Showing posts with label 30 hari bercerita. Show all posts
Showing posts with label 30 hari bercerita. Show all posts

12.1.18

Biru

"Ayo bersenang-senanglah. Tabrak segala aturan. Lupakan semua persoalan", suara seseorang dalam kepalaku berbisik. Terdengar jelas dan dekat. Seperti aku berbisik pada diriku sendiri. Tapi aku tidak tahu siapa dia.

"Ayo jangan ragu. Tak ada yang peduli padamu. Tubuhmu adalah milikmu!", lagi seseorang itu berbisik. Kali ini dengan suara yang lebih tebal dan dalam. Seperti ular yang mendesis ketika menebarkan ancaman.

"Apa yang harus kuperbuat? Bukankah kita semua ini terikat norma dan etika?", tanyaku pada seseorang di dalam kepalaku. Sepi. Hening. Tak ada jawaban. "Ah, mungkin dia sudah pergi. Bersama kekasih yang lain", batinku.

Hampir 2 minggu dia tak lagi berbisik. Awalnya aku merasa senang tak ada lagi yang menggangguku dengan bisikan-bisikannya. Tapi lama-lama terbit rasa kehilangan. Aku kangen bisikan-bisikan lembutnya, meski kadang juga merasa jengkel dengan bisikannya yang serupa ancaman.

Semalam dia datang lagi. Tak lagi berbisik. Tapi mengajak bercakap-cakap. Tidak berhadapan. Masih di dalam kepala.

"Kemarin aku pergi jauh. Seseorang merayuku untuk meninggalkanmu, lalu mengajakku ke sebuah tempat yang semuanya berwarna biru. Orang-orangnya biru. Rumahnya biru. Pohonnya biru. Udaranya biru. Airnya biru. Kemudian aku teringat dirimu. Matamu yang biru", katanya ketika kutanya ke mana dia selama beberapa waktu.

"Kenapa kau sekarang kembali?", tanyaku. Dia tak menjawab. Hanya tersenyum. Senyum yang biru. Dan mata yang biru.

8.1.18

Demam

Artwork by @arr_riz
Dia kemudian menari, meliuk-liukkan tubuhnya dengan gemulai. Kukira dia pasti seorang perempuan, karena tariannya begitu luwes dan sedap dipandang mata. Tak mungkin seorang lelaki bisa menari segemulai itu, karena seorang lelaki diciptakan dari besi yang keras dan kuat.

Walaupun tak ada iringan suara gamelan dia masih tetap menari. Menari dalam sunyi. Seperti kesurupan. Seperti orang Indian yang sedang kerasukan roh leluhurnya. Masih menari. Terus menari.

Lama-kelamaan tubuhnya menjadi semakin besar hingga ukurannya sama dengan tubuhku. Dia tersenyum kepadaku, segera saja kubalas senyumannya. Dia mengajakku menari. Sebenarnya aku ingin menuruti ajakannya menari, aku ingin mempraktekkan tarian yang pernah kupelajari sewaktu les bersama seorang guru tari di pendopo kantor kecamatan. Tapi badanku rasanya ringkih, lemah sekali, tak mampu bergerak.

Perlahan dia kemudian berjalan menjauh, menuju ujung kamar ini sambil tetap menari. Mengajak siapa saja yang ditemuinya di sepanjang perjalanannya untuk menari bersamanya. Tapi tak ada yang mau dan peduli padanya. Aku hanya bisa menatapnya pergi, dan dari kejauhan dia melambaikan tangannya seakan pamit kepadaku.

Tubuhnya sudah tidak nampak dengan jelas lagi, samar menyerupai bayang-bayang hitam. Tapi tak mau hilang. Masih melekat di mata dan pikiran. Seperti kenangan yang ingin segera dilupakan, tapi malah menempel erat tak terpisahkan.

Kemudian kulihat wajah ibu. Tangannya lembut mengusap kepalaku. Bibirnya seperti berbicara tapi aku tak tahu apa.


3.1.18

Kartu Pos Bergambar Semangka

Meravigliosi, seorang perempuan berperut buncit dan berambut keriting yang ruwetnya seperti kaset pita yang kusut, berada di pertengahan usia 40an. Sudah hampir 5 bulan ini dia setiap 2 kali dalam seminggu selalu menerima kiriman kartu pos dari seseorang. Ya, setiap hari Senin dan Kamis dia selalu mendapatkan kartu pos yang dikirim oleh seseorang entah siapa.

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari kartu pos itu, kecuali gambarnya yang selalu semangka. Kartu pos tanpa nama dan alamat pengirim itu berisi kutipan puisi dari Lord Byron atau potongan lagu The Doors. Dan hal itulah yang membuatnya merasa heran, bahwa ternyata ada seseorang di luar sana yang begitu memperhatikannya, hingga bisa tahu siapa penyair dan band kesukaannya.

Pada awalnya dia merasa mangkel, ingin marah dan berniat mencari siapa orang usil yang sedang mengisenginya. Tapi dengan tidak adanya nama dan alamat pengirim membuatnya kesulitan untuk melacak dari mana awal perjalanan kartu pos itu bermula hingga akhirnya menetap di alamatnya.

Namun 2 bulan setelah kartu pos pertama diterimanya,  pelan-pelan timbul rasa suka ketika ada kurir datang mengantar kartu pos untuknya. Dia merasa diperhatikan, dia merasa disayangi. "Disayangi? Ah, terlalu berlebihan!", pikirnya.

Meravigliosi kini punya kebiasaan baru setelah resign dari pekerjaannya 5 bulan yang lalu. Ia menjadi rajin menunggu datangnya kurir yang membawa kartu pos bergambar semangka pada setiap hari Senin dan Kamis, serta memborong kartu pos bergambar semangka lalu mengirimkannya sendiri.

[end]
tulisan ini dibuat dalam rangka tantangan 30 hari bercerita