22.12.17

Niko



Niko tampak cantik dalam balutan kimono berwarna violet, warna kesukaannya. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai jatuh di bahunya. Riasan tipis di wajahnya, tetap tidak mengurangi keanggunannya. Senyum yang selalu mengembang di bibirnya, membuatku terpana.

      "Kenapa sih, kamu selalu memandangku seperti itu?”, katanya, sedikit jengah kupandangi.
            “Apa tidak boleh aku mengagumi kecantikanmu?”, aku balik bertanya.
            “Kita kan tiap hari ketemu. Kaya’ kamu gak pernah ketemu aku aja”.
            “Iya. Tapi, itu tetap tak bisa menghapus kekagumanku pada dirimu”.
            “Selalu begitu. Terserah kamu”, katanya menyerah.

            Meski keturunan Jepang, Niko belum pernah berkunjung ke negeri asal nenek moyangnya itu. Sejak lahir sampai sekarang, Niko tinggal di sini. Jadi jangan heran jika mendengar Niko tidak begitu fasih berbahasa Jepang. Tapi kalau soal makanan, jangan ditanya, dia jagonya. Masakannya tidak kalah dengan hasil masakan dari koki di resto-resto khusus masakan Jepang.

            Dengan tinggi 180 cm, wajah cantik khas perempuan oriental, sebenarnya dia cocok untuk menjadi model, atau setidaknya bintang iklan. Pernah aku mengusulkan padanya untuk mencoba ikut casting atau ajang-ajang pemilihan model dan cover girl di suatu majalah, tapi dia tidak pernah mau.

            “Aku gak ingin menjadi pusat perhatian. Aku merasa nyaman dengan diriku sekarang ini. Melukis, menulis, atau bahkan memasak. Itu semua sudah cukup membuatku merasa bahagia. Apalagi yang harus kucari, selain kebahagiaan?”.

            Mendengar alasannya, aku tak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Di satu sisi, aku ingin melihatnya memanfaatkan setiap kesempatan yang terbentang untuk melangkah lebih jauh ke depan. Tapi, di sisi yang lain sebenarnya aku merasa takut. Aku takut jika nanti Niko sudah menjadi sosok yang dikenal banyak orang, aku tak akan bisa lagi bertemu dan berhubungan dengannya secara leluasa seperti sekarang ini.

Image by Ady Setiawan from Pixabay

[]

            Niko dan aku sudah berteman sejak lama, sejak kami masih kecil. Kebetulan kami sama-sama anak tunggal di keluarga masing-masing. Kami sudah seperti saudara. Karena aku yang lebih tua setahun darinya, maka aku yang harus berperan sebagai kakak dan dia adiknya. Seperti lazimnya, tugas seorang kakak adalah menjaga dan melindungi sang adik. Itulah peran yang harus kami jalani.

            Aku ingat, ketika itu Niko masih kelas 5 SD. Sepulang sekolah dia menangis. Segera kuhampiri dia.

            “Kenapa menangis? Apa ada yang mengganggumu?”.
            “Tadi cokelatku diambil si Andy”, kata Niko, mengadu.
            “Sudah, jangan menangis. Nanti kubelikan cokelat lagi”, kataku sambil berusaha meredakan tangisnya.
            Niko diam. Mengusap sisa-sisa air mata di pipinya, kemudian tersenyum.

            Esok harinya, aku datangi Andy. Begitu ketemu dengannya, langsung kuhadiahi dia dengan sebuah pukulan yang tepat mengenai hidungnya, sambil tak lupa kusertakan pula ancaman agar dia tidak mengganggu Niko lagi.

            Yang terjadi selanjutnya adalah Niko tidak pernah lagi diganggu oleh teman-temannya. Tapi karena peristiwa itu pula, aku sempat di skors selama seminggu.
            Bila mengingat kejadian-kejadian yang kami alami di waktu kecil dulu, aku dan Niko selalu tertawa.

            Kedekatanku dengan Niko kadang memunculkan rasa cemas di hatiku. Aku takut jika suatu saat nanti aku harus berpisah dengannya. Takut jika nanti aku tidak akan pernah lagi bisa menghabiskan waktu bersamanya.
            Pernah Niko bertanya padaku apakah hubunganku dengannya tidak mengganggu hubunganku dengan orang lain. Aku tidak langsung menjawabnya, tapi balik mengajukan pertanyaan yang sama padanya. Niko pun tidak menjawab secara tegas pertanyaanku.

            Kejadiannya kira-kira setahun yang lalu.

            “Apa hubungan kita ini tidak mengganggu hubunganmu dengan orang lain?”, tanya Niko.

            Aku tidak menjawab. Hanya diam, sambil menghela nafas.

            “Selama ini aku tidak pernah melihatmu dekat dengan perempuan lain, selain aku”, tambahnya.

            Aku tidak langsung menjawab. Menghela nafas. Memandang wajahnya.
            “Tidak akan ada yang merasa terganggu melihat hubunganku denganmu, Niko. Entah denganmu. Apa ini juga tidak mengganggu hubunganmu dengan orang lain?”.
            “Tidak”.
            “Terus kenapa selama ini tidak ada perempuan yang dekat denganmu?”, tanya Niko.
            “Apa masalah ini begitu penting untuk diperdebatkan? Jika selama ini tidak ada perempuan yang dekat denganku, itu karena aku memang belum menginginkannya. Itu saja. Dan tolong jangan permasalahkan soal ini lagi”.

            Niko hanya terdiam. Memandang titik-titik air yang mulai jatuh membasahi pelataran rumahnya. Gerimis datang, dan mungkin sebentar lagi akan turun hujan.

            Sampai sekarang kami tidak pernah lagi memperbincangkan soal itu lagi.
[]

          
           “Hei! Jangan bengong aja. Makan tuh!”, seru Niko, mengagetkanku.

            Melihatku terkejut, Niko tersenyum.

            “Ya Tuhan, terima kasih telah Kau ciptakan makhluk indah itu di sini. Dan telah Kau izinkan aku untuk dapat berada dekat dengannya”, ucapku dalam hati.
            “Iya. Kamu juga. Aku tak ingin menikmati masakan terlezat yang pernah kunikmati ini seorang diri”.

            Seperti hari-hari yang lain, hari ini Niko juga memasak sendiri.

            Hari ini adalah hari terakhir dia berada di sini. Besok, dia harus menemani mamanya yang ingin menghabiskan hari tuanya di negeri para leluhurnya, Jepang. Dan entah kapan dia akan kembali lagi ke sini.

            Kami menghabiskan malam berdua. Bercerita dan berbincang tentang banyak hal, sepanjang malam. Di bawah bintang dan bulan yang bersinar terang. Purnama. Bulan bulat penuh. Malam yang indah.

            Esok paginya, aku mengantarkan Niko dan mamanya sampai di bandara. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir kami berdua. Hanya tatapan mata yang berbicara.

            “Aku akan merindukanmu. Tolong jangan lupakan aku”, kata Niko sambil memelukku, sebelum beranjak memasuki pesawat.
            “Aku juga akan merindukanmu. Aku tak akan pernah melupakanmu. Jaga dirimu baik-baik”.
            Niko tersenyum, manis sekali. Senyum yang tak akan mungkin pernah bisa kulupakan.

            Mungkin memang benar jika ada yang mengatakan, kita akan lebih menghargai apa yang kita miliki apabila kita telah kehilangan sesuatu yang kita miliki tersebut.

            Apakah aku akan kehilangan Niko? Entah.[]

2 comments:

  1. Ini ceritanya mereka best friend sejak kecil gitu ya dan seperti kebanyakan kasus persahabatan antara pria dan wanita yang mulai beranjak dewasa, mereka bingung mengartikan perasaan dan perhatian yang ada selama ini. How complicated their heart.

    Sederhana tapi tetap bagus.

    ReplyDelete