27.1.12

senja diam

senja diam
langit merah di beranda rumah
angin bisu
daun tak bergerak
jam berdentang kencang
di telinga yang tuli

tembok redup
pantulan wajah samar
tertunduk terisak
air mata di antara hujan
bayang kekasih tiada datang
satu kerutan bertambah
terlalu lama menunggu

dan di persimpangan yang lindap

tak ada kata yang terucap
hanya gelisah menyergap
diamdiam menyelinap
hati resah bawa senyap
dan di persimpangan yang lindap
kubawakan padamu rindu sebelum datang gelap

melihat dalam tidur

terkadang dalam tidurku aku melihat orangorang tak berdaya menahan beban hidupnya hargaharga yang jauh melambung tak terjangkau oleh tangantangan yang lemah dan terancam karena bayangan gizi buruk dari setiap bayi yang dibuang dengan sengaja oleh orangorang tua mereka sendiri sementara di bagian mimpi yang lain masih saja bersliweran mobilmobil mewah yang dengan seenaknya saja membuang sampah di sepanjang jalan yang dilewati yang nantinya akan kupunguti karena itulah satusatunya cara yang kuketahui untuk sekedar bertahan hidup

mungkin butuh waktu untuk kita dapat merasakan panas sinar matahari yang melelehkan kulit dan membuatnya menjadi sepucat pekat dan lalu kita akan dengan sangat menyesal mengutuki diri kenapa tidak memakai tabir surya dan mestinya kita juga pernah berpikir tentang apa yang menjadi kehendak dari yang di atas sana juga mencoba untuk menerjemahkan segala mimpimimpi yang teralami dalam tidur kita di bumi

seharusnya kita mempunyai kesadaran untuk menjaga apa yang kita lakukan sebab tanpa disadari telah tertanam beribu penyadap di sekitar kita yang akan mencatat apapun segala yang kita perbuat

ah, kawan, mungkin kau sudah lupa. bagaimana sebuah perjalanan tidak selalu menjadi bagian dari sejarah, yang seperti kautahu juga, sejarah ditulis sebagai pembenar, bukan atas dasar kebenaran

perempuan di atas bukit

perempuan di atas bukit
mata terpejam tengadah ke langit
gumam terdengar dari bibirnya
keluh kesah dan doadoa

“o, wahai
kembalikanlah hidup hamba
yang terampas oleh penguasa
yang terhempas ke dasar samudra
o, wahai
kemana lagi hamba harus mencari
setelah semua milik habis dicuri
orangorang pintar yang membodohi”

tangan terangkat
mata terpejam rapat
segaris air mengalir di pipi
berserah pasrahkan diri

cukup, sementara sampai di sini

sebelum lelap datang menyergap, apakah kau mendengar suaraku? berabad perjalanan, perputaran waktu yang berlangsung begitu cepat. hidup mati, siang malam. entah, ini sebuah kutukan atau kebetulan semata. tak perlu bertanya, kenapa dunia penuh sesak dengan orangorang gila. nikmati saja, sebuah sketsa yang diberikan oleh anakanak kita, dan jangan membalasnya dengan tamparan. jauhkan saja mereka dari televisi, sebab tuhan telah terbunuh karenanya. cukup, sementara sampai di sini

jangan menangis

sepertinya hari sudah selesai bagiku. tak kau dengarkah nyanyi gagak yang mengabarkan akan datangnya berita kehilangan? aku, aku telah kehilangan jiwaku; yang selalu muda saat bersamamu, yang tak pernah habis gairah denganmu. sebentar lagi, akan berakhir semua itu. getir dan manis yang kita hisap, adalah upah atas apa yang telah kita perbuat. jangan menangis, relakan saja kepergianku, mungkin ini yang terbaik, untuk kita. tersenyumlah, hanya itu yang ingin kulihat di wajahmu, bukan airmata yang mengalir. percayalah, kau akan selalu di hatiku. izinkan kutinggalkan semua di sini. cukuplah aku tahu, bahwa kau mencintaiku. selamat tinggal, dan kelak pasti kita akan bertemu lagi

sehabis hujan

langit cerah
hilang kabut
udara basah
air (me)nyusut


kegairahan semula redup
: kembali hidup

tentang kota yang kepadanya aku selalu kembali

pagi yang basah,
nyanyian katak mengalun dari persawahan di belakang rumah
petani mulai menyemai benih padi mereka,
dan berharap hasil panen akan melimpah nantinya

lalu sekumpulan anak-anak bertelanjang dada dan kaki,
berjalan berbaris di atas pematang menuju ke kali
keriaan yang terpancar di wajah mereka,
melebihi sebungkus jajanan pasar oleh-oleh dari ibunya

kisah masa kecil kami,
adalah perjalanan yang tak akan terlupa sampai nanti
meski kini tak bersama-sama lagi,
tapi selalu saja rasa rindu menyesaki dada ini

berpuluh tahun sudah berlalu,
kota ini telah jauh berbeda daripada dahulu
tanah yang lapang menghampar luasnya,
berganti bangunan-bangunan megah di atasnya
stasiun kereta  tempat kami sering bermain dan bercanda,
kini sudah menjadi terminal angkutan kota
hutan dan gunung yang ramai dengan kicau burung-burung
kini menjadi reruntuhan dan batu-batu yang berwajah murung

sudah begitu banyak yang berubah,
namun orang-orang masih saja ramah
atau mungkin menyembunyikan amarah,
dari penguasa yang serupa penjarah