27.12.17

Frances Bean

I
[Aku jatuh cinta, lagi!]

Aku, Kurdt dan Niko berada di studio 54, salah satu café paling ngetop di kota ini. Kebetulan saat itu lagi diadakan suatu acara, jadi tak heran kalau suasana di dalam café itu begitu ramai dan penuh sesak dengan para pengunjung yang berjubel.

Aroma alkohol begitu menusuk hidung, belum lagi ditambah dengan asap-asap rokok yang saling berebut untuk masuk ke paru-paru lebih dulu.

Di panggung, tiga orang penari striptease sedang berlenggak-lenggok menunjukkan keseksiannya, di depan mata telanjang pengunjung café yang sebagian besar adalah anak muda berusia belasan. Sementara itu, DJ terlihat asyik sendiri meramu musik dari Prodigy dan The Chemical Brothers.

Kurdt dan Niko sudah melantai sedari tadi. Aku masih bengong sendiri. Sementara malam belum begitu larut, para penari tadi mulai mencopoti satu per satu busana yang mereka kenakan. Kuhisap rokok dan kuhembuskan asapnya ke udara. Kuedarkan pandangan berkeliling sambil berharap dapat menemukan seseorang yang kukenal.

Masih kuedarkan pandangan mataku ke sekeliling ruangan. Kurdt dan Niko tampak asyik berjoget. Para penari tadi sekarang tinggal mengenakan celana dalam dan penutup dada saja. Dan entah apa sebabnya, di sudut sebelah timur terjadi sedikit keributan. Aku tak peduli.

Ketika pandanganku sampai di sudut sebelah selatan panggung, mataku terpaku pada sosok perempuan yang sepertinya pernah aku kenal, tapi aku lupa. Aku masih terus memandanginya sambil berusaha untuk mengingat-ingat siapa dia.

Duduk bersama tiga temannya, mereka asyik memperhatikan para penari striptease di stage. Seperti ada yang mempengaruhi, dia menengok ke arahku. Pandangan kami bertemu. Ia tersenyum, lalu berdiri dan berjalan ke arahku.

“Hai, sendirian?”, tanyanya.
“Gak kok. Bersama teman, tapi mereka lagi asyik melantai”.
“Lupa ya sama aku?”.
“Mmm, maaf, iya”, sahutku.
“Ingat gadis kecil berambut merah yang bernyanyi di atas panggung pada suatu acara ulang tahun, sekitar 7 tahun yang lalu? Ingat gak?”.

[Ah, ternyata dia adalah gadis kecil berambut merah itu. Pantas kalau aku merasa seperti pernah mengenalnya.]

Image by Ady Setiawan from Pixabay



II

Namanya Frances Bean, tapi aku sering memanggilnya Bean. Pertama kali bertemu dengannya ketika acara ulang tahun salah satu sepupuku. Waktu itu dia masih berumur 13 tahun.

Bean tinggal beberapa blok dari apartemen yang kutinggali. Ia tinggal sendiri. Ayahnya yang seorang diplomat sekarang bertugas di Paris. Sedangkan kakak perempuannya sudah menikah dan tinggal bersama suaminya di Medan.

[Desember 13, Jam 19.45 Wib, Apartemen Bean]
“Mau minum apa?”
“Apa aja deh”.

Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan apartemennya. Apartemen yang bersih dan rapi. Di rak ada buku-buku filsafat yang berjejer rapi. Juga ada koleksi CD lagu-lagu tahun 70-an. Di dinding terpajang beberapa buah lukisan dan satu potret hitam putih sebuah keluarga.
“Nih, masih suka kopi kan?”, tanyanya, sambil menyodorkan secangkir kopi padaku.
“Ya, apa ada yang lebih nikmat dari secangkir kopi?”, kataku balik bertanya.

Bean tidak menjawab, hanya tersenyum. Dan itu sudah cukup bagiku.

“Itu lukisan siapa?”, tanyaku sambil menunjuk ke salah satu lukisan.
“Lukisanku sendiri. Dari kecil aku suka melukis. Aku suka Picasso”.
“Oh”.

Sementara CD player mengalunkan “What A Wonderful World”nya Louis Armstrong, kami masih terus berbincang tentang banyak hal. Tentang Nietzsche, Picasso, puisi, film atau musik. Tentang dunia politik di negeri ini. Juga tentang rencana-rencananya.

Sebenarnya sejak pertama jumpa, aku sudah menyimpan rasa suka padanya. Tapi pada saat itu aku melihatnya masih terlalu kecil, di samping jarak usiaku yang terpaut cukup jauh dengannya, sekitar sepuluh tahun. Ya, sepuluh tahun, jarak usia yang memang cukup jauh.



III
“Bantu aku meyakinkan diriku, bahwa pilihanku tinggal bersamamu adalah pilihan yang tepat”, katanya, ketika dia sedang berada dalam kebimbangan menentukan pilihan antara melanjutkan kuliahnya ke Paris atau tetap tinggal di sini.
“Kau tahu, aku tidak punya apa-apa. Aku hanyalah seorang penulis. Kau tahu sendiri berapa uang yang bisa didapat dari satu tulisan.”, aku balik bertanya padanya.
“Tapi, kita punya cinta. Bukankah itu lebih dari cukup untuk kita? Untuk soal-soal yang lain, kita bisa pikirkan bersama. Nanti!”.
“Kau rela mengorbankan semua impian-impianmu selama ini?”.
“Aku tidak akan mengorbankan impianku, karena impianku adalah bersamamu. Itu saja!”, katamu tegas.
“Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Dan asal kau tahu, sebenarnya aku juga ingin selalu bersamamu”.
Aku dan Bean masih bersama, merajut mimpi bersama. Bean masih tetap melukis dan mencoba menggapai impiannya yang lain dengan cara yang berbeda. Aku juga masih terus menulis, meski tidak terlalu produktif menghasilkan tulisan.

Aku dan Bean mencoba bertahan meski berbagai masalah menghadang. Dan mungkin dengan cinta yang merekatkan, akan bisa meringankan beban yang kami sandang, meski tidak tahu sampai kapan perahu ini akan bertahan, tak akan tenggelam.[]

22.12.17

Niko



Niko tampak cantik dalam balutan kimono berwarna violet, warna kesukaannya. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai jatuh di bahunya. Riasan tipis di wajahnya, tetap tidak mengurangi keanggunannya. Senyum yang selalu mengembang di bibirnya, membuatku terpana.

      "Kenapa sih, kamu selalu memandangku seperti itu?”, katanya, sedikit jengah kupandangi.
            “Apa tidak boleh aku mengagumi kecantikanmu?”, aku balik bertanya.
            “Kita kan tiap hari ketemu. Kaya’ kamu gak pernah ketemu aku aja”.
            “Iya. Tapi, itu tetap tak bisa menghapus kekagumanku pada dirimu”.
            “Selalu begitu. Terserah kamu”, katanya menyerah.

            Meski keturunan Jepang, Niko belum pernah berkunjung ke negeri asal nenek moyangnya itu. Sejak lahir sampai sekarang, Niko tinggal di sini. Jadi jangan heran jika mendengar Niko tidak begitu fasih berbahasa Jepang. Tapi kalau soal makanan, jangan ditanya, dia jagonya. Masakannya tidak kalah dengan hasil masakan dari koki di resto-resto khusus masakan Jepang.

            Dengan tinggi 180 cm, wajah cantik khas perempuan oriental, sebenarnya dia cocok untuk menjadi model, atau setidaknya bintang iklan. Pernah aku mengusulkan padanya untuk mencoba ikut casting atau ajang-ajang pemilihan model dan cover girl di suatu majalah, tapi dia tidak pernah mau.

            “Aku gak ingin menjadi pusat perhatian. Aku merasa nyaman dengan diriku sekarang ini. Melukis, menulis, atau bahkan memasak. Itu semua sudah cukup membuatku merasa bahagia. Apalagi yang harus kucari, selain kebahagiaan?”.

            Mendengar alasannya, aku tak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Di satu sisi, aku ingin melihatnya memanfaatkan setiap kesempatan yang terbentang untuk melangkah lebih jauh ke depan. Tapi, di sisi yang lain sebenarnya aku merasa takut. Aku takut jika nanti Niko sudah menjadi sosok yang dikenal banyak orang, aku tak akan bisa lagi bertemu dan berhubungan dengannya secara leluasa seperti sekarang ini.

Image by Ady Setiawan from Pixabay

[]

            Niko dan aku sudah berteman sejak lama, sejak kami masih kecil. Kebetulan kami sama-sama anak tunggal di keluarga masing-masing. Kami sudah seperti saudara. Karena aku yang lebih tua setahun darinya, maka aku yang harus berperan sebagai kakak dan dia adiknya. Seperti lazimnya, tugas seorang kakak adalah menjaga dan melindungi sang adik. Itulah peran yang harus kami jalani.

            Aku ingat, ketika itu Niko masih kelas 5 SD. Sepulang sekolah dia menangis. Segera kuhampiri dia.

            “Kenapa menangis? Apa ada yang mengganggumu?”.
            “Tadi cokelatku diambil si Andy”, kata Niko, mengadu.
            “Sudah, jangan menangis. Nanti kubelikan cokelat lagi”, kataku sambil berusaha meredakan tangisnya.
            Niko diam. Mengusap sisa-sisa air mata di pipinya, kemudian tersenyum.

            Esok harinya, aku datangi Andy. Begitu ketemu dengannya, langsung kuhadiahi dia dengan sebuah pukulan yang tepat mengenai hidungnya, sambil tak lupa kusertakan pula ancaman agar dia tidak mengganggu Niko lagi.

            Yang terjadi selanjutnya adalah Niko tidak pernah lagi diganggu oleh teman-temannya. Tapi karena peristiwa itu pula, aku sempat di skors selama seminggu.
            Bila mengingat kejadian-kejadian yang kami alami di waktu kecil dulu, aku dan Niko selalu tertawa.

            Kedekatanku dengan Niko kadang memunculkan rasa cemas di hatiku. Aku takut jika suatu saat nanti aku harus berpisah dengannya. Takut jika nanti aku tidak akan pernah lagi bisa menghabiskan waktu bersamanya.
            Pernah Niko bertanya padaku apakah hubunganku dengannya tidak mengganggu hubunganku dengan orang lain. Aku tidak langsung menjawabnya, tapi balik mengajukan pertanyaan yang sama padanya. Niko pun tidak menjawab secara tegas pertanyaanku.

            Kejadiannya kira-kira setahun yang lalu.

            “Apa hubungan kita ini tidak mengganggu hubunganmu dengan orang lain?”, tanya Niko.

            Aku tidak menjawab. Hanya diam, sambil menghela nafas.

            “Selama ini aku tidak pernah melihatmu dekat dengan perempuan lain, selain aku”, tambahnya.

            Aku tidak langsung menjawab. Menghela nafas. Memandang wajahnya.
            “Tidak akan ada yang merasa terganggu melihat hubunganku denganmu, Niko. Entah denganmu. Apa ini juga tidak mengganggu hubunganmu dengan orang lain?”.
            “Tidak”.
            “Terus kenapa selama ini tidak ada perempuan yang dekat denganmu?”, tanya Niko.
            “Apa masalah ini begitu penting untuk diperdebatkan? Jika selama ini tidak ada perempuan yang dekat denganku, itu karena aku memang belum menginginkannya. Itu saja. Dan tolong jangan permasalahkan soal ini lagi”.

            Niko hanya terdiam. Memandang titik-titik air yang mulai jatuh membasahi pelataran rumahnya. Gerimis datang, dan mungkin sebentar lagi akan turun hujan.

            Sampai sekarang kami tidak pernah lagi memperbincangkan soal itu lagi.
[]

          
           “Hei! Jangan bengong aja. Makan tuh!”, seru Niko, mengagetkanku.

            Melihatku terkejut, Niko tersenyum.

            “Ya Tuhan, terima kasih telah Kau ciptakan makhluk indah itu di sini. Dan telah Kau izinkan aku untuk dapat berada dekat dengannya”, ucapku dalam hati.
            “Iya. Kamu juga. Aku tak ingin menikmati masakan terlezat yang pernah kunikmati ini seorang diri”.

            Seperti hari-hari yang lain, hari ini Niko juga memasak sendiri.

            Hari ini adalah hari terakhir dia berada di sini. Besok, dia harus menemani mamanya yang ingin menghabiskan hari tuanya di negeri para leluhurnya, Jepang. Dan entah kapan dia akan kembali lagi ke sini.

            Kami menghabiskan malam berdua. Bercerita dan berbincang tentang banyak hal, sepanjang malam. Di bawah bintang dan bulan yang bersinar terang. Purnama. Bulan bulat penuh. Malam yang indah.

            Esok paginya, aku mengantarkan Niko dan mamanya sampai di bandara. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir kami berdua. Hanya tatapan mata yang berbicara.

            “Aku akan merindukanmu. Tolong jangan lupakan aku”, kata Niko sambil memelukku, sebelum beranjak memasuki pesawat.
            “Aku juga akan merindukanmu. Aku tak akan pernah melupakanmu. Jaga dirimu baik-baik”.
            Niko tersenyum, manis sekali. Senyum yang tak akan mungkin pernah bisa kulupakan.

            Mungkin memang benar jika ada yang mengatakan, kita akan lebih menghargai apa yang kita miliki apabila kita telah kehilangan sesuatu yang kita miliki tersebut.

            Apakah aku akan kehilangan Niko? Entah.[]

20.12.17

Juliet



AKU tidak tahu harus bagaimana memulai cerita ini. Aku selalu kesulitan untuk mengawali segala sesuatu. Itulah sebabnya ketika bermain catur aku tidak pernah mau melakukan langkah untuk yang pertama kali. Dan agar cerita ini bisa berlanjut, ada baiknya kalian bertanya kepadaku apa yang hendak kuceritakan.
Anggap saja kalian sudah bertanya, maka segera akan kuceritakan kisah ini.


NAMANYA Juliet, dan bermacam lagi sebutan dari orang-orang untuk memanggilnya. Ada yang memanggilnya Juliet, atau Juli, atau Yuli, semua panggilan itu akan membuatnya menolehkan kepala kepadamu ketika terdengar suaramu memanggilnya.
Ada beberapa kesalahan anggapan yang sering dilakukan oleh orang-orang tentang Juliet ini. Pertama, orang akan mengira kalau Juliet dilahirkan pada bulan Juli, padahal tidak. Dia dilahirkan pada bulan Desember, 30 tahun yang lalu.
Orang tua Juliet memang gemar memberi nama pada anaknya dengan nama-nama yang membuat orang lain penasaran dan salah terka. Seperti kakak tertua Juliet yang diberi nama Noviana, yang oleh banyak orang sering dikira dilahirkan pada bulan November, atau adik bungsunya yang walaupun namanya Febri tetapi lahirmya di bulan April.
Kemudian yang kedua, membaca namanya orang pasti berpikir kalau orang tua Juliet adalah penggemar berat drama Romeo Juliet karya William Shakespeare yang terkenal itu. Atau minimal mereka adalah penggemar film Romi Yuli yang dibintangi oleh Rano Karno dan Yessy Gusman.
Jangan bayangkan perawakan Juliet akan sama persis dengan perawakan Claire Daines di film Romeo & Juliet, atau perawakan Yessy Gusman. Kalau kalian berprasangka seperti itu kujamin kalian akan mengalami kecewa berat, seperti mendapat pukulan telak, lalu down sedemikan rupa menghadapi kenyataan yang sebenarnya.
Tapi untuk mengatakannya jelek, rasanya tidak tega. Katakan saja, penampilannya biasa saja. Begitu saja, agar tidak menyakiti hatinya.


SUDAH  hampir 5 tahun, aku sekantor dengan Juliet di sebuah perusahaan penyedia jasa outsourching. Aku di bagian keamanan, Juliet di keuangan.
Dari semula bertemu ketika istirahat makan siang di warung, menjadi semakin akrab. Sehingga aku semakin tahu sisi lain dari Juliet di luar kesehariannya di tempat kerja.
Ternyata, dia pernah mengalami kegagalan dalam pernikahan yang membuatnya merasa enggan untuk dekat dengan laki-laki hingga sekarang.
Suatu kali pernah kutanya soal penyebab kegagalan pernikahannya, dia menjawab "Mantan suamiku tidak bisa mengerti diriku. Tidak mau memahami keinginan dan kebiasaanku"
"Harapanku sebenarnya dengan berjalannya waktu, dia akan menerimaku dengan segala kekurangan dan kelebihanku."
"Mungkin bagi kebanyakan orang, apa yang kulakukan dianggap aneh, tidak normal, atau bahkan dianggap gila"
"Memang apa yang kaulakukan?", tanyaku
"Sebelum berhubungan badan aku sering membakar dupa dan mandi kembang tujuh rupa. Karena aku percaya bahwa aku adalah titisan dari seorang ratu penguasa samudra"


HAMPIR tiap hari Juliet selalu mengajakku bicara. Berbincang tentang apa saja, tentang segala hal. Tapi yang paling mendominasi pebincangan adalah topik tentang dirinya sendiri
Dia ceritakan semua hal tentang dirinya. Dari soal kesukaannya berswafoto dengan latar belakang kuburan sampai kisahnya ketika ada seorang anggota kepolisian mendekatinya melalui media sosial.
Suatu pagi, ketika berpapasan di lobby sambil tersenyum Juliet menyapaku lalu bertanya “Siapa yang saat ini ikut denganku?”, sambil tangannya menunjuk pundaknya.
Karena tidak melihat ada orang lain selain kami berdua aku tidak menjawab pertanyaannya, hanya menunjukkan mimik muka yang seakan sebuah jawaban “Tidak ada”. Tapi Juliet bersikukuh mengatakan bahwa ada seseorang atau sesuatu yang saat itu sedang bersamanya.
“Kau tidak melihatnya?”, tanyanya lagi.
“Tidak”, jawabku sambil menggeleng.
“Uh! Dasar bodoh. Dia adalah Kanjeng Ratu!”, sungutnya sambil berjalan meninggalkanku yang masih terheran-heran dengan omongannya.

MASIH banyak hal yang sering Juliet ceritakan padaku, yang makin lama makin membuat penilaianku menjadi seperti penilaian kebanyakan orang kepadanya. Dan setelah kuperhatikan dengan benar-benar, ternyata hanya aku seorang saja teman sekantor yang akrab dengannya. Tak ada lainnya.

***

14.12.17

Anak Perempuan Berambut Ikal Yang Wajahnya Sangat Cantik

AKU bukan orang baik. Tepatnya tidak terlalu baik. Aku juga sering melakukan dosa dan kesalahan yang mungkin banyak orang lain lakukan. Mencuri, mabuk, main perempuan atau tidak beribadah. Meski sewaktu kecil aku sekolah madrasah, tapi sampai sekarang aku tidak lancar mengaji. Aku hanya bisa membaca dengan lancar dan hafal beberapa surat pendek saja. Itu pun karena beberapa surat tersebut sering kubaca kalau aku sedang beribadah. Sekali lagi, kalau sedang beribadah.

Semenjak diterima kerja di sebuah kota besar di ujung barat Pulau ini, aku menjadi akrab dengan hal-hal yang di mata orang banyak dianggap tidak patut. Tidak baik.

Pertama kali menginjakkan kaki di kota ini aku langsung berkenalan dengan Panut, seorang pencopet yang biasa beroperasi di terminal. Perkenalanku awalnya terjadi karena memergoki dia mencopet seorang mahasiswi cantik di sebuah bis kota yang kebetulan aku naiki.

Waktu itu, anehnya aku tiba-tiba lupa dengan segala pesan-pesan baik dari kedua orang tua dan teman-teman di kampung. Waktu itu yang ada di kepalaku adalah pikiran bahwa pencopet itu sungguh memiliki nyali yang cukup besar untuk melakukannya, dan hanya orang-orang pilihan yang sanggup melakukannya. Salah satunya adalah Panut.

Sekian tahun di perantauan sudah membuatku lupa tentang banyak hal dari tempat di mana aku berasal. Di antaranya adalah siapa nama teman karibku, yang sering mengajak bolos madrasah dan malah mengajak jeguran di kali yang airnya keruh seperti susu. 

Banyak hal yang terlupakan. Namun di antara banyak hal yang terlupakan itu, terselip juga satu hal yang masih membekas di ingatanku. Seperti luka yang meninggalkan bekas sayatan di muka Panut sewaktu berkelahi dengan preman di terminal sebelum dia berhasil menaklukkannya, lalu menebusnya dengan tinggal di penjara selama 5 tahun. Hal yang masih membekas, meninggalkan tanda yang begitu sulit untuk dilupakan.

{}

MATAHARI mulai angslup ke peraduannya diiringi semburat berwarna jingga di ufuk barat. Burung-burung berombongan terbang pulang ke sarang. Jendela-jendela segera ditutup dan lampu-lampu mulai dinyalakan. Sebentar lagi dari langit akan terdengar suara azan sebagai penanda bahwa maghrib telah tiba. Orang-orang tua mulai menyuruh anaknya untuk segera masuk ke rumah. Dan jika ada yang belum pulang, mereka akan bergegas mencarinya sampai ketemu dan menggiringnya pulang sambil mulutnya meracau penuh omelan.

Demikian juga denganku dan adik lelakiku. Setiap senja datang dan gelap malam mulai menjelang, kami dilarang untuk keluar rumah. Kata bapak, waktu senja yang merupakan waktu perputaran dari siang menuju malam adalah waktu yang rawan. Pada saat-saat itu candikala akan datang dan mengambil anak-anak kecil yang masih berkeliaran di luar rumah untuk dijadikan santapan makan malamnya. Maka dari itu ketika hari mulai senja, keadaan kampung menjadi sepi. Tidak ada gelak tawa dan celoteh riang anak kecil. Tidak ada suara berlarian anak-anak bermain. Yang boleh berada di luar rumah adalah mereka yang sudah dewasa dan orang-orang tua semacam mbah Usup, seorang veteran perang jaman kemerdekaan yang setiap malam datang ke rumah hanya untuk numpang tidur dengan alasan menonton televisi.

Pernah aku bertanya tentang alasan kenapa anak-anak tidak boleh keluar rumah pada saat senja hari kepada mbah Usup di sela-sela perhatiannya menonton siaran langsung sidang kabinet yang ditayangkan TVRI. Tapi bukan jawaban yang memberikan pencerahan atas rasa keingin-tahuanku melainkan sebuah dampratan yang tak habis-habisnya sampai mbah Usup tertidur kelelahan.

Mbah Usup merupakan orang tertua di kampungku dan dia selalu dijadikan rujukan pertama atas segala sesuatu yang berhubungan dengan sejarah, peristiwa atau hal-hal lain yang terjadi yang berhubungan dengan kampung ini. Apapun yang dikatakan oleh mbah Usup selalu menjadi dogma, selalu benar, selalu dituruti. Tidak ada yang berani membantah apapun perkataannya. Semua orang, termasuk bapak.

{}

SETELAH dewasa aku mencoba mencari tahu bagaimana sejarah yang tercipta di kampungku. Mbah Usup sudah lama meninggal karena sakit, setelah istrinya mendahuluinya sebulan sebelumnya.

Dari cerita-cerita para tetua kampung sepeninggal Mbah Usup kuperoleh sebuah kisah yang menjadi latar belakang kenapa setiap senja hari anak-anak kecil di kampung ini tidak boleh keluar rumah.

Berpuluh-puluh tahun lalu, Mbah Usup memiliki seorang anak perempuan berambut ikal yang wajahnya sangat cantik. Setiap sore sampai menjelang maghrib ia selalu bermain petak umper bersama teman-teman sebayanya di lapangan dekat kuburan. Pada suatu hari mereka bermain petak umpet, dan ketika seharusnya permainan itu sudah berakhir, anak Mbah Usup tidak pulang ke rumah. Lalu gegerlah seluruh kampung. Semua orang dewasa, laki-perempuan, ikut mencari anak perempuan Mbah Usup itu sampai ke seluruh kampung. Tapi tidak ketemu, tidak pernah ketemu. Sampai sekarang.

Sejak itu, Mbah Usup mulai memberlakukan larangan keluar rumah pada waktu pergantian hari dari siang menuju malam bagi semua orang, terutama anak kecil, dan barangsiapa yang melanggarnya akan dikutuk, dimaki dan yang paling berat sanksinya akan diusir dari kampung ini.

{}

"PAK, aku ingin pintar mengaji. Agar besok aku bisa mengajari bapak mengaji. Bapak kan tidak bisa mengaji", kata Aleyya anak ragilku tiba-tiba membuyarkan segala lamunanku.
Gambar oleh vinicius oliveira dari Pixabay