AKU dinamakan “D”, entah apa arti dan maksudnya, aku tak pernah tahu. Siapa
orang tua kandungku, aku tak pernah tahu. Dari cerita orang-orang yang
kudengar, aku adalah bayi yang ditemukan tergeletak di depan pagar rumah yang
sekarang kutinggali, pada suatu subuh bertahun yang lalu. Dan menurut mereka,
aku (mungkin) adalah anak hasil dari hubungan gelap, yang tak pernah dikehendaki
kelahirannya, dan akhirnya dibuang begitu saja.
Siapa pun aku, siapa pun
orang tua kandungku, bagaimana keadaan ketika aku dilahirkan, aku tak peduli.
Dan sekali lagi, aku tak pernah peduli itu.
INI adalah malam ke seratus,
sejak aku menjelajahi ribuan situs untuk memuaskan kesenanganku, menghabiskan
waktu. Pusing, pening mulai datang. Migren. Kepala serasa mau meledak, dan aku
menyesal tidak memasang pemindai di kepalaku agar aku bisa tahu berapa banyak
virus dan cacing yang berdiam dan tinggal di otakku, dan berpesta pora di sana
sehingga membuat otakku menjadi semakin bebal jika digunakan untuk memikirkan
sesuatu.
Di layar,
masih terpampang foto Adolf Hitler menghisap cerutu sambil memandangi ribuan
mayat bergelimpangan di ujung sepatu hitamnya. Aku demikian tergila-gila
dengannya. Entah apa yang menyebabkannya, aku sendiri tak pernah tahu. Aku
sering berpose sepertinya, dengan posisi tangan melambai, aku bisa merasakan kepuasan yang luar biasa melebihi apa yang
pernah kurasakan ketika pertama kali melakukan masturbasi pada saat masih kelas
5 SD.
Aku mengantuk, tapi mata ini tetap tak mau terpejam. Kupaksa untuk memejamkan
mata, tetap tak bisa. Aku terbaring di ranjang, dan menatap dinding kamar yang
penuh dengan poster orang-orang yang begitu aku agungkan; Ozzy, Hitler dan Jim
Morrison, dan membuatku selalu ingin menjadi seperti mereka. Abadi.
Jantung sudah berhenti berdetak, bahkan paru-paruku
pun sudah lama tak berfungsi lagi, sejak Marlboro mengirimkan ribuan miligram nikotin ke sana. Sering aku terbatuk dan mengeluarkan dahak bercampur
darah yang berwarna hitam, tapi kebiasaan ini tak bisa begitu saja kutinggalkan.
Sama seperti ketika aku tidak bisa meninggalkan kebiasaanku yang lain; memotret
bugil perempuan-perempuan yang mau di bayar hanya dengan sebutir ectasy dengan
kamera hitam putih milikku satu-satunya, atau minum kopi pahit dengan iringan
musik rock yang kusetel dengan volume kencang, juga masturbasi sambil menonton
film-film porno bajakan yang kubeli dengan harga 15 ribuan per keping.
Di sudut, masih mengalun sayup-sayup suara Ozzy
membawakan “Dreamer” dari tape deck butut, yang kubeli dari pasar loak setahun
yang lalu. Kadang aku mengandaikan diriku sebagai “aku” seperti yang terdapat
dalam lirik lagu tersebut, dan aku merasa benar-benar ada di dalam lagu itu.
Ya, sepertinya aku adalah seorang pemimpi.
“Aku bermimpi Friedrich
Nietzsche membisikiku bahwa semua laki-laki itu jahat!”, kata Bean padaku.
“Aku tidak melihat ada keindahan sedikit pun pada
tubuh seorang laki-laki. Tak ada yang menarik!”
Aku hanya terdiam mendengarnya bicara, aku masih
sibuk mengedit dan memanipulasi foto-foto bugil dari perempuan yang baru saja
kupotret tadi pagi.
“Laki-laki adalah
binatang. Mereka sering memperlakukan perempuan hanya sebagai obyek saja,
setelah keinginannya terlampiaskan, dengan mudah dia akan mencampakkannya
begitu saja seperti sampah yang tak berguna”.
Bean masih terus berkata-kata, menyumpah serapahi
laki-laki. Aku tak dapat mengingat semua kata-katanya, karena aku tak pernah
memikirkannya. Itu adalah masalahnya, dan aku tak ingin terlibat dengan masalah
itu.
“Aku benci semua
laki-laki, termasuk semua laki-laki yang pernah meniduri aku”, lanjutnya lagi.
“Berarti kamu benci padaku, karena aku pernah tidur
denganmu?”, sahutku kemudian, sambil tersenyum kecil.
Bean
terdiam. Aku terdiam. Dan kami berdua terdiam, tenggelam dengan kesibukan
masing-masing. Bean berbaring di ranjang, melamun, dan aku melanjutkan
kegiatanku tadi yang sempat terhenti.
Sementara itu, detak jarum jam di
dinding kamar sibuk mengabadikan kebekuan ini.
Aku mencoba mengaduk-aduk memori
otakku yang kurasa sudah penuh dan semakin lambat saja memikirkan sesuatu.
Mencoba mengingat-ingat kembali apa yang pernah kulakukan dan alami ketika aku
kecil dulu.
Aku ingat sering menonton film-film dua
warna; hitam putih. Aku ingat sering menonton Janur Kuning, Pengkhianatan G30S/PKI, film-film dokumenter tentang
keadaan negeri ini di masa perang kemerdekaan, juga film-film bisu Charlie Chaplin. Mungkin inilah yang membuatku
membenci warna-warna selain hitam dan putih. Dan mungkin ini jugalah yang
membuat mimpi-mimpiku selalu hitam putih, tak pernah berwarna. Tapi, aku tak pernah ingat sejak kapan aku mengalami hal
ini.
Aku ingat ketika aku
sedang mengintip seorang perempuan yang sedang mandi di kamar mandi berdinding
dari bambu, di belakang rumah. Aku sangat menikmati saat-saat itu. Dan sejak
saat itulah aku mulai senang melihat tubuh telanjang perempuan, tak peduli
berapa pun usia mereka.
Tumpukan album yang berisi
foto-foto hitam putih masa kecilku masih tergeletak di sudut, di bawah
gantungan baju dan celana yang entah sudah berapa hari tak pernah dicuci,
berdebu, bahkan ada beberapa bagian dari foto-foto itu yang lengket, berjamur
dan mengelupas rusak. Kubolak-balik halaman demi halaman album itu sambil
mencoba mengingat-ingat kembali kenangan-kenangan yang ada di balik foto-foto
itu. Ingatanku melayang jauh, menembus waktu, kembali ke masa-masa silam dulu.
Tapi, aku tak dapat
mengingat apa pun. Memoriku sudah usang dan mungkin sudah terlalu
berat untuk bekerja lagi. Aku menyerah!
“Di mana kau tidur semalam?”, kataku
pada Bean, beberapa saat setelah dia masuk ke kamar, sehabis dari kamar mandi.
“Di mana-mana”, jawabnya sekenanya.
“Kau percaya pada Tuhan? Takdir? Dan kau juga
percaya pada aturan-aturan itu?”.
“Tidak! Dan aku juga tidak percaya pada semua
aturan-aturan itu. Bagiku semua itu bohong, palsu, bahkan tak ada seorang pun
yang bisa menunjukkan padaku di mana keberadaan Tuhan yang sebenarnya!”
Bean hanya
terdiam mendengar jawaban dariku. Aku juga terdiam. Kami memang seringkali
saling berdiam diri, menikmati kesendirian masing-masing tanpa pernah merasa
saling mengganggu atau terganggu dengan keadaan ini. Hal ini lah yang membuat
aku dekat dengannya, kami tak pernah berusaha untuk ikut campur dalam urusan
pribadi masing-masing.
Bean beranjak menuju sudut di mana
tape deck bututku berada, dan menyetel “The End”nya The Doors dengan volume
kencang. Aku hanya meliriknya sekilas, dan tak peduli apa pun yang
dilakukannya.
AKU bisa saja menjadi seorang Hitler
yang sangat bangga dan merasa bahwa bangsaku adalah yang terbesar dan paling
agung dibanding bangsa-bangsa lain di seluruh muka bumi ini. Aku belum mati; jika
kau anggap aku sudah mati, kau salah besar!, karena tak ada yang bisa
membunuhku. Tak ingatkah kau, aku tidur denganmu semalam!
Aku juga bisa menjadi orang yang menembak
mati Lennon. Jika kalian bertanya kenapa aku membunuhnya, aku akan
menjawabnya,”Aku membunuhnya karena aku membenci lirik-lirik lagunya, aku
membunuhnya karena Lennon lebih terkenal daripada Ozzy”.
Aku pun bisa menjadi kecoak raksasa
yang tak dikehendaki hidup oleh keluargaku, dan oleh karenanya aku disingkirkan
untuk dibunuh secara perlahan-lahan, dengan arsenik yang diberikan sedikit demi
sedikit melalui makanan yang disuguhkan padaku tiap hari.
AKU dinamakan “D”. Aku tidak lebih
berarti daripada huruf-huruf lainnya. Dan
sekali lagi, aku tidak pernah peduli itu.[]
No comments:
Post a Comment