam dulu.

            Tapi, aku tak dapat mengingat apa pun. Memoriku sudah usang dan mungkin sudah terlalu berat untuk bekerja lagi. Aku menyerah!

            “Di mana kau tidur semalam?”, kataku pada Bean, beberapa saat setelah dia masuk ke kamar, sehabis dari kamar mandi.
“Di mana-mana”, jawabnya sekenanya.
“Kau percaya pada Tuhan? Takdir? Dan kau juga percaya pada aturan-aturan itu?”.
“Tidak! Dan aku juga tidak percaya pada semua aturan-aturan itu. Bagiku semua itu bohong, palsu, bahkan tak ada seorang pun yang bisa menunjukkan padaku di mana keberadaan Tuhan yang sebenarnya!”

            Bean hanya terdiam mendengar jawaban dariku. Aku juga terdiam. Kami memang seringkali saling berdiam diri, menikmati kesendirian masing-masing tanpa pernah merasa saling mengganggu atau terganggu dengan keadaan ini. Hal ini lah yang membuat aku dekat dengannya, kami tak pernah berusaha untuk ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing.

            Bean beranjak menuju sudut di mana tape deck bututku berada, dan menyetel “The End”nya The Doors dengan volume kencang. Aku hanya meliriknya sekilas, dan tak peduli apa pun yang dilakukannya.


            AKU bisa saja menjadi seorang Hitler yang sangat bangga dan merasa bahwa bangsaku adalah yang terbesar dan paling agung dibanding bangsa-bangsa lain di seluruh muka bumi ini. Aku belum mati; jika kau anggap aku sudah mati, kau salah besar!, karena tak ada yang bisa membunuhku. Tak ingatkah kau, aku tidur denganmu semalam!

            Aku juga bisa menjadi orang yang menembak mati Lennon. Jika kalian bertanya kenapa aku membunuhnya, aku akan menjawabnya,”Aku membunuhnya karena aku membenci lirik-lirik lagunya, aku membunuhnya karena Lennon lebih terkenal daripada Ozzy”.

            Aku pun bisa menjadi kecoak raksasa yang tak dikehendaki hidup oleh keluargaku, dan oleh karenanya aku disingkirkan untuk dibunuh secara perlahan-lahan, dengan arsenik yang diberikan sedikit demi sedikit melalui makanan yang disuguhkan padaku tiap hari.
 

            AKU dinamakan “D”. Aku tidak lebih berarti daripada huruf-huruf lainnya. Dan sekali lagi, aku tidak pernah peduli itu.[]