Showing posts with label niko. Show all posts
Showing posts with label niko. Show all posts

17.1.18

Kopi Bean

"Mas, robusta muria aja, seperti biasa", seru Bean begitu memasuki kafe. Sejenak diedarkan pandangan ke seluruh ruangan, lalu berjalan menuju pojok tempat dia biasa duduk berlama-lama di situ.

"Sial! Gara-gara hujan seharian, aku jadi telat presentasi. Padahal ini saat yang paling penting, tapi hasil akhirnya gak begitu bagus. Untung klien masih mau mengerti dan memberi waktu lagi", gerutunya.

"Ups! Tidak seharusnya aku memaki hujan. Benar kata Magda bahwa hujan adalah rahmat, jadi tidak selayaknya makian kutumpahkan padanya. Mestinya kumaki diriku sendiri yang tiap kali hujan datang selalu malas mau ngapa-ngapain."

Secangkir kopi datang. Dihirupnya aroma khas kopi yang begitu digemarinya. Kopi yang berasal dari tempat dia menghabiskan masa kecilnya. Kopi dari perkebunan milik leluhurnya yang sekarang kondisinya seperti hidup segan mati tak mau. 

"Proposal untuk menyulap perkebunan kopi menjadi pusat agribisnis besok harus sudah klir. Tidak boleh lagi ada alasan dan permakluman terhadap diri sendiri", batinnya.

Disruputnya kopi, kemudian didiamkan beberapa saat di rongga mulutnya. Untuk sejenak dia teringat kampung halamannya. Teringat teman-teman masa kecilnya yang sering bermain-main di kebun kopi kakeknya. Teringat Niko, Kurdt, Frances dan Mera.

Ah, bagaimana kabar mereka sekarang? Semoga baik-baik saja. Terakhir ada kabar kalau Mera dirawat di Rumah Sakit Jiwa karena stres entah apa sebabnya.

Kopi selalu mengingatkan Bean akan banyak hal. Termasuk kenangan-kenangan yang sebenarnya ingin dilupakan, ingin disingkirkan. Itu kenapa Bean minum kopi yang disaring terlebih dahulu agar tidak menyisakan ampas, tidak menyisakan kenangan. Tapi tetap saja, ada. Walau setitik.

27.12.17

Frances Bean

I
[Aku jatuh cinta, lagi!]

Aku, Kurdt dan Niko berada di studio 54, salah satu café paling ngetop di kota ini. Kebetulan saat itu lagi diadakan suatu acara, jadi tak heran kalau suasana di dalam café itu begitu ramai dan penuh sesak dengan para pengunjung yang berjubel.

Aroma alkohol begitu menusuk hidung, belum lagi ditambah dengan asap-asap rokok yang saling berebut untuk masuk ke paru-paru lebih dulu.

Di panggung, tiga orang penari striptease sedang berlenggak-lenggok menunjukkan keseksiannya, di depan mata telanjang pengunjung café yang sebagian besar adalah anak muda berusia belasan. Sementara itu, DJ terlihat asyik sendiri meramu musik dari Prodigy dan The Chemical Brothers.

Kurdt dan Niko sudah melantai sedari tadi. Aku masih bengong sendiri. Sementara malam belum begitu larut, para penari tadi mulai mencopoti satu per satu busana yang mereka kenakan. Kuhisap rokok dan kuhembuskan asapnya ke udara. Kuedarkan pandangan berkeliling sambil berharap dapat menemukan seseorang yang kukenal.

Masih kuedarkan pandangan mataku ke sekeliling ruangan. Kurdt dan Niko tampak asyik berjoget. Para penari tadi sekarang tinggal mengenakan celana dalam dan penutup dada saja. Dan entah apa sebabnya, di sudut sebelah timur terjadi sedikit keributan. Aku tak peduli.

Ketika pandanganku sampai di sudut sebelah selatan panggung, mataku terpaku pada sosok perempuan yang sepertinya pernah aku kenal, tapi aku lupa. Aku masih terus memandanginya sambil berusaha untuk mengingat-ingat siapa dia.

Duduk bersama tiga temannya, mereka asyik memperhatikan para penari striptease di stage. Seperti ada yang mempengaruhi, dia menengok ke arahku. Pandangan kami bertemu. Ia tersenyum, lalu berdiri dan berjalan ke arahku.

“Hai, sendirian?”, tanyanya.
“Gak kok. Bersama teman, tapi mereka lagi asyik melantai”.
“Lupa ya sama aku?”.
“Mmm, maaf, iya”, sahutku.
“Ingat gadis kecil berambut merah yang bernyanyi di atas panggung pada suatu acara ulang tahun, sekitar 7 tahun yang lalu? Ingat gak?”.

[Ah, ternyata dia adalah gadis kecil berambut merah itu. Pantas kalau aku merasa seperti pernah mengenalnya.]

Image by Ady Setiawan from Pixabay



II

Namanya Frances Bean, tapi aku sering memanggilnya Bean. Pertama kali bertemu dengannya ketika acara ulang tahun salah satu sepupuku. Waktu itu dia masih berumur 13 tahun.

Bean tinggal beberapa blok dari apartemen yang kutinggali. Ia tinggal sendiri. Ayahnya yang seorang diplomat sekarang bertugas di Paris. Sedangkan kakak perempuannya sudah menikah dan tinggal bersama suaminya di Medan.

[Desember 13, Jam 19.45 Wib, Apartemen Bean]
“Mau minum apa?”
“Apa aja deh”.

Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan apartemennya. Apartemen yang bersih dan rapi. Di rak ada buku-buku filsafat yang berjejer rapi. Juga ada koleksi CD lagu-lagu tahun 70-an. Di dinding terpajang beberapa buah lukisan dan satu potret hitam putih sebuah keluarga.
“Nih, masih suka kopi kan?”, tanyanya, sambil menyodorkan secangkir kopi padaku.
“Ya, apa ada yang lebih nikmat dari secangkir kopi?”, kataku balik bertanya.

Bean tidak menjawab, hanya tersenyum. Dan itu sudah cukup bagiku.

“Itu lukisan siapa?”, tanyaku sambil menunjuk ke salah satu lukisan.
“Lukisanku sendiri. Dari kecil aku suka melukis. Aku suka Picasso”.
“Oh”.

Sementara CD player mengalunkan “What A Wonderful World”nya Louis Armstrong, kami masih terus berbincang tentang banyak hal. Tentang Nietzsche, Picasso, puisi, film atau musik. Tentang dunia politik di negeri ini. Juga tentang rencana-rencananya.

Sebenarnya sejak pertama jumpa, aku sudah menyimpan rasa suka padanya. Tapi pada saat itu aku melihatnya masih terlalu kecil, di samping jarak usiaku yang terpaut cukup jauh dengannya, sekitar sepuluh tahun. Ya, sepuluh tahun, jarak usia yang memang cukup jauh.



III
“Bantu aku meyakinkan diriku, bahwa pilihanku tinggal bersamamu adalah pilihan yang tepat”, katanya, ketika dia sedang berada dalam kebimbangan menentukan pilihan antara melanjutkan kuliahnya ke Paris atau tetap tinggal di sini.
“Kau tahu, aku tidak punya apa-apa. Aku hanyalah seorang penulis. Kau tahu sendiri berapa uang yang bisa didapat dari satu tulisan.”, aku balik bertanya padanya.
“Tapi, kita punya cinta. Bukankah itu lebih dari cukup untuk kita? Untuk soal-soal yang lain, kita bisa pikirkan bersama. Nanti!”.
“Kau rela mengorbankan semua impian-impianmu selama ini?”.
“Aku tidak akan mengorbankan impianku, karena impianku adalah bersamamu. Itu saja!”, katamu tegas.
“Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Dan asal kau tahu, sebenarnya aku juga ingin selalu bersamamu”.
Aku dan Bean masih bersama, merajut mimpi bersama. Bean masih tetap melukis dan mencoba menggapai impiannya yang lain dengan cara yang berbeda. Aku juga masih terus menulis, meski tidak terlalu produktif menghasilkan tulisan.

Aku dan Bean mencoba bertahan meski berbagai masalah menghadang. Dan mungkin dengan cinta yang merekatkan, akan bisa meringankan beban yang kami sandang, meski tidak tahu sampai kapan perahu ini akan bertahan, tak akan tenggelam.[]

22.12.17

Niko



Niko tampak cantik dalam balutan kimono berwarna violet, warna kesukaannya. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai jatuh di bahunya. Riasan tipis di wajahnya, tetap tidak mengurangi keanggunannya. Senyum yang selalu mengembang di bibirnya, membuatku terpana.

      "Kenapa sih, kamu selalu memandangku seperti itu?”, katanya, sedikit jengah kupandangi.
            “Apa tidak boleh aku mengagumi kecantikanmu?”, aku balik bertanya.
            “Kita kan tiap hari ketemu. Kaya’ kamu gak pernah ketemu aku aja”.
            “Iya. Tapi, itu tetap tak bisa menghapus kekagumanku pada dirimu”.
            “Selalu begitu. Terserah kamu”, katanya menyerah.

            Meski keturunan Jepang, Niko belum pernah berkunjung ke negeri asal nenek moyangnya itu. Sejak lahir sampai sekarang, Niko tinggal di sini. Jadi jangan heran jika mendengar Niko tidak begitu fasih berbahasa Jepang. Tapi kalau soal makanan, jangan ditanya, dia jagonya. Masakannya tidak kalah dengan hasil masakan dari koki di resto-resto khusus masakan Jepang.

            Dengan tinggi 180 cm, wajah cantik khas perempuan oriental, sebenarnya dia cocok untuk menjadi model, atau setidaknya bintang iklan. Pernah aku mengusulkan padanya untuk mencoba ikut casting atau ajang-ajang pemilihan model dan cover girl di suatu majalah, tapi dia tidak pernah mau.

            “Aku gak ingin menjadi pusat perhatian. Aku merasa nyaman dengan diriku sekarang ini. Melukis, menulis, atau bahkan memasak. Itu semua sudah cukup membuatku merasa bahagia. Apalagi yang harus kucari, selain kebahagiaan?”.

            Mendengar alasannya, aku tak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Di satu sisi, aku ingin melihatnya memanfaatkan setiap kesempatan yang terbentang untuk melangkah lebih jauh ke depan. Tapi, di sisi yang lain sebenarnya aku merasa takut. Aku takut jika nanti Niko sudah menjadi sosok yang dikenal banyak orang, aku tak akan bisa lagi bertemu dan berhubungan dengannya secara leluasa seperti sekarang ini.

Image by Ady Setiawan from Pixabay

[]

            Niko dan aku sudah berteman sejak lama, sejak kami masih kecil. Kebetulan kami sama-sama anak tunggal di keluarga masing-masing. Kami sudah seperti saudara. Karena aku yang lebih tua setahun darinya, maka aku yang harus berperan sebagai kakak dan dia adiknya. Seperti lazimnya, tugas seorang kakak adalah menjaga dan melindungi sang adik. Itulah peran yang harus kami jalani.

            Aku ingat, ketika itu Niko masih kelas 5 SD. Sepulang sekolah dia menangis. Segera kuhampiri dia.

            “Kenapa menangis? Apa ada yang mengganggumu?”.
            “Tadi cokelatku diambil si Andy”, kata Niko, mengadu.
            “Sudah, jangan menangis. Nanti kubelikan cokelat lagi”, kataku sambil berusaha meredakan tangisnya.
            Niko diam. Mengusap sisa-sisa air mata di pipinya, kemudian tersenyum.

            Esok harinya, aku datangi Andy. Begitu ketemu dengannya, langsung kuhadiahi dia dengan sebuah pukulan yang tepat mengenai hidungnya, sambil tak lupa kusertakan pula ancaman agar dia tidak mengganggu Niko lagi.

            Yang terjadi selanjutnya adalah Niko tidak pernah lagi diganggu oleh teman-temannya. Tapi karena peristiwa itu pula, aku sempat di skors selama seminggu.
            Bila mengingat kejadian-kejadian yang kami alami di waktu kecil dulu, aku dan Niko selalu tertawa.

            Kedekatanku dengan Niko kadang memunculkan rasa cemas di hatiku. Aku takut jika suatu saat nanti aku harus berpisah dengannya. Takut jika nanti aku tidak akan pernah lagi bisa menghabiskan waktu bersamanya.
            Pernah Niko bertanya padaku apakah hubunganku dengannya tidak mengganggu hubunganku dengan orang lain. Aku tidak langsung menjawabnya, tapi balik mengajukan pertanyaan yang sama padanya. Niko pun tidak menjawab secara tegas pertanyaanku.

            Kejadiannya kira-kira setahun yang lalu.

            “Apa hubungan kita ini tidak mengganggu hubunganmu dengan orang lain?”, tanya Niko.

            Aku tidak menjawab. Hanya diam, sambil menghela nafas.

            “Selama ini aku tidak pernah melihatmu dekat dengan perempuan lain, selain aku”, tambahnya.

            Aku tidak langsung menjawab. Menghela nafas. Memandang wajahnya.
            “Tidak akan ada yang merasa terganggu melihat hubunganku denganmu, Niko. Entah denganmu. Apa ini juga tidak mengganggu hubunganmu dengan orang lain?”.
            “Tidak”.
            “Terus kenapa selama ini tidak ada perempuan yang dekat denganmu?”, tanya Niko.
            “Apa masalah ini begitu penting untuk diperdebatkan? Jika selama ini tidak ada perempuan yang dekat denganku, itu karena aku memang belum menginginkannya. Itu saja. Dan tolong jangan permasalahkan soal ini lagi”.

            Niko hanya terdiam. Memandang titik-titik air yang mulai jatuh membasahi pelataran rumahnya. Gerimis datang, dan mungkin sebentar lagi akan turun hujan.

            Sampai sekarang kami tidak pernah lagi memperbincangkan soal itu lagi.
[]

          
           “Hei! Jangan bengong aja. Makan tuh!”, seru Niko, mengagetkanku.

            Melihatku terkejut, Niko tersenyum.

            “Ya Tuhan, terima kasih telah Kau ciptakan makhluk indah itu di sini. Dan telah Kau izinkan aku untuk dapat berada dekat dengannya”, ucapku dalam hati.
            “Iya. Kamu juga. Aku tak ingin menikmati masakan terlezat yang pernah kunikmati ini seorang diri”.

            Seperti hari-hari yang lain, hari ini Niko juga memasak sendiri.

            Hari ini adalah hari terakhir dia berada di sini. Besok, dia harus menemani mamanya yang ingin menghabiskan hari tuanya di negeri para leluhurnya, Jepang. Dan entah kapan dia akan kembali lagi ke sini.

            Kami menghabiskan malam berdua. Bercerita dan berbincang tentang banyak hal, sepanjang malam. Di bawah bintang dan bulan yang bersinar terang. Purnama. Bulan bulat penuh. Malam yang indah.

            Esok paginya, aku mengantarkan Niko dan mamanya sampai di bandara. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir kami berdua. Hanya tatapan mata yang berbicara.

            “Aku akan merindukanmu. Tolong jangan lupakan aku”, kata Niko sambil memelukku, sebelum beranjak memasuki pesawat.
            “Aku juga akan merindukanmu. Aku tak akan pernah melupakanmu. Jaga dirimu baik-baik”.
            Niko tersenyum, manis sekali. Senyum yang tak akan mungkin pernah bisa kulupakan.

            Mungkin memang benar jika ada yang mengatakan, kita akan lebih menghargai apa yang kita miliki apabila kita telah kehilangan sesuatu yang kita miliki tersebut.

            Apakah aku akan kehilangan Niko? Entah.[]