Niko tampak cantik dalam balutan kimono berwarna violet, warna kesukaannya.
Rambut hitamnya dibiarkan tergerai jatuh di bahunya. Riasan tipis di wajahnya,
tetap tidak mengurangi keanggunannya. Senyum yang selalu mengembang di bibirnya,
membuatku terpana.
"Kenapa sih, kamu selalu memandangku
seperti itu?”, katanya, sedikit jengah kupandangi.
“Apa tidak boleh aku
mengagumi kecantikanmu?”, aku balik bertanya.
“Kita kan tiap hari
ketemu. Kaya’ kamu gak pernah ketemu aku aja”.
“Iya. Tapi, itu tetap tak
bisa menghapus kekagumanku pada dirimu”.
“Selalu begitu. Terserah
kamu”, katanya menyerah.
Meski keturunan Jepang, Niko
belum pernah berkunjung ke negeri asal nenek moyangnya itu. Sejak lahir sampai
sekarang, Niko tinggal di sini. Jadi jangan heran jika mendengar Niko tidak
begitu fasih berbahasa Jepang. Tapi kalau soal makanan, jangan ditanya, dia
jagonya. Masakannya tidak kalah dengan hasil masakan dari koki di resto-resto
khusus masakan Jepang.
Dengan
tinggi 180 cm, wajah cantik khas perempuan oriental, sebenarnya dia cocok untuk
menjadi model, atau setidaknya bintang iklan. Pernah aku mengusulkan padanya
untuk mencoba ikut casting atau ajang-ajang pemilihan model dan cover girl di
suatu majalah, tapi dia tidak pernah mau.
“Aku gak ingin menjadi pusat
perhatian. Aku merasa nyaman dengan
diriku sekarang ini. Melukis, menulis, atau bahkan memasak. Itu semua sudah
cukup membuatku merasa bahagia. Apalagi yang harus kucari, selain
kebahagiaan?”.
Mendengar alasannya, aku
tak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Di satu sisi, aku ingin melihatnya
memanfaatkan setiap kesempatan yang terbentang untuk melangkah lebih jauh ke
depan. Tapi, di sisi yang lain sebenarnya aku merasa takut. Aku takut jika
nanti Niko sudah menjadi sosok yang dikenal banyak orang, aku tak akan bisa
lagi bertemu dan berhubungan dengannya secara leluasa seperti sekarang ini.
Image by Ady Setiawan from Pixabay |
[]
Niko dan aku sudah
berteman sejak lama, sejak kami masih kecil. Kebetulan kami sama-sama anak
tunggal di keluarga masing-masing. Kami sudah seperti saudara. Karena aku yang
lebih tua setahun darinya, maka aku yang harus berperan sebagai kakak dan dia
adiknya. Seperti lazimnya, tugas seorang kakak adalah menjaga dan melindungi
sang adik. Itulah peran yang harus kami jalani.
Aku ingat, ketika itu Niko
masih kelas 5 SD. Sepulang sekolah dia menangis. Segera kuhampiri dia.
“Kenapa menangis? Apa ada yang
mengganggumu?”.
“Tadi cokelatku diambil si Andy”, kata Niko, mengadu.
“Sudah, jangan menangis.
Nanti kubelikan cokelat lagi”, kataku sambil berusaha meredakan tangisnya.
Niko diam.
Mengusap sisa-sisa air mata di pipinya, kemudian tersenyum.
Esok harinya, aku datangi Andy. Begitu ketemu dengannya, langsung kuhadiahi
dia dengan sebuah pukulan yang tepat mengenai hidungnya, sambil tak lupa
kusertakan pula ancaman agar dia tidak mengganggu Niko lagi.
Yang terjadi selanjutnya
adalah Niko tidak pernah lagi diganggu oleh teman-temannya. Tapi karena
peristiwa itu pula, aku sempat di skors selama seminggu.
Bila mengingat
kejadian-kejadian yang kami alami di waktu kecil dulu, aku dan Niko selalu
tertawa.
Kedekatanku dengan Niko
kadang memunculkan rasa cemas di hatiku. Aku takut jika suatu saat nanti aku
harus berpisah dengannya. Takut jika nanti aku tidak akan pernah
lagi bisa menghabiskan waktu bersamanya.
Pernah Niko bertanya
padaku apakah hubunganku dengannya tidak mengganggu hubunganku dengan orang
lain. Aku tidak langsung menjawabnya, tapi balik mengajukan pertanyaan yang
sama padanya. Niko pun tidak menjawab secara tegas pertanyaanku.
Kejadiannya kira-kira setahun
yang lalu.
“Apa hubungan kita ini
tidak mengganggu hubunganmu dengan orang lain?”, tanya Niko.
Aku tidak menjawab. Hanya diam,
sambil menghela nafas.
“Selama ini aku tidak
pernah melihatmu dekat dengan perempuan lain, selain aku”, tambahnya.
Aku tidak
langsung menjawab. Menghela nafas. Memandang wajahnya.
“Tidak akan ada yang merasa
terganggu melihat hubunganku denganmu, Niko. Entah denganmu. Apa ini juga tidak
mengganggu hubunganmu dengan orang lain?”.
“Tidak”.
“Terus kenapa selama ini tidak ada
perempuan yang dekat denganmu?”, tanya Niko.
“Apa masalah ini begitu penting
untuk diperdebatkan? Jika selama ini tidak ada perempuan yang dekat denganku,
itu karena aku memang belum menginginkannya. Itu saja. Dan tolong jangan
permasalahkan soal ini lagi”.
Niko hanya terdiam. Memandang
titik-titik air yang mulai jatuh membasahi pelataran rumahnya. Gerimis datang,
dan mungkin sebentar lagi akan turun hujan.
Sampai sekarang kami tidak pernah
lagi memperbincangkan soal itu lagi.
[]
“Hei! Jangan bengong aja. Makan
tuh!”, seru Niko, mengagetkanku.
Melihatku terkejut, Niko tersenyum.
“Ya Tuhan, terima kasih telah Kau
ciptakan makhluk indah itu di sini. Dan telah Kau izinkan aku untuk dapat
berada dekat dengannya”, ucapku dalam hati.
“Iya. Kamu juga. Aku tak ingin
menikmati masakan terlezat yang pernah kunikmati ini seorang diri”.
Seperti hari-hari yang lain, hari
ini Niko juga memasak sendiri.
Hari ini adalah hari terakhir dia berada di sini. Besok, dia harus menemani
mamanya yang ingin menghabiskan hari tuanya di negeri para leluhurnya, Jepang.
Dan entah kapan dia akan kembali lagi ke sini.
Kami menghabiskan malam berdua.
Bercerita
dan berbincang tentang banyak hal, sepanjang malam. Di bawah bintang dan bulan
yang bersinar terang. Purnama. Bulan bulat penuh. Malam yang indah.
Esok paginya, aku
mengantarkan Niko dan mamanya sampai di bandara. Tak ada sepatah kata pun yang
terucap dari bibir kami berdua. Hanya tatapan mata yang berbicara.
“Aku akan merindukanmu.
Tolong jangan lupakan aku”, kata Niko sambil memelukku, sebelum beranjak
memasuki pesawat.
“Aku juga akan
merindukanmu. Aku tak akan pernah melupakanmu. Jaga dirimu baik-baik”.
Niko tersenyum, manis
sekali. Senyum yang tak akan mungkin pernah bisa kulupakan.
Mungkin memang benar jika
ada yang mengatakan, kita akan lebih menghargai apa yang kita miliki apabila
kita telah kehilangan sesuatu yang kita miliki tersebut.
Apakah aku akan kehilangan
Niko? Entah.[]
Ini ceritanya mereka best friend sejak kecil gitu ya dan seperti kebanyakan kasus persahabatan antara pria dan wanita yang mulai beranjak dewasa, mereka bingung mengartikan perasaan dan perhatian yang ada selama ini. How complicated their heart.
ReplyDeleteSederhana tapi tetap bagus.
terima kasih dan matur nuwun. :)
Delete