14.12.21

Kupu-kupu Bersayap Putih Keperakan

Seekor kupu-kupu masuk ke dalam rumah. Badannya kecil sayapnya berwarna putih keperakan. Ia beterbangan ke sana ke mari. Lalu hinggap sejenak di sembarang tempat. Di tembok, di atas televisi, di gagang pintu, bahkan di tubuhku. 

Awalnya tidak terasa mengganggu, maka kubiarkan saja ia berterbangan di dalam rumah. Hanya kuhalau saja sesekali, ketika kuanggap dia sudah cukup sedikit mengganggu.

Dua hari ini kupu-kupu itu masih saja berkeliaran di rumah. Kadang di ruang tengah, masuk kamar tidur atau bahkan di dapur. Seperti seorang penyusup yang sedang menyelidiki seluk beluk apa yang ada di dalam rumah ini. 

Pada hari ke tiga, tiba-tiba berdatangan beberapa kupu-kupu yang lain. Kupu-kupu dengan ciri-ciri yang sama dengan yang sudah ada sebelumnya. Badannya kecil, sayapnya berwarna putih keperakan.

Mulanya datang 2 ekor, lalu menjadi 4, kemudian 8, 16, 32, dan seterusnya hingga rumah ini menjadi terasa penuh sesak dengan kehadiran mereka.

Kupu-kupu itu yang awalnya tidak terasa mengganggu, kini mulai menjengkelkan. Mereka enak saja hinggap di bantal, di kasur tempat biasa aku tidur. Menutupi layar televisi ketika sedang menyala, tapi pergi ketika televisi dimatikan. Beterbangan ke sana ke mari hingga mengganggu pandangan mataku ketika aku sedang membaca buku. 

Rumah ini terasa seperti dikurung oleh mereka. Kupu-kupu kecil berwarna putih keperakan. 


Di hari ke empat dihitung sejak pertama kali kedatangannya, kucoba menghalau, mengusir bahkan membasminya. Kugunakan segala cara yang terlintas di pikiranku pada saat itu. Mulai dari mengejar dan memukulinya menggunakan sapu, menyemprotkan pestisida hingga mengusir menggunakan asap melalui petugas fumigasi yang kuundang pagi tadi. 

Tapi tidak ada hasil yang signifikan. Jumlah mereka seakan tidak berkurang, bahkan semakin bertambah kurasa. Mereka menemukan markas di sini, membuat koloni di sini, di rumahku. Sementara aku tak ubahnya seorang pengungsi yang terusir dari negerinya sendiri.

Kucoba minta pertolongan seorang dukun untuk mengusir mereka dengan kekuatan supranatural yang dimilikinya. Namun tidak juga berhasil. Bahkan mereka kini semakin berani menginvasi rumah ini. Aku tidak lagi leluasa berada di tiap ruangan dalam rumah ini. Praktis tempat yang paling bisa kukuasai hanya di kamar mandi. Itupun setelah semua lubang kututup rapat menggunakan selotip.

Di hari ketujuh, aku ingat harinya adalah hari Minggu. Tiba-tiba dari dalam kamar mandi aku mendengar suara hingar bingar di ruang televisi. Ada suara semacam pidato-pidato dan orasi. Setelah kudengarkan dengan seksama, ternyata benar itu adalah suara orasi. Dan lamat-lamat kudengarkan pula bahwa mereka merencanakan untuk menginvasi kota ini, setelah terlebih dahulu menguasai sepenuhnya rumah ini.

Lalu kudengar suara berkepak mendatangi pintu kamar mandi, mereka secara berombongan menabrakkan diri ke pintu kamar mandi, mencoba untuk menjebol dan membukanya. Kupertahankan sekuat tenaga, tapi ternyata kekuatanku berkurang banyak akibat tidak adanya asupan energi yang masuk ke tubuhku karena aku terkurung beberapa hari di dalam kamar mandi ini.

Perlahan tubuhku mulai melemah, kekuatanku mulai goyah. Tubrukan-tubrukan itu semakin keras. Pintu kamar mandi mulai goyang, lalu membuka sedikit demi sedikit. Tubuhku yang sudah lemah dan lelah kemudian diangkat dan dibawa ke ruang tengah yang sekarang sudah berubah menjadi semacam ruang interogasi. Lalu aku didudukkan di sebuah kursi seperti seorang pesakitan. Dan sebelum sempat kudengarkan kata pertama dari pemimpin kupu-kupu kecil bersayap putih keperakan itu, aku sudah tidak sadarkan diri. []

Hari Yang Patut Diselamatkan

        Hari Minggu pagi ini aku terbangun dengan paksa di antara kepulan asap dari sisa rokok yang sempat kuhisap dini hari tadi. Ya, aku berangkat tidur satu jam yang lalu dan kini sudah terbangun karena dikejutkan oleh kegegeran yang ada di luar kamarku.

        Suara perempuan tua itu terdengar jelas sedang marah dan gerutuannya ditujukan kepadaku. Katanya sudah hampir tiga bulan ini uang sewa bulanan belum kulunasi, ditambah lagi tumpukan baju kotor yang menggunung di dekat sumur.

        Sebenarnya ingin segera kubungkam mulut embernya itu, kemudian kulipat tubuhnya dan akan kuangkat lalu kubawa keluar untuk kutempelkan ke tiang listrik. Agar orang-orang yang lewat mengira ia sedang memeluk tiang listrik itu.

        Tapi, ah tidak. Otakku masih waras. Biar saja ia mengomel sepuasnya. Toh nanti kalau sudah capai ia akan diam sendiri. Biar kunikmati saja omelannya pagi ini asalkan masih bisa diiringi dengan irama musik dangdut. Lalu segera saja kuputar lagu-lagu Via.

        Dan kucoba untuk lanjutkan tidurku lagi. Toh tidak ada apapun yang perlu kutunggu.


15.1.21

TANPAMU

perahu tak bersauh

melaju bebas ke tempat jauh

: tanpamu, mengaduh.


01/01/2021

4.1.21

Barangkali

Barangkali, kita tak pernah

benar saling memiliki,

hanya sekadar saling memeluki

ketika datang sepi.


Barangkali, kita tak pernah

benar saling mengingini

hanya sekadar saling mengangani

ketika tiba sunyi.


01/01/2021


google.com