Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

8.2.18

Catatan Perjalanan



[Di Gereja]
Mobil-mobil mewah berjajar rapi di halaman gereja, satu-satunya tempat ibadah yang kutemui di sini. Misa sore ini penuh sesak dengan para jemaat. Ayah ibu beserta anak-anaknya, kekasih-kekasih dan orang-orang lainnya. Aku duduk di barisan kursi paling belakang. Ujung sebelah kiri.

Kutbah dimulai, aku mulai mengantuk dan tertidur. Seperti ketika aku mengikuti acara-acara sejenis di masjid, pura atau vihara. Ritual yang sama, nama yang berbeda.

Aku tidak mendengar apa-apa, aku tidak tahu apa-apa. Terakhir yang sempat kuingat sebelum aku terlelap, hanya kata-kata si pengkutbah, yaitu “dia datang membawa kabar keselamatan”.

[Di Pusat Kota]
Berjalan di jam-jam sibuk, pengunjung tampak ramai memadati pusat perbelanjaan, café, resto, juga taman. Masuk ke café, aku merasa seperti dilemparkan kembali ke masa-masa lampau. Waktu yang membeku. Memori yang bisu.

Keriput di langit-langit café ini menyiratkan begitu lama kau dan aku menapaki perjalanan ini. Begitu juga dengan rekahan yang tampak di dindingnya. Akankah mengisyaratkan akhir dari cerita ini?

Aku berlama-lama tenggelam dalam keharuman kopi, sambil terus berusaha mengulang kembali memori tentangmu. Tapi, tak pernah bisa. Ada tabir yang menyelimuti. Seperti potret muram dalam pigura berdebu, di sudut café ini.
Dini hari, belum subuh. Udara masih menyisakan malam. Di jalan, tampak genangan air di beberapa tempat, bekas hujan. Jalan masih sepi, toko-toko masih belum bangun berdiri, dan suami-suami masih sembunyi di pangkal paha istri-istri mereka atau kekasih yang lain.

Kota ini masih sama seperti beberapa waktu yang lalu. Bangunan-bangunan kuno berarsitektur eropa peninggalan Belanda, masih tegak berdiri. Hanya fungsinya saja yang berubah. Bangunan-bangunan itu dulu digunakan sebagai kantor negara, tapi sekarang sudah banyak yang berubah menjadi hotel dan swalayan.

Air mancur di taman kota tampak berkilau keemasan, tertimpa sinar bulan. Dulu, aku pernah berpelukan dan berciuman dengan kekasihku di taman ini. Entah, berada di mana ia sekarang.

Di bawah lampu di depan bangunan bekas kantor pos yang sekarang sudah menjadi swalayan, sepasang gelandangan tertidur beralas berita-berita di koran, sambil berpelukan. Berselimutkan embun dan cahaya bulan. Ah, alangkah bahagianya mereka, yang tak terbebani dengan segala macam tafsir dan pengertian. Tentang norma dan etika. Tentang apa saja.

Di seberang jalan, tepat di depan bangunan bekas kantor pos itu, berdiri tegak gedung setinggi 15 lantai dengan dinding berwarna kuning yang tampak mencolok dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang lain. I’Hotel, namanya. Di mana pada tanggal 12 Agustus, 19 tahun lalu, Jean-Michel Basquiat ditemukan tewas setelah mengkonsumsi heroin hingga overdosis.

Sebuah mobil lewat. Pelan-pelan. Seperti kenangan yang akan segera menghilang. Perlahan-lahan.

[Di Stasiun Kereta Api]
“Semir bang?”
“Tidak usah. Duduk saja di sini, kita ngobrol”.

Kami duduk di bangku depan stasiun, sementara orang-orang yang hendak bepergian sibuk berlalu lalang. Antrean masih panjang di depan loket. Dan calo-calo yang menawarkan tiket dengan harga dua kali lipat lebih mahal.

“Kamu tidak sekolah, kenapa?”
“Untuk apa sekolah? Hanya akan menyusahkan ibu dan ayah. Saya ingin membantu ibu dan ayah”.

Ah, anak sekecil ini harus membanting tulang mencari uang. Bagaimana dengan “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar yang seharusnya dipelihara oleh negara?”, pikirku.

Aku ingat sahabatku. Ia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ayahnya adalah seorang pengusaha yang sukses. Oleh kedua orangtuanya, ia diharapkan untuk menjadi orang yang sukses pula. Karena merasa tertekan, ia memasrahkan hidupnya dengan menggantung lehernya, dan secarik kertas berisi pesan kepada orangtuanya, “Pa, Ma, Aku tidak bisa memenuhi keinginan Papa dan Mama. Lebih baik aku mati atau bunuh diri”.

Sahabatku bunuh diri. Dan ia masih kelas tiga sekolah dasar. Waktu itu.

Bocah penyemir sepatu tadi sudah sibuk menyemir sepatu seorang bapak di bangku sebelah. Dengan wajah berseri menanti keping rupiah pertamanya, ini hari.

Kugendong ranselku, beranjak untuk segera melanjutkan perjalanan. Kereta akan segera berangkat.

[Di Kereta]
Aku melihat wajah-wajah asing. Tak ada yang kukenal, tak ada yang mengenalku. Mereka sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Ada yang mengobrol dengan teman sebangkunya, ada yang membaca koran atau majalah, ada yang tertidur, atau bahkan tak melakukan apa-apa. Aku, meski aku yakin bahwa kita tak sendiri, tapi aku tetap merasa tak mempunyai teman seperjalanan.

Kereta melaju, kencang. Serasa melepas semua hasrat dan keinginan. Wajah-wajah terdiam. Membeku dan pasi. Mencoba untuk menikmati perjalanan ini. Segala kasta dan rahasia menumpuk di sini. Entah, akan kemana kereta ini membawa. Tak ada yang peduli. Semua masih terdiam, berkeringat, pengap.

Kereta masih melaju. Tak peduli awan mendung menggantung, di ujung perjalanan.

[Tujuan Akhir]
Kemana kita akan pergi? Ke rumah kosong tak berisi. Kemana kita akan menuju? Yang tersisa hanya tubuh lebam biru.

Matahari meninggi, berangkat pergi. Tapi, gelisah ini masih tetap tertinggal di sini. Abadi.[]

17.1.18

Kau dan Aku Melawan Dunia

Seperti singa yang mengintai mangsanya, ada banyak pasang mata yang selalu siap menelanjangi dan menguliti apa yang kita lakukan. Hal yang benar, apalagi yang "kurang" pas menurut mereka, pasti akan segera diterkam dengan berbagai penilaian.

Tapi tenanglah, tak usah hiraukan. Sepanjang apa yang kita perbuat berada dalam jalan yang seharusnya. Tak usah risau, tetap santailah. Sepanjang apa yang kita jalankan berada pada relnya.

Memang kuping terkadang terasa panas mendengar ocehan mereka. Memang bibir terkadang terasa gatal ingin membalas cemoohan mereka. Tapi tak ada guna. Malah akan menjadi pengipas bara api yang mereka nyalakan.

Semua diciptakan ada tugas dan bagiannya masing-masing. Anggap saja mereka yang tidak suka sebagai pelengkap. Pemain figuran yang kehadirannya kadang diperlukan sebagai pemanis cerita.

Tersenyumlah, kau dan aku akan melawan dunia.

12.1.18

Biru

"Ayo bersenang-senanglah. Tabrak segala aturan. Lupakan semua persoalan", suara seseorang dalam kepalaku berbisik. Terdengar jelas dan dekat. Seperti aku berbisik pada diriku sendiri. Tapi aku tidak tahu siapa dia.

"Ayo jangan ragu. Tak ada yang peduli padamu. Tubuhmu adalah milikmu!", lagi seseorang itu berbisik. Kali ini dengan suara yang lebih tebal dan dalam. Seperti ular yang mendesis ketika menebarkan ancaman.

"Apa yang harus kuperbuat? Bukankah kita semua ini terikat norma dan etika?", tanyaku pada seseorang di dalam kepalaku. Sepi. Hening. Tak ada jawaban. "Ah, mungkin dia sudah pergi. Bersama kekasih yang lain", batinku.

Hampir 2 minggu dia tak lagi berbisik. Awalnya aku merasa senang tak ada lagi yang menggangguku dengan bisikan-bisikannya. Tapi lama-lama terbit rasa kehilangan. Aku kangen bisikan-bisikan lembutnya, meski kadang juga merasa jengkel dengan bisikannya yang serupa ancaman.

Semalam dia datang lagi. Tak lagi berbisik. Tapi mengajak bercakap-cakap. Tidak berhadapan. Masih di dalam kepala.

"Kemarin aku pergi jauh. Seseorang merayuku untuk meninggalkanmu, lalu mengajakku ke sebuah tempat yang semuanya berwarna biru. Orang-orangnya biru. Rumahnya biru. Pohonnya biru. Udaranya biru. Airnya biru. Kemudian aku teringat dirimu. Matamu yang biru", katanya ketika kutanya ke mana dia selama beberapa waktu.

"Kenapa kau sekarang kembali?", tanyaku. Dia tak menjawab. Hanya tersenyum. Senyum yang biru. Dan mata yang biru.

3.1.18

Kartu Pos Bergambar Semangka

Meravigliosi, seorang perempuan berperut buncit dan berambut keriting yang ruwetnya seperti kaset pita yang kusut, berada di pertengahan usia 40an. Sudah hampir 5 bulan ini dia setiap 2 kali dalam seminggu selalu menerima kiriman kartu pos dari seseorang. Ya, setiap hari Senin dan Kamis dia selalu mendapatkan kartu pos yang dikirim oleh seseorang entah siapa.

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari kartu pos itu, kecuali gambarnya yang selalu semangka. Kartu pos tanpa nama dan alamat pengirim itu berisi kutipan puisi dari Lord Byron atau potongan lagu The Doors. Dan hal itulah yang membuatnya merasa heran, bahwa ternyata ada seseorang di luar sana yang begitu memperhatikannya, hingga bisa tahu siapa penyair dan band kesukaannya.

Pada awalnya dia merasa mangkel, ingin marah dan berniat mencari siapa orang usil yang sedang mengisenginya. Tapi dengan tidak adanya nama dan alamat pengirim membuatnya kesulitan untuk melacak dari mana awal perjalanan kartu pos itu bermula hingga akhirnya menetap di alamatnya.

Namun 2 bulan setelah kartu pos pertama diterimanya,  pelan-pelan timbul rasa suka ketika ada kurir datang mengantar kartu pos untuknya. Dia merasa diperhatikan, dia merasa disayangi. "Disayangi? Ah, terlalu berlebihan!", pikirnya.

Meravigliosi kini punya kebiasaan baru setelah resign dari pekerjaannya 5 bulan yang lalu. Ia menjadi rajin menunggu datangnya kurir yang membawa kartu pos bergambar semangka pada setiap hari Senin dan Kamis, serta memborong kartu pos bergambar semangka lalu mengirimkannya sendiri.

[end]
tulisan ini dibuat dalam rangka tantangan 30 hari bercerita

27.12.17

Frances Bean

I
[Aku jatuh cinta, lagi!]

Aku, Kurdt dan Niko berada di studio 54, salah satu café paling ngetop di kota ini. Kebetulan saat itu lagi diadakan suatu acara, jadi tak heran kalau suasana di dalam café itu begitu ramai dan penuh sesak dengan para pengunjung yang berjubel.

Aroma alkohol begitu menusuk hidung, belum lagi ditambah dengan asap-asap rokok yang saling berebut untuk masuk ke paru-paru lebih dulu.

Di panggung, tiga orang penari striptease sedang berlenggak-lenggok menunjukkan keseksiannya, di depan mata telanjang pengunjung café yang sebagian besar adalah anak muda berusia belasan. Sementara itu, DJ terlihat asyik sendiri meramu musik dari Prodigy dan The Chemical Brothers.

Kurdt dan Niko sudah melantai sedari tadi. Aku masih bengong sendiri. Sementara malam belum begitu larut, para penari tadi mulai mencopoti satu per satu busana yang mereka kenakan. Kuhisap rokok dan kuhembuskan asapnya ke udara. Kuedarkan pandangan berkeliling sambil berharap dapat menemukan seseorang yang kukenal.

Masih kuedarkan pandangan mataku ke sekeliling ruangan. Kurdt dan Niko tampak asyik berjoget. Para penari tadi sekarang tinggal mengenakan celana dalam dan penutup dada saja. Dan entah apa sebabnya, di sudut sebelah timur terjadi sedikit keributan. Aku tak peduli.

Ketika pandanganku sampai di sudut sebelah selatan panggung, mataku terpaku pada sosok perempuan yang sepertinya pernah aku kenal, tapi aku lupa. Aku masih terus memandanginya sambil berusaha untuk mengingat-ingat siapa dia.

Duduk bersama tiga temannya, mereka asyik memperhatikan para penari striptease di stage. Seperti ada yang mempengaruhi, dia menengok ke arahku. Pandangan kami bertemu. Ia tersenyum, lalu berdiri dan berjalan ke arahku.

“Hai, sendirian?”, tanyanya.
“Gak kok. Bersama teman, tapi mereka lagi asyik melantai”.
“Lupa ya sama aku?”.
“Mmm, maaf, iya”, sahutku.
“Ingat gadis kecil berambut merah yang bernyanyi di atas panggung pada suatu acara ulang tahun, sekitar 7 tahun yang lalu? Ingat gak?”.

[Ah, ternyata dia adalah gadis kecil berambut merah itu. Pantas kalau aku merasa seperti pernah mengenalnya.]

Image by Ady Setiawan from Pixabay



II

Namanya Frances Bean, tapi aku sering memanggilnya Bean. Pertama kali bertemu dengannya ketika acara ulang tahun salah satu sepupuku. Waktu itu dia masih berumur 13 tahun.

Bean tinggal beberapa blok dari apartemen yang kutinggali. Ia tinggal sendiri. Ayahnya yang seorang diplomat sekarang bertugas di Paris. Sedangkan kakak perempuannya sudah menikah dan tinggal bersama suaminya di Medan.

[Desember 13, Jam 19.45 Wib, Apartemen Bean]
“Mau minum apa?”
“Apa aja deh”.

Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan apartemennya. Apartemen yang bersih dan rapi. Di rak ada buku-buku filsafat yang berjejer rapi. Juga ada koleksi CD lagu-lagu tahun 70-an. Di dinding terpajang beberapa buah lukisan dan satu potret hitam putih sebuah keluarga.
“Nih, masih suka kopi kan?”, tanyanya, sambil menyodorkan secangkir kopi padaku.
“Ya, apa ada yang lebih nikmat dari secangkir kopi?”, kataku balik bertanya.

Bean tidak menjawab, hanya tersenyum. Dan itu sudah cukup bagiku.

“Itu lukisan siapa?”, tanyaku sambil menunjuk ke salah satu lukisan.
“Lukisanku sendiri. Dari kecil aku suka melukis. Aku suka Picasso”.
“Oh”.

Sementara CD player mengalunkan “What A Wonderful World”nya Louis Armstrong, kami masih terus berbincang tentang banyak hal. Tentang Nietzsche, Picasso, puisi, film atau musik. Tentang dunia politik di negeri ini. Juga tentang rencana-rencananya.

Sebenarnya sejak pertama jumpa, aku sudah menyimpan rasa suka padanya. Tapi pada saat itu aku melihatnya masih terlalu kecil, di samping jarak usiaku yang terpaut cukup jauh dengannya, sekitar sepuluh tahun. Ya, sepuluh tahun, jarak usia yang memang cukup jauh.



III
“Bantu aku meyakinkan diriku, bahwa pilihanku tinggal bersamamu adalah pilihan yang tepat”, katanya, ketika dia sedang berada dalam kebimbangan menentukan pilihan antara melanjutkan kuliahnya ke Paris atau tetap tinggal di sini.
“Kau tahu, aku tidak punya apa-apa. Aku hanyalah seorang penulis. Kau tahu sendiri berapa uang yang bisa didapat dari satu tulisan.”, aku balik bertanya padanya.
“Tapi, kita punya cinta. Bukankah itu lebih dari cukup untuk kita? Untuk soal-soal yang lain, kita bisa pikirkan bersama. Nanti!”.
“Kau rela mengorbankan semua impian-impianmu selama ini?”.
“Aku tidak akan mengorbankan impianku, karena impianku adalah bersamamu. Itu saja!”, katamu tegas.
“Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Dan asal kau tahu, sebenarnya aku juga ingin selalu bersamamu”.
Aku dan Bean masih bersama, merajut mimpi bersama. Bean masih tetap melukis dan mencoba menggapai impiannya yang lain dengan cara yang berbeda. Aku juga masih terus menulis, meski tidak terlalu produktif menghasilkan tulisan.

Aku dan Bean mencoba bertahan meski berbagai masalah menghadang. Dan mungkin dengan cinta yang merekatkan, akan bisa meringankan beban yang kami sandang, meski tidak tahu sampai kapan perahu ini akan bertahan, tak akan tenggelam.[]

22.12.17

Niko



Niko tampak cantik dalam balutan kimono berwarna violet, warna kesukaannya. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai jatuh di bahunya. Riasan tipis di wajahnya, tetap tidak mengurangi keanggunannya. Senyum yang selalu mengembang di bibirnya, membuatku terpana.

      "Kenapa sih, kamu selalu memandangku seperti itu?”, katanya, sedikit jengah kupandangi.
            “Apa tidak boleh aku mengagumi kecantikanmu?”, aku balik bertanya.
            “Kita kan tiap hari ketemu. Kaya’ kamu gak pernah ketemu aku aja”.
            “Iya. Tapi, itu tetap tak bisa menghapus kekagumanku pada dirimu”.
            “Selalu begitu. Terserah kamu”, katanya menyerah.

            Meski keturunan Jepang, Niko belum pernah berkunjung ke negeri asal nenek moyangnya itu. Sejak lahir sampai sekarang, Niko tinggal di sini. Jadi jangan heran jika mendengar Niko tidak begitu fasih berbahasa Jepang. Tapi kalau soal makanan, jangan ditanya, dia jagonya. Masakannya tidak kalah dengan hasil masakan dari koki di resto-resto khusus masakan Jepang.

            Dengan tinggi 180 cm, wajah cantik khas perempuan oriental, sebenarnya dia cocok untuk menjadi model, atau setidaknya bintang iklan. Pernah aku mengusulkan padanya untuk mencoba ikut casting atau ajang-ajang pemilihan model dan cover girl di suatu majalah, tapi dia tidak pernah mau.

            “Aku gak ingin menjadi pusat perhatian. Aku merasa nyaman dengan diriku sekarang ini. Melukis, menulis, atau bahkan memasak. Itu semua sudah cukup membuatku merasa bahagia. Apalagi yang harus kucari, selain kebahagiaan?”.

            Mendengar alasannya, aku tak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Di satu sisi, aku ingin melihatnya memanfaatkan setiap kesempatan yang terbentang untuk melangkah lebih jauh ke depan. Tapi, di sisi yang lain sebenarnya aku merasa takut. Aku takut jika nanti Niko sudah menjadi sosok yang dikenal banyak orang, aku tak akan bisa lagi bertemu dan berhubungan dengannya secara leluasa seperti sekarang ini.

Image by Ady Setiawan from Pixabay

[]

            Niko dan aku sudah berteman sejak lama, sejak kami masih kecil. Kebetulan kami sama-sama anak tunggal di keluarga masing-masing. Kami sudah seperti saudara. Karena aku yang lebih tua setahun darinya, maka aku yang harus berperan sebagai kakak dan dia adiknya. Seperti lazimnya, tugas seorang kakak adalah menjaga dan melindungi sang adik. Itulah peran yang harus kami jalani.

            Aku ingat, ketika itu Niko masih kelas 5 SD. Sepulang sekolah dia menangis. Segera kuhampiri dia.

            “Kenapa menangis? Apa ada yang mengganggumu?”.
            “Tadi cokelatku diambil si Andy”, kata Niko, mengadu.
            “Sudah, jangan menangis. Nanti kubelikan cokelat lagi”, kataku sambil berusaha meredakan tangisnya.
            Niko diam. Mengusap sisa-sisa air mata di pipinya, kemudian tersenyum.

            Esok harinya, aku datangi Andy. Begitu ketemu dengannya, langsung kuhadiahi dia dengan sebuah pukulan yang tepat mengenai hidungnya, sambil tak lupa kusertakan pula ancaman agar dia tidak mengganggu Niko lagi.

            Yang terjadi selanjutnya adalah Niko tidak pernah lagi diganggu oleh teman-temannya. Tapi karena peristiwa itu pula, aku sempat di skors selama seminggu.
            Bila mengingat kejadian-kejadian yang kami alami di waktu kecil dulu, aku dan Niko selalu tertawa.

            Kedekatanku dengan Niko kadang memunculkan rasa cemas di hatiku. Aku takut jika suatu saat nanti aku harus berpisah dengannya. Takut jika nanti aku tidak akan pernah lagi bisa menghabiskan waktu bersamanya.
            Pernah Niko bertanya padaku apakah hubunganku dengannya tidak mengganggu hubunganku dengan orang lain. Aku tidak langsung menjawabnya, tapi balik mengajukan pertanyaan yang sama padanya. Niko pun tidak menjawab secara tegas pertanyaanku.

            Kejadiannya kira-kira setahun yang lalu.

            “Apa hubungan kita ini tidak mengganggu hubunganmu dengan orang lain?”, tanya Niko.

            Aku tidak menjawab. Hanya diam, sambil menghela nafas.

            “Selama ini aku tidak pernah melihatmu dekat dengan perempuan lain, selain aku”, tambahnya.

            Aku tidak langsung menjawab. Menghela nafas. Memandang wajahnya.
            “Tidak akan ada yang merasa terganggu melihat hubunganku denganmu, Niko. Entah denganmu. Apa ini juga tidak mengganggu hubunganmu dengan orang lain?”.
            “Tidak”.
            “Terus kenapa selama ini tidak ada perempuan yang dekat denganmu?”, tanya Niko.
            “Apa masalah ini begitu penting untuk diperdebatkan? Jika selama ini tidak ada perempuan yang dekat denganku, itu karena aku memang belum menginginkannya. Itu saja. Dan tolong jangan permasalahkan soal ini lagi”.

            Niko hanya terdiam. Memandang titik-titik air yang mulai jatuh membasahi pelataran rumahnya. Gerimis datang, dan mungkin sebentar lagi akan turun hujan.

            Sampai sekarang kami tidak pernah lagi memperbincangkan soal itu lagi.
[]

          
           “Hei! Jangan bengong aja. Makan tuh!”, seru Niko, mengagetkanku.

            Melihatku terkejut, Niko tersenyum.

            “Ya Tuhan, terima kasih telah Kau ciptakan makhluk indah itu di sini. Dan telah Kau izinkan aku untuk dapat berada dekat dengannya”, ucapku dalam hati.
            “Iya. Kamu juga. Aku tak ingin menikmati masakan terlezat yang pernah kunikmati ini seorang diri”.

            Seperti hari-hari yang lain, hari ini Niko juga memasak sendiri.

            Hari ini adalah hari terakhir dia berada di sini. Besok, dia harus menemani mamanya yang ingin menghabiskan hari tuanya di negeri para leluhurnya, Jepang. Dan entah kapan dia akan kembali lagi ke sini.

            Kami menghabiskan malam berdua. Bercerita dan berbincang tentang banyak hal, sepanjang malam. Di bawah bintang dan bulan yang bersinar terang. Purnama. Bulan bulat penuh. Malam yang indah.

            Esok paginya, aku mengantarkan Niko dan mamanya sampai di bandara. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir kami berdua. Hanya tatapan mata yang berbicara.

            “Aku akan merindukanmu. Tolong jangan lupakan aku”, kata Niko sambil memelukku, sebelum beranjak memasuki pesawat.
            “Aku juga akan merindukanmu. Aku tak akan pernah melupakanmu. Jaga dirimu baik-baik”.
            Niko tersenyum, manis sekali. Senyum yang tak akan mungkin pernah bisa kulupakan.

            Mungkin memang benar jika ada yang mengatakan, kita akan lebih menghargai apa yang kita miliki apabila kita telah kehilangan sesuatu yang kita miliki tersebut.

            Apakah aku akan kehilangan Niko? Entah.[]