Showing posts with label fiksi. Show all posts
Showing posts with label fiksi. Show all posts

14.12.21

Kupu-kupu Bersayap Putih Keperakan

Seekor kupu-kupu masuk ke dalam rumah. Badannya kecil sayapnya berwarna putih keperakan. Ia beterbangan ke sana ke mari. Lalu hinggap sejenak di sembarang tempat. Di tembok, di atas televisi, di gagang pintu, bahkan di tubuhku. 

Awalnya tidak terasa mengganggu, maka kubiarkan saja ia berterbangan di dalam rumah. Hanya kuhalau saja sesekali, ketika kuanggap dia sudah cukup sedikit mengganggu.

Dua hari ini kupu-kupu itu masih saja berkeliaran di rumah. Kadang di ruang tengah, masuk kamar tidur atau bahkan di dapur. Seperti seorang penyusup yang sedang menyelidiki seluk beluk apa yang ada di dalam rumah ini. 

Pada hari ke tiga, tiba-tiba berdatangan beberapa kupu-kupu yang lain. Kupu-kupu dengan ciri-ciri yang sama dengan yang sudah ada sebelumnya. Badannya kecil, sayapnya berwarna putih keperakan.

Mulanya datang 2 ekor, lalu menjadi 4, kemudian 8, 16, 32, dan seterusnya hingga rumah ini menjadi terasa penuh sesak dengan kehadiran mereka.

Kupu-kupu itu yang awalnya tidak terasa mengganggu, kini mulai menjengkelkan. Mereka enak saja hinggap di bantal, di kasur tempat biasa aku tidur. Menutupi layar televisi ketika sedang menyala, tapi pergi ketika televisi dimatikan. Beterbangan ke sana ke mari hingga mengganggu pandangan mataku ketika aku sedang membaca buku. 

Rumah ini terasa seperti dikurung oleh mereka. Kupu-kupu kecil berwarna putih keperakan. 


Di hari ke empat dihitung sejak pertama kali kedatangannya, kucoba menghalau, mengusir bahkan membasminya. Kugunakan segala cara yang terlintas di pikiranku pada saat itu. Mulai dari mengejar dan memukulinya menggunakan sapu, menyemprotkan pestisida hingga mengusir menggunakan asap melalui petugas fumigasi yang kuundang pagi tadi. 

Tapi tidak ada hasil yang signifikan. Jumlah mereka seakan tidak berkurang, bahkan semakin bertambah kurasa. Mereka menemukan markas di sini, membuat koloni di sini, di rumahku. Sementara aku tak ubahnya seorang pengungsi yang terusir dari negerinya sendiri.

Kucoba minta pertolongan seorang dukun untuk mengusir mereka dengan kekuatan supranatural yang dimilikinya. Namun tidak juga berhasil. Bahkan mereka kini semakin berani menginvasi rumah ini. Aku tidak lagi leluasa berada di tiap ruangan dalam rumah ini. Praktis tempat yang paling bisa kukuasai hanya di kamar mandi. Itupun setelah semua lubang kututup rapat menggunakan selotip.

Di hari ketujuh, aku ingat harinya adalah hari Minggu. Tiba-tiba dari dalam kamar mandi aku mendengar suara hingar bingar di ruang televisi. Ada suara semacam pidato-pidato dan orasi. Setelah kudengarkan dengan seksama, ternyata benar itu adalah suara orasi. Dan lamat-lamat kudengarkan pula bahwa mereka merencanakan untuk menginvasi kota ini, setelah terlebih dahulu menguasai sepenuhnya rumah ini.

Lalu kudengar suara berkepak mendatangi pintu kamar mandi, mereka secara berombongan menabrakkan diri ke pintu kamar mandi, mencoba untuk menjebol dan membukanya. Kupertahankan sekuat tenaga, tapi ternyata kekuatanku berkurang banyak akibat tidak adanya asupan energi yang masuk ke tubuhku karena aku terkurung beberapa hari di dalam kamar mandi ini.

Perlahan tubuhku mulai melemah, kekuatanku mulai goyah. Tubrukan-tubrukan itu semakin keras. Pintu kamar mandi mulai goyang, lalu membuka sedikit demi sedikit. Tubuhku yang sudah lemah dan lelah kemudian diangkat dan dibawa ke ruang tengah yang sekarang sudah berubah menjadi semacam ruang interogasi. Lalu aku didudukkan di sebuah kursi seperti seorang pesakitan. Dan sebelum sempat kudengarkan kata pertama dari pemimpin kupu-kupu kecil bersayap putih keperakan itu, aku sudah tidak sadarkan diri. []

17.1.18

Kopi Bean

"Mas, robusta muria aja, seperti biasa", seru Bean begitu memasuki kafe. Sejenak diedarkan pandangan ke seluruh ruangan, lalu berjalan menuju pojok tempat dia biasa duduk berlama-lama di situ.

"Sial! Gara-gara hujan seharian, aku jadi telat presentasi. Padahal ini saat yang paling penting, tapi hasil akhirnya gak begitu bagus. Untung klien masih mau mengerti dan memberi waktu lagi", gerutunya.

"Ups! Tidak seharusnya aku memaki hujan. Benar kata Magda bahwa hujan adalah rahmat, jadi tidak selayaknya makian kutumpahkan padanya. Mestinya kumaki diriku sendiri yang tiap kali hujan datang selalu malas mau ngapa-ngapain."

Secangkir kopi datang. Dihirupnya aroma khas kopi yang begitu digemarinya. Kopi yang berasal dari tempat dia menghabiskan masa kecilnya. Kopi dari perkebunan milik leluhurnya yang sekarang kondisinya seperti hidup segan mati tak mau. 

"Proposal untuk menyulap perkebunan kopi menjadi pusat agribisnis besok harus sudah klir. Tidak boleh lagi ada alasan dan permakluman terhadap diri sendiri", batinnya.

Disruputnya kopi, kemudian didiamkan beberapa saat di rongga mulutnya. Untuk sejenak dia teringat kampung halamannya. Teringat teman-teman masa kecilnya yang sering bermain-main di kebun kopi kakeknya. Teringat Niko, Kurdt, Frances dan Mera.

Ah, bagaimana kabar mereka sekarang? Semoga baik-baik saja. Terakhir ada kabar kalau Mera dirawat di Rumah Sakit Jiwa karena stres entah apa sebabnya.

Kopi selalu mengingatkan Bean akan banyak hal. Termasuk kenangan-kenangan yang sebenarnya ingin dilupakan, ingin disingkirkan. Itu kenapa Bean minum kopi yang disaring terlebih dahulu agar tidak menyisakan ampas, tidak menyisakan kenangan. Tapi tetap saja, ada. Walau setitik.

Kau dan Aku Melawan Dunia

Seperti singa yang mengintai mangsanya, ada banyak pasang mata yang selalu siap menelanjangi dan menguliti apa yang kita lakukan. Hal yang benar, apalagi yang "kurang" pas menurut mereka, pasti akan segera diterkam dengan berbagai penilaian.

Tapi tenanglah, tak usah hiraukan. Sepanjang apa yang kita perbuat berada dalam jalan yang seharusnya. Tak usah risau, tetap santailah. Sepanjang apa yang kita jalankan berada pada relnya.

Memang kuping terkadang terasa panas mendengar ocehan mereka. Memang bibir terkadang terasa gatal ingin membalas cemoohan mereka. Tapi tak ada guna. Malah akan menjadi pengipas bara api yang mereka nyalakan.

Semua diciptakan ada tugas dan bagiannya masing-masing. Anggap saja mereka yang tidak suka sebagai pelengkap. Pemain figuran yang kehadirannya kadang diperlukan sebagai pemanis cerita.

Tersenyumlah, kau dan aku akan melawan dunia.

16.1.18

Surat Buat Mera

Mer, kamu pasti nggak akan nyangka bakal dapat surat dari aku. Ini adalah surat yang pertama kali kutulis dan kirim kepadamu, setelah berkali-kali kamu merengek minta dikirimi surat. “Kamu itu, mbok sesekali kirim surat ke aku!”, katamu, waktu itu. Aku tak pernah menggubris permintaanmu itu, sampai sekarang.

Ada banyak alasan yang membuat aku enggan untuk menulis surat ke kamu. Pengen tahu alasannya? Ok, yang pertama dan yang paling penting adalah karena tulisanku jelek dan aku takut surat itu akan percuma kukirimkan ke kamu, karena kamu tidak bakal bisa membaca tulisanku. Dan alasan yang kedua adalah aku takut dibilang kuno. Zaman sudah maju kok masih surat-suratan, nanti dibilang yang nggak modern, kuno dan lain sebagainya. Aku harap kamu bisa memakluminya. Aku tahu, kamu pasti akan memakluminya.

Dan kalau sekarang akhirnya kamu bisa menerima dan membaca surat dari aku ini, tak lain hanya karena aku takut jika aku tidak menulis surat ke kamu, aku akan kehilangan jejak kamu. Sebab sudah cukup lama kita berpisah tanpa saling kontak. Mau telepon, aku tak punya. Mau chatting atau email, aku buta dengan teknologi itu (aku benar-benar kuno, ya?). Jalan satu-satunya,  ya lewat surat. Mudah-mudahan surat ini sampai ke tangan kamu.

Bagaimana kabarmu? Sampai saat ini, aku masih sering berlama-lama tenggelam dalam kenangan di kafe, tempat pertama kali dulu kita bertemu. Aku sering kangen dengan kopi dan suasananya. Aku sering larut dalam bayangan, ketika masih bersamamu menghabiskan malam di sini. 

Mera sayang (apakah kita pernah saling menyayangi?), ngomong apa lagi ya.Itulah aku, masih sering kehilangan bahan pembicaraan. Tapi yang kuherankan, kenapa kamu betah padahal aku lebih banyak diam.

Kamu tahu, waktu nulis surat ini, aku merasa tersiksa sekali. Karena, aku harus berhati-hati sekali agar tulisanku nanti bisa terbaca olehmu. Kan tidak  lucu kalau sudah capek-capek nulis, eh, tulisannya malah jadi gak terbaca olehmu. Dan lagi, ini sudah terlalu malam, aku takut bila sendirian. Semoga kamu selalu baik-baik saja di tempat barumu dan selalu bahagia dengan apapun yang kamu lakukan.

Love you, 

Mera.

Kucing

Seekor kucing kecil sendirian di pojok gang, lalu dipungut oleh Mera. Kucing kecil itu kemudian dibersihkan tubuhnya dan diajak bermain sebentar.
Mera kemudian melanjutkan perjalanan menuju tempat biasa nongkrong. Menghabiskan malam bersama teman sepermainan. Main gitar, merokok sambil minum kopi.

Tanpa sepengetahuannya kucing kecil itu ternyata mengikuti, tapi dia tidak berani mendekat. 

Menjelang tengah malam mereka membubarkan diri, pulang ke rumah masing-masing. Sesampai di rumah Mera langsung masuk kamar, untuk beristirahat. Tidur, memejamkan mata. 

Ketika lagi nikmat-nikmatnya tidur, tiba-tiba kaki Mera menyentuh sesuatu yang rasanya seperti bulu atau sesuatu. Karena terkaget, sontak Mera langsung terbangun dan menyalakan lampu. Ternyata kucing kecil tadi sudah ikut masuk ke kamar melalui sela-sela dinding rumah yang bolong, lalu ikut naik dan tidur di kasur. Segera Mera bangun dan segera mengeluarkan kucing itu dari rumah.

Tak beberapa lama, kejadian berulang. Kucing kecil tadi masuk dan naik lagi ke kasur. Benar-benar mengganggu dan menjengkelkan. Untuk kedua kalinya Mera membawa keluar kucing kecil itu. Sebelum melanjutkan tidur, Mera lalu menutup semua celah yang memungkinkan dipakai sebagai jalan masuk  ke dalam rumah oleh kucing itu. 

Benar, pada awalnya memang lucu sekali sikap kucing itu. Tapi lama-lama terasa mengganggu. Apalagi di waktu-waktu tertentu di mana Mera butuh untuk sendiri. Dan, di antara teman-temannya ada juga yang sikapnya seperti kucing itu!

12.1.18

Hari Terakhir Tuan Ehukehuk di I'Hotel

Keheningan pagi ini sudah dipecahkan oleh suara batuk dari seseorang di ruang makan sebuah hotel kecil di pinggir kota di pantai utara. Suara batuk yang dalam dan tajam seperti pisau menyayat daging menjadi potongan yang tak beraturan. Suara batuk yang berat seakan di dalam urat leher berisi truk molen berisi lahar semen yang siap dimuntahkan kapan saja.

Lama kuperhatikan orang itu, yang kemudian kukenal sebagai Tuan Ehukehuk, mendiami sebuah kamar di hotel ini sejak setahun yang lalu. Ya pada hari ini tepat setahun yang lalu ia masuk ke hotel ini dengan koper penuh sesak berisi pakaian dan berkas-berkas entah apa. Jalannya limbung, terhuyung-huyung seperti orang mabuk kecubung. Kalau deskripsinya masih kurang jelas menurutmu, cobalah kau minum seteguk ramuan kecubung milik temanmu, lalu rasakan sensasinya.

Bukan, aku tidak sedang membahas khasiat ramuan kecubung yang di kampungku nan jauh dari kota ini sudah biasa dikonsumi oleh anak-anak muda usia belasan, untuk memperoleh predikat sebagai orang hebat dan disegani oleh anak-anak muda lainnya. Tapi kali ini aku akan membahas tentang seseorang, orang yang batuknya bergetar seperti mesin bor.

Tuan Ehukehuk yang bentuk tubuhnya seperti liflet, kerempeng dan lemah itu saban hari selalu keluar dari hotel dengan berpakaian rapi dan menenteng berkas-berkas lalu akan pulang sebentar pas jam makan siang, untuk kemudian akan pergi lagi satu jam kemudian. Sorenya dia akan berdiam di kamarnya dan hanya keluar pada saat makan malam.

Hampir tidak pernah kulihat dia berinteraksi dengan sesama penghuni hotel ini. Kalau pun berpapasan dengan mereka di resto atau lobby, dia hanya akan bertukar senyum dan sapa sekadarnya saja. 

Meski sudah setahun dia menginap di hotel ini tak pernah pula kulihat dia merokok. Bahkan kalau kebetulan ada teman bisnisnya yang datang kemudian merokok selalu dilarang dan diberi tambahan kata-kata bijak soal kesehatan. Mirip ustad yang ceramah di media sosial maupun televisi, mirip tukang motivasi yang selalu berkata-kata baik itu.

Hampir tidak pernah ada masalah yang datang menghampirinya. Sepertinya dia tipe orang yang tidak suka membuat masalah, kecuali soal suara batuknya yang selama setahun ini seolah menjadi suara latar yang diputar di hotel ini. Walaupun suara batuknya sedemikian itu tapi tidak ada satupun penghuni hotel yang komplain atau mengeluh kepada manajemen. Entah karena segan atau kasihan.

Hari ini hari terakhirnya tinggal di hotel, sebab dia harus sampai ke ibukota tengah malam nanti. Sewaktu sarapan pagi dia sudah berpamitan kepada beberapa penghuni hotel yang dikenalnya, yang semuanya menunjukkan raut muka sumringah seolah melihat cahaya pagi yang memberi harapan bahwa hal-hal buruk akan segera berlalu.

Biru

"Ayo bersenang-senanglah. Tabrak segala aturan. Lupakan semua persoalan", suara seseorang dalam kepalaku berbisik. Terdengar jelas dan dekat. Seperti aku berbisik pada diriku sendiri. Tapi aku tidak tahu siapa dia.

"Ayo jangan ragu. Tak ada yang peduli padamu. Tubuhmu adalah milikmu!", lagi seseorang itu berbisik. Kali ini dengan suara yang lebih tebal dan dalam. Seperti ular yang mendesis ketika menebarkan ancaman.

"Apa yang harus kuperbuat? Bukankah kita semua ini terikat norma dan etika?", tanyaku pada seseorang di dalam kepalaku. Sepi. Hening. Tak ada jawaban. "Ah, mungkin dia sudah pergi. Bersama kekasih yang lain", batinku.

Hampir 2 minggu dia tak lagi berbisik. Awalnya aku merasa senang tak ada lagi yang menggangguku dengan bisikan-bisikannya. Tapi lama-lama terbit rasa kehilangan. Aku kangen bisikan-bisikan lembutnya, meski kadang juga merasa jengkel dengan bisikannya yang serupa ancaman.

Semalam dia datang lagi. Tak lagi berbisik. Tapi mengajak bercakap-cakap. Tidak berhadapan. Masih di dalam kepala.

"Kemarin aku pergi jauh. Seseorang merayuku untuk meninggalkanmu, lalu mengajakku ke sebuah tempat yang semuanya berwarna biru. Orang-orangnya biru. Rumahnya biru. Pohonnya biru. Udaranya biru. Airnya biru. Kemudian aku teringat dirimu. Matamu yang biru", katanya ketika kutanya ke mana dia selama beberapa waktu.

"Kenapa kau sekarang kembali?", tanyaku. Dia tak menjawab. Hanya tersenyum. Senyum yang biru. Dan mata yang biru.

8.1.18

Demam

Artwork by @arr_riz
Dia kemudian menari, meliuk-liukkan tubuhnya dengan gemulai. Kukira dia pasti seorang perempuan, karena tariannya begitu luwes dan sedap dipandang mata. Tak mungkin seorang lelaki bisa menari segemulai itu, karena seorang lelaki diciptakan dari besi yang keras dan kuat.

Walaupun tak ada iringan suara gamelan dia masih tetap menari. Menari dalam sunyi. Seperti kesurupan. Seperti orang Indian yang sedang kerasukan roh leluhurnya. Masih menari. Terus menari.

Lama-kelamaan tubuhnya menjadi semakin besar hingga ukurannya sama dengan tubuhku. Dia tersenyum kepadaku, segera saja kubalas senyumannya. Dia mengajakku menari. Sebenarnya aku ingin menuruti ajakannya menari, aku ingin mempraktekkan tarian yang pernah kupelajari sewaktu les bersama seorang guru tari di pendopo kantor kecamatan. Tapi badanku rasanya ringkih, lemah sekali, tak mampu bergerak.

Perlahan dia kemudian berjalan menjauh, menuju ujung kamar ini sambil tetap menari. Mengajak siapa saja yang ditemuinya di sepanjang perjalanannya untuk menari bersamanya. Tapi tak ada yang mau dan peduli padanya. Aku hanya bisa menatapnya pergi, dan dari kejauhan dia melambaikan tangannya seakan pamit kepadaku.

Tubuhnya sudah tidak nampak dengan jelas lagi, samar menyerupai bayang-bayang hitam. Tapi tak mau hilang. Masih melekat di mata dan pikiran. Seperti kenangan yang ingin segera dilupakan, tapi malah menempel erat tak terpisahkan.

Kemudian kulihat wajah ibu. Tangannya lembut mengusap kepalaku. Bibirnya seperti berbicara tapi aku tak tahu apa.


5.1.18

Duniamera

Kami selalu mendengar celetukan mereka setiap kali kami melewati jalan depan pos ronda itu. Kata-kata yang selalu sama yang tak bosan-bosannya keluar dari mulut mereka yang berbau alkohol dicampur asap rokok. "Dasar sinting! Minggir sana!", begitu yang selalu kami dengar. Langsung saja kami bergeser ke tempat lain, mengurungkan niat sebelumnya yang ingin minta sedikit minuman untuk menyegarkan tenggorokan yang sudah kering kerontang.

Di lain waktu sering juga kami terima perlakuan yang kurang lebih sama seperti orang-orang di pos ronda itu. Di pasar, misalnya. Kami hanya ingin berteduh barang sejenak ketika hujan terlalu lebat bagi tubuh kurus kami ini, tapi langsung saja dihardik oleh pemilik warung. "Pergi sana! Nanti pelangganku gak mau makan lagi di sini".

Orang-orang terlalu sibuk dengan dunianya, mengejar dunianya. Menghabiskan waktu di tempat kerja, mengharapkan kebahagiaan yang diukur dari materi yang dimiliki. Melihat itu semua kadang membuat kami tertawa kemudian memperbincangkannya. Dan hal itu malah menjadikan orang-orang melirik dengan tatap mata yang tajam. Bahkan tak jarang di antara mereka ada yang menggerakkan jarinya miring di dahi. 

Sudah lama kutinggalkan dunia seperti mereka, aku tak butuh apa-apa lagi selain kebersamaanku dengannya. Jika kau bersama dengan kekasihmu, masih adakah yang kaubutuhkan selainnya? Oh ya, perkenalkan namaku Mera.

3.1.18

Kartu Pos Bergambar Semangka

Meravigliosi, seorang perempuan berperut buncit dan berambut keriting yang ruwetnya seperti kaset pita yang kusut, berada di pertengahan usia 40an. Sudah hampir 5 bulan ini dia setiap 2 kali dalam seminggu selalu menerima kiriman kartu pos dari seseorang. Ya, setiap hari Senin dan Kamis dia selalu mendapatkan kartu pos yang dikirim oleh seseorang entah siapa.

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari kartu pos itu, kecuali gambarnya yang selalu semangka. Kartu pos tanpa nama dan alamat pengirim itu berisi kutipan puisi dari Lord Byron atau potongan lagu The Doors. Dan hal itulah yang membuatnya merasa heran, bahwa ternyata ada seseorang di luar sana yang begitu memperhatikannya, hingga bisa tahu siapa penyair dan band kesukaannya.

Pada awalnya dia merasa mangkel, ingin marah dan berniat mencari siapa orang usil yang sedang mengisenginya. Tapi dengan tidak adanya nama dan alamat pengirim membuatnya kesulitan untuk melacak dari mana awal perjalanan kartu pos itu bermula hingga akhirnya menetap di alamatnya.

Namun 2 bulan setelah kartu pos pertama diterimanya,  pelan-pelan timbul rasa suka ketika ada kurir datang mengantar kartu pos untuknya. Dia merasa diperhatikan, dia merasa disayangi. "Disayangi? Ah, terlalu berlebihan!", pikirnya.

Meravigliosi kini punya kebiasaan baru setelah resign dari pekerjaannya 5 bulan yang lalu. Ia menjadi rajin menunggu datangnya kurir yang membawa kartu pos bergambar semangka pada setiap hari Senin dan Kamis, serta memborong kartu pos bergambar semangka lalu mengirimkannya sendiri.

[end]
tulisan ini dibuat dalam rangka tantangan 30 hari bercerita

27.12.17

Frances Bean

I
[Aku jatuh cinta, lagi!]

Aku, Kurdt dan Niko berada di studio 54, salah satu café paling ngetop di kota ini. Kebetulan saat itu lagi diadakan suatu acara, jadi tak heran kalau suasana di dalam café itu begitu ramai dan penuh sesak dengan para pengunjung yang berjubel.

Aroma alkohol begitu menusuk hidung, belum lagi ditambah dengan asap-asap rokok yang saling berebut untuk masuk ke paru-paru lebih dulu.

Di panggung, tiga orang penari striptease sedang berlenggak-lenggok menunjukkan keseksiannya, di depan mata telanjang pengunjung café yang sebagian besar adalah anak muda berusia belasan. Sementara itu, DJ terlihat asyik sendiri meramu musik dari Prodigy dan The Chemical Brothers.

Kurdt dan Niko sudah melantai sedari tadi. Aku masih bengong sendiri. Sementara malam belum begitu larut, para penari tadi mulai mencopoti satu per satu busana yang mereka kenakan. Kuhisap rokok dan kuhembuskan asapnya ke udara. Kuedarkan pandangan berkeliling sambil berharap dapat menemukan seseorang yang kukenal.

Masih kuedarkan pandangan mataku ke sekeliling ruangan. Kurdt dan Niko tampak asyik berjoget. Para penari tadi sekarang tinggal mengenakan celana dalam dan penutup dada saja. Dan entah apa sebabnya, di sudut sebelah timur terjadi sedikit keributan. Aku tak peduli.

Ketika pandanganku sampai di sudut sebelah selatan panggung, mataku terpaku pada sosok perempuan yang sepertinya pernah aku kenal, tapi aku lupa. Aku masih terus memandanginya sambil berusaha untuk mengingat-ingat siapa dia.

Duduk bersama tiga temannya, mereka asyik memperhatikan para penari striptease di stage. Seperti ada yang mempengaruhi, dia menengok ke arahku. Pandangan kami bertemu. Ia tersenyum, lalu berdiri dan berjalan ke arahku.

“Hai, sendirian?”, tanyanya.
“Gak kok. Bersama teman, tapi mereka lagi asyik melantai”.
“Lupa ya sama aku?”.
“Mmm, maaf, iya”, sahutku.
“Ingat gadis kecil berambut merah yang bernyanyi di atas panggung pada suatu acara ulang tahun, sekitar 7 tahun yang lalu? Ingat gak?”.

[Ah, ternyata dia adalah gadis kecil berambut merah itu. Pantas kalau aku merasa seperti pernah mengenalnya.]

Image by Ady Setiawan from Pixabay



II

Namanya Frances Bean, tapi aku sering memanggilnya Bean. Pertama kali bertemu dengannya ketika acara ulang tahun salah satu sepupuku. Waktu itu dia masih berumur 13 tahun.

Bean tinggal beberapa blok dari apartemen yang kutinggali. Ia tinggal sendiri. Ayahnya yang seorang diplomat sekarang bertugas di Paris. Sedangkan kakak perempuannya sudah menikah dan tinggal bersama suaminya di Medan.

[Desember 13, Jam 19.45 Wib, Apartemen Bean]
“Mau minum apa?”
“Apa aja deh”.

Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan apartemennya. Apartemen yang bersih dan rapi. Di rak ada buku-buku filsafat yang berjejer rapi. Juga ada koleksi CD lagu-lagu tahun 70-an. Di dinding terpajang beberapa buah lukisan dan satu potret hitam putih sebuah keluarga.
“Nih, masih suka kopi kan?”, tanyanya, sambil menyodorkan secangkir kopi padaku.
“Ya, apa ada yang lebih nikmat dari secangkir kopi?”, kataku balik bertanya.

Bean tidak menjawab, hanya tersenyum. Dan itu sudah cukup bagiku.

“Itu lukisan siapa?”, tanyaku sambil menunjuk ke salah satu lukisan.
“Lukisanku sendiri. Dari kecil aku suka melukis. Aku suka Picasso”.
“Oh”.

Sementara CD player mengalunkan “What A Wonderful World”nya Louis Armstrong, kami masih terus berbincang tentang banyak hal. Tentang Nietzsche, Picasso, puisi, film atau musik. Tentang dunia politik di negeri ini. Juga tentang rencana-rencananya.

Sebenarnya sejak pertama jumpa, aku sudah menyimpan rasa suka padanya. Tapi pada saat itu aku melihatnya masih terlalu kecil, di samping jarak usiaku yang terpaut cukup jauh dengannya, sekitar sepuluh tahun. Ya, sepuluh tahun, jarak usia yang memang cukup jauh.



III
“Bantu aku meyakinkan diriku, bahwa pilihanku tinggal bersamamu adalah pilihan yang tepat”, katanya, ketika dia sedang berada dalam kebimbangan menentukan pilihan antara melanjutkan kuliahnya ke Paris atau tetap tinggal di sini.
“Kau tahu, aku tidak punya apa-apa. Aku hanyalah seorang penulis. Kau tahu sendiri berapa uang yang bisa didapat dari satu tulisan.”, aku balik bertanya padanya.
“Tapi, kita punya cinta. Bukankah itu lebih dari cukup untuk kita? Untuk soal-soal yang lain, kita bisa pikirkan bersama. Nanti!”.
“Kau rela mengorbankan semua impian-impianmu selama ini?”.
“Aku tidak akan mengorbankan impianku, karena impianku adalah bersamamu. Itu saja!”, katamu tegas.
“Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Dan asal kau tahu, sebenarnya aku juga ingin selalu bersamamu”.
Aku dan Bean masih bersama, merajut mimpi bersama. Bean masih tetap melukis dan mencoba menggapai impiannya yang lain dengan cara yang berbeda. Aku juga masih terus menulis, meski tidak terlalu produktif menghasilkan tulisan.

Aku dan Bean mencoba bertahan meski berbagai masalah menghadang. Dan mungkin dengan cinta yang merekatkan, akan bisa meringankan beban yang kami sandang, meski tidak tahu sampai kapan perahu ini akan bertahan, tak akan tenggelam.[]

22.12.17

Niko



Niko tampak cantik dalam balutan kimono berwarna violet, warna kesukaannya. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai jatuh di bahunya. Riasan tipis di wajahnya, tetap tidak mengurangi keanggunannya. Senyum yang selalu mengembang di bibirnya, membuatku terpana.

      "Kenapa sih, kamu selalu memandangku seperti itu?”, katanya, sedikit jengah kupandangi.
            “Apa tidak boleh aku mengagumi kecantikanmu?”, aku balik bertanya.
            “Kita kan tiap hari ketemu. Kaya’ kamu gak pernah ketemu aku aja”.
            “Iya. Tapi, itu tetap tak bisa menghapus kekagumanku pada dirimu”.
            “Selalu begitu. Terserah kamu”, katanya menyerah.

            Meski keturunan Jepang, Niko belum pernah berkunjung ke negeri asal nenek moyangnya itu. Sejak lahir sampai sekarang, Niko tinggal di sini. Jadi jangan heran jika mendengar Niko tidak begitu fasih berbahasa Jepang. Tapi kalau soal makanan, jangan ditanya, dia jagonya. Masakannya tidak kalah dengan hasil masakan dari koki di resto-resto khusus masakan Jepang.

            Dengan tinggi 180 cm, wajah cantik khas perempuan oriental, sebenarnya dia cocok untuk menjadi model, atau setidaknya bintang iklan. Pernah aku mengusulkan padanya untuk mencoba ikut casting atau ajang-ajang pemilihan model dan cover girl di suatu majalah, tapi dia tidak pernah mau.

            “Aku gak ingin menjadi pusat perhatian. Aku merasa nyaman dengan diriku sekarang ini. Melukis, menulis, atau bahkan memasak. Itu semua sudah cukup membuatku merasa bahagia. Apalagi yang harus kucari, selain kebahagiaan?”.

            Mendengar alasannya, aku tak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Di satu sisi, aku ingin melihatnya memanfaatkan setiap kesempatan yang terbentang untuk melangkah lebih jauh ke depan. Tapi, di sisi yang lain sebenarnya aku merasa takut. Aku takut jika nanti Niko sudah menjadi sosok yang dikenal banyak orang, aku tak akan bisa lagi bertemu dan berhubungan dengannya secara leluasa seperti sekarang ini.

Image by Ady Setiawan from Pixabay

[]

            Niko dan aku sudah berteman sejak lama, sejak kami masih kecil. Kebetulan kami sama-sama anak tunggal di keluarga masing-masing. Kami sudah seperti saudara. Karena aku yang lebih tua setahun darinya, maka aku yang harus berperan sebagai kakak dan dia adiknya. Seperti lazimnya, tugas seorang kakak adalah menjaga dan melindungi sang adik. Itulah peran yang harus kami jalani.

            Aku ingat, ketika itu Niko masih kelas 5 SD. Sepulang sekolah dia menangis. Segera kuhampiri dia.

            “Kenapa menangis? Apa ada yang mengganggumu?”.
            “Tadi cokelatku diambil si Andy”, kata Niko, mengadu.
            “Sudah, jangan menangis. Nanti kubelikan cokelat lagi”, kataku sambil berusaha meredakan tangisnya.
            Niko diam. Mengusap sisa-sisa air mata di pipinya, kemudian tersenyum.

            Esok harinya, aku datangi Andy. Begitu ketemu dengannya, langsung kuhadiahi dia dengan sebuah pukulan yang tepat mengenai hidungnya, sambil tak lupa kusertakan pula ancaman agar dia tidak mengganggu Niko lagi.

            Yang terjadi selanjutnya adalah Niko tidak pernah lagi diganggu oleh teman-temannya. Tapi karena peristiwa itu pula, aku sempat di skors selama seminggu.
            Bila mengingat kejadian-kejadian yang kami alami di waktu kecil dulu, aku dan Niko selalu tertawa.

            Kedekatanku dengan Niko kadang memunculkan rasa cemas di hatiku. Aku takut jika suatu saat nanti aku harus berpisah dengannya. Takut jika nanti aku tidak akan pernah lagi bisa menghabiskan waktu bersamanya.
            Pernah Niko bertanya padaku apakah hubunganku dengannya tidak mengganggu hubunganku dengan orang lain. Aku tidak langsung menjawabnya, tapi balik mengajukan pertanyaan yang sama padanya. Niko pun tidak menjawab secara tegas pertanyaanku.

            Kejadiannya kira-kira setahun yang lalu.

            “Apa hubungan kita ini tidak mengganggu hubunganmu dengan orang lain?”, tanya Niko.

            Aku tidak menjawab. Hanya diam, sambil menghela nafas.

            “Selama ini aku tidak pernah melihatmu dekat dengan perempuan lain, selain aku”, tambahnya.

            Aku tidak langsung menjawab. Menghela nafas. Memandang wajahnya.
            “Tidak akan ada yang merasa terganggu melihat hubunganku denganmu, Niko. Entah denganmu. Apa ini juga tidak mengganggu hubunganmu dengan orang lain?”.
            “Tidak”.
            “Terus kenapa selama ini tidak ada perempuan yang dekat denganmu?”, tanya Niko.
            “Apa masalah ini begitu penting untuk diperdebatkan? Jika selama ini tidak ada perempuan yang dekat denganku, itu karena aku memang belum menginginkannya. Itu saja. Dan tolong jangan permasalahkan soal ini lagi”.

            Niko hanya terdiam. Memandang titik-titik air yang mulai jatuh membasahi pelataran rumahnya. Gerimis datang, dan mungkin sebentar lagi akan turun hujan.

            Sampai sekarang kami tidak pernah lagi memperbincangkan soal itu lagi.
[]

          
           “Hei! Jangan bengong aja. Makan tuh!”, seru Niko, mengagetkanku.

            Melihatku terkejut, Niko tersenyum.

            “Ya Tuhan, terima kasih telah Kau ciptakan makhluk indah itu di sini. Dan telah Kau izinkan aku untuk dapat berada dekat dengannya”, ucapku dalam hati.
            “Iya. Kamu juga. Aku tak ingin menikmati masakan terlezat yang pernah kunikmati ini seorang diri”.

            Seperti hari-hari yang lain, hari ini Niko juga memasak sendiri.

            Hari ini adalah hari terakhir dia berada di sini. Besok, dia harus menemani mamanya yang ingin menghabiskan hari tuanya di negeri para leluhurnya, Jepang. Dan entah kapan dia akan kembali lagi ke sini.

            Kami menghabiskan malam berdua. Bercerita dan berbincang tentang banyak hal, sepanjang malam. Di bawah bintang dan bulan yang bersinar terang. Purnama. Bulan bulat penuh. Malam yang indah.

            Esok paginya, aku mengantarkan Niko dan mamanya sampai di bandara. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir kami berdua. Hanya tatapan mata yang berbicara.

            “Aku akan merindukanmu. Tolong jangan lupakan aku”, kata Niko sambil memelukku, sebelum beranjak memasuki pesawat.
            “Aku juga akan merindukanmu. Aku tak akan pernah melupakanmu. Jaga dirimu baik-baik”.
            Niko tersenyum, manis sekali. Senyum yang tak akan mungkin pernah bisa kulupakan.

            Mungkin memang benar jika ada yang mengatakan, kita akan lebih menghargai apa yang kita miliki apabila kita telah kehilangan sesuatu yang kita miliki tersebut.

            Apakah aku akan kehilangan Niko? Entah.[]

14.12.17

Anak Perempuan Berambut Ikal Yang Wajahnya Sangat Cantik

AKU bukan orang baik. Tepatnya tidak terlalu baik. Aku juga sering melakukan dosa dan kesalahan yang mungkin banyak orang lain lakukan. Mencuri, mabuk, main perempuan atau tidak beribadah. Meski sewaktu kecil aku sekolah madrasah, tapi sampai sekarang aku tidak lancar mengaji. Aku hanya bisa membaca dengan lancar dan hafal beberapa surat pendek saja. Itu pun karena beberapa surat tersebut sering kubaca kalau aku sedang beribadah. Sekali lagi, kalau sedang beribadah.

Semenjak diterima kerja di sebuah kota besar di ujung barat Pulau ini, aku menjadi akrab dengan hal-hal yang di mata orang banyak dianggap tidak patut. Tidak baik.

Pertama kali menginjakkan kaki di kota ini aku langsung berkenalan dengan Panut, seorang pencopet yang biasa beroperasi di terminal. Perkenalanku awalnya terjadi karena memergoki dia mencopet seorang mahasiswi cantik di sebuah bis kota yang kebetulan aku naiki.

Waktu itu, anehnya aku tiba-tiba lupa dengan segala pesan-pesan baik dari kedua orang tua dan teman-teman di kampung. Waktu itu yang ada di kepalaku adalah pikiran bahwa pencopet itu sungguh memiliki nyali yang cukup besar untuk melakukannya, dan hanya orang-orang pilihan yang sanggup melakukannya. Salah satunya adalah Panut.

Sekian tahun di perantauan sudah membuatku lupa tentang banyak hal dari tempat di mana aku berasal. Di antaranya adalah siapa nama teman karibku, yang sering mengajak bolos madrasah dan malah mengajak jeguran di kali yang airnya keruh seperti susu. 

Banyak hal yang terlupakan. Namun di antara banyak hal yang terlupakan itu, terselip juga satu hal yang masih membekas di ingatanku. Seperti luka yang meninggalkan bekas sayatan di muka Panut sewaktu berkelahi dengan preman di terminal sebelum dia berhasil menaklukkannya, lalu menebusnya dengan tinggal di penjara selama 5 tahun. Hal yang masih membekas, meninggalkan tanda yang begitu sulit untuk dilupakan.

{}

MATAHARI mulai angslup ke peraduannya diiringi semburat berwarna jingga di ufuk barat. Burung-burung berombongan terbang pulang ke sarang. Jendela-jendela segera ditutup dan lampu-lampu mulai dinyalakan. Sebentar lagi dari langit akan terdengar suara azan sebagai penanda bahwa maghrib telah tiba. Orang-orang tua mulai menyuruh anaknya untuk segera masuk ke rumah. Dan jika ada yang belum pulang, mereka akan bergegas mencarinya sampai ketemu dan menggiringnya pulang sambil mulutnya meracau penuh omelan.

Demikian juga denganku dan adik lelakiku. Setiap senja datang dan gelap malam mulai menjelang, kami dilarang untuk keluar rumah. Kata bapak, waktu senja yang merupakan waktu perputaran dari siang menuju malam adalah waktu yang rawan. Pada saat-saat itu candikala akan datang dan mengambil anak-anak kecil yang masih berkeliaran di luar rumah untuk dijadikan santapan makan malamnya. Maka dari itu ketika hari mulai senja, keadaan kampung menjadi sepi. Tidak ada gelak tawa dan celoteh riang anak kecil. Tidak ada suara berlarian anak-anak bermain. Yang boleh berada di luar rumah adalah mereka yang sudah dewasa dan orang-orang tua semacam mbah Usup, seorang veteran perang jaman kemerdekaan yang setiap malam datang ke rumah hanya untuk numpang tidur dengan alasan menonton televisi.

Pernah aku bertanya tentang alasan kenapa anak-anak tidak boleh keluar rumah pada saat senja hari kepada mbah Usup di sela-sela perhatiannya menonton siaran langsung sidang kabinet yang ditayangkan TVRI. Tapi bukan jawaban yang memberikan pencerahan atas rasa keingin-tahuanku melainkan sebuah dampratan yang tak habis-habisnya sampai mbah Usup tertidur kelelahan.

Mbah Usup merupakan orang tertua di kampungku dan dia selalu dijadikan rujukan pertama atas segala sesuatu yang berhubungan dengan sejarah, peristiwa atau hal-hal lain yang terjadi yang berhubungan dengan kampung ini. Apapun yang dikatakan oleh mbah Usup selalu menjadi dogma, selalu benar, selalu dituruti. Tidak ada yang berani membantah apapun perkataannya. Semua orang, termasuk bapak.

{}

SETELAH dewasa aku mencoba mencari tahu bagaimana sejarah yang tercipta di kampungku. Mbah Usup sudah lama meninggal karena sakit, setelah istrinya mendahuluinya sebulan sebelumnya.

Dari cerita-cerita para tetua kampung sepeninggal Mbah Usup kuperoleh sebuah kisah yang menjadi latar belakang kenapa setiap senja hari anak-anak kecil di kampung ini tidak boleh keluar rumah.

Berpuluh-puluh tahun lalu, Mbah Usup memiliki seorang anak perempuan berambut ikal yang wajahnya sangat cantik. Setiap sore sampai menjelang maghrib ia selalu bermain petak umper bersama teman-teman sebayanya di lapangan dekat kuburan. Pada suatu hari mereka bermain petak umpet, dan ketika seharusnya permainan itu sudah berakhir, anak Mbah Usup tidak pulang ke rumah. Lalu gegerlah seluruh kampung. Semua orang dewasa, laki-perempuan, ikut mencari anak perempuan Mbah Usup itu sampai ke seluruh kampung. Tapi tidak ketemu, tidak pernah ketemu. Sampai sekarang.

Sejak itu, Mbah Usup mulai memberlakukan larangan keluar rumah pada waktu pergantian hari dari siang menuju malam bagi semua orang, terutama anak kecil, dan barangsiapa yang melanggarnya akan dikutuk, dimaki dan yang paling berat sanksinya akan diusir dari kampung ini.

{}

"PAK, aku ingin pintar mengaji. Agar besok aku bisa mengajari bapak mengaji. Bapak kan tidak bisa mengaji", kata Aleyya anak ragilku tiba-tiba membuyarkan segala lamunanku.
Gambar oleh vinicius oliveira dari Pixabay