28.8.15

"d"


AKU dinamakan “D”, entah apa arti dan maksudnya, aku tak pernah tahu. Siapa orang tua kandungku, aku tak pernah tahu. Dari cerita orang-orang yang kudengar, aku adalah bayi yang ditemukan tergeletak di depan pagar rumah yang sekarang kutinggali, pada suatu subuh bertahun yang lalu. Dan menurut mereka, aku (mungkin) adalah anak hasil dari hubungan gelap, yang tak pernah dikehendaki kelahirannya, dan akhirnya dibuang begitu saja.

            Siapa pun aku, siapa pun orang tua kandungku, bagaimana keadaan ketika aku dilahirkan, aku tak peduli. Dan sekali lagi, aku tak pernah peduli itu.



            INI adalah malam ke seratus, sejak aku menjelajahi ribuan situs untuk memuaskan kesenanganku, menghabiskan waktu. Pusing, pening mulai datang. Migren. Kepala serasa mau meledak, dan aku menyesal tidak memasang pemindai di kepalaku agar aku bisa tahu berapa banyak virus dan cacing yang berdiam dan tinggal di otakku, dan berpesta pora di sana sehingga membuat otakku menjadi semakin bebal jika digunakan untuk memikirkan sesuatu.

            Di layar, masih terpampang foto Adolf Hitler menghisap cerutu sambil memandangi ribuan mayat bergelimpangan di ujung sepatu hitamnya. Aku demikian tergila-gila dengannya. Entah apa yang menyebabkannya, aku sendiri tak pernah tahu. Aku sering berpose sepertinya, dengan posisi tangan melambai, aku bisa merasakan kepuasan yang luar biasa melebihi apa yang pernah kurasakan ketika pertama kali melakukan masturbasi pada saat masih kelas 5 SD.

            Aku mengantuk, tapi mata ini tetap tak mau terpejam. Kupaksa untuk memejamkan mata, tetap tak bisa. Aku terbaring di ranjang, dan menatap dinding kamar yang penuh dengan poster orang-orang yang begitu aku agungkan; Ozzy, Hitler dan Jim Morrison, dan membuatku selalu ingin menjadi seperti mereka. Abadi.

Jantung sudah berhenti berdetak, bahkan paru-paruku pun sudah lama tak berfungsi lagi, sejak Marlboro mengirimkan ribuan miligram nikotin ke sana. Sering aku terbatuk dan mengeluarkan dahak bercampur darah yang berwarna hitam, tapi kebiasaan ini tak bisa begitu saja kutinggalkan. Sama seperti ketika aku tidak bisa meninggalkan kebiasaanku yang lain; memotret bugil perempuan-perempuan yang mau di bayar hanya dengan sebutir ectasy dengan kamera hitam putih milikku satu-satunya, atau minum kopi pahit dengan iringan musik rock yang kusetel dengan volume kencang, juga masturbasi sambil menonton film-film porno bajakan yang kubeli dengan harga 15 ribuan per keping.
             
Di sudut, masih mengalun sayup-sayup suara Ozzy membawakan “Dreamer” dari tape deck butut, yang kubeli dari pasar loak setahun yang lalu. Kadang aku mengandaikan diriku sebagai “aku” seperti yang terdapat dalam lirik lagu tersebut, dan aku merasa benar-benar ada di dalam lagu itu. Ya, sepertinya aku adalah seorang pemimpi.

            “Aku bermimpi Friedrich Nietzsche membisikiku bahwa semua laki-laki itu jahat!”, kata Bean padaku.
“Aku tidak melihat ada keindahan sedikit pun pada tubuh seorang laki-laki. Tak ada yang menarik!”

Aku hanya terdiam mendengarnya bicara, aku masih sibuk mengedit dan memanipulasi foto-foto bugil dari perempuan yang baru saja kupotret tadi pagi.

            “Laki-laki adalah binatang. Mereka sering memperlakukan perempuan hanya sebagai obyek saja, setelah keinginannya terlampiaskan, dengan mudah dia akan mencampakkannya begitu saja seperti sampah yang tak berguna”.

Bean masih terus berkata-kata, menyumpah serapahi laki-laki. Aku tak dapat mengingat semua kata-katanya, karena aku tak pernah memikirkannya. Itu adalah masalahnya, dan aku tak ingin terlibat dengan masalah itu.

            “Aku benci semua laki-laki, termasuk semua laki-laki yang pernah meniduri aku”, lanjutnya lagi.
“Berarti kamu benci padaku, karena aku pernah tidur denganmu?”, sahutku kemudian, sambil tersenyum kecil.

Bean terdiam. Aku terdiam. Dan kami berdua terdiam, tenggelam dengan kesibukan masing-masing. Bean berbaring di ranjang, melamun, dan aku melanjutkan kegiatanku tadi yang sempat terhenti.

            Sementara itu, detak jarum jam di dinding kamar sibuk mengabadikan kebekuan ini.

            Aku mencoba mengaduk-aduk memori otakku yang kurasa sudah penuh dan semakin lambat saja memikirkan sesuatu. Mencoba mengingat-ingat kembali apa yang pernah kulakukan dan alami ketika aku kecil dulu.

            Aku ingat sering menonton film-film dua warna; hitam putih. Aku ingat sering menonton Janur Kuning, Pengkhianatan G30S/PKI, film-film dokumenter tentang keadaan negeri ini di masa perang kemerdekaan, juga film-film bisu Charlie Chaplin. Mungkin inilah yang membuatku membenci warna-warna selain hitam dan putih. Dan mungkin ini jugalah yang membuat mimpi-mimpiku selalu hitam putih, tak pernah berwarna. Tapi, aku tak pernah ingat sejak kapan aku mengalami hal ini.

            Aku ingat ketika aku sedang mengintip seorang perempuan yang sedang mandi di kamar mandi berdinding dari bambu, di belakang rumah. Aku sangat menikmati saat-saat itu. Dan sejak saat itulah aku mulai senang melihat tubuh telanjang perempuan, tak peduli berapa pun usia mereka.

            Tumpukan album yang berisi foto-foto hitam putih masa kecilku masih tergeletak di sudut, di bawah gantungan baju dan celana yang entah sudah berapa hari tak pernah dicuci, berdebu, bahkan ada beberapa bagian dari foto-foto itu yang lengket, berjamur dan mengelupas rusak. Kubolak-balik halaman demi halaman album itu sambil mencoba mengingat-ingat kembali kenangan-kenangan yang ada di balik foto-foto itu. Ingatanku melayang jauh, menembus waktu, kembali ke masa-masa silam dulu.

            Tapi, aku tak dapat mengingat apa pun. Memoriku sudah usang dan mungkin sudah terlalu berat untuk bekerja lagi. Aku menyerah!

            “Di mana kau tidur semalam?”, kataku pada Bean, beberapa saat setelah dia masuk ke kamar, sehabis dari kamar mandi.
“Di mana-mana”, jawabnya sekenanya.
“Kau percaya pada Tuhan? Takdir? Dan kau juga percaya pada aturan-aturan itu?”.
“Tidak! Dan aku juga tidak percaya pada semua aturan-aturan itu. Bagiku semua itu bohong, palsu, bahkan tak ada seorang pun yang bisa menunjukkan padaku di mana keberadaan Tuhan yang sebenarnya!”

            Bean hanya terdiam mendengar jawaban dariku. Aku juga terdiam. Kami memang seringkali saling berdiam diri, menikmati kesendirian masing-masing tanpa pernah merasa saling mengganggu atau terganggu dengan keadaan ini. Hal ini lah yang membuat aku dekat dengannya, kami tak pernah berusaha untuk ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing.

            Bean beranjak menuju sudut di mana tape deck bututku berada, dan menyetel “The End”nya The Doors dengan volume kencang. Aku hanya meliriknya sekilas, dan tak peduli apa pun yang dilakukannya.


            AKU bisa saja menjadi seorang Hitler yang sangat bangga dan merasa bahwa bangsaku adalah yang terbesar dan paling agung dibanding bangsa-bangsa lain di seluruh muka bumi ini. Aku belum mati; jika kau anggap aku sudah mati, kau salah besar!, karena tak ada yang bisa membunuhku. Tak ingatkah kau, aku tidur denganmu semalam!

            Aku juga bisa menjadi orang yang menembak mati Lennon. Jika kalian bertanya kenapa aku membunuhnya, aku akan menjawabnya,”Aku membunuhnya karena aku membenci lirik-lirik lagunya, aku membunuhnya karena Lennon lebih terkenal daripada Ozzy”.

            Aku pun bisa menjadi kecoak raksasa yang tak dikehendaki hidup oleh keluargaku, dan oleh karenanya aku disingkirkan untuk dibunuh secara perlahan-lahan, dengan arsenik yang diberikan sedikit demi sedikit melalui makanan yang disuguhkan padaku tiap hari.
 

            AKU dinamakan “D”. Aku tidak lebih berarti daripada huruf-huruf lainnya. Dan sekali lagi, aku tidak pernah peduli itu.[]

No comments:

Post a Comment