Showing posts with label catatan. Show all posts
Showing posts with label catatan. Show all posts

4.2.22

Kabar Duka Langit Pagi

 Hampir saban hari langit pagi di desa kami selalu diiringi dengan kabar duka cita; berita kematian dari salah seorang warga kampung. Seperti pagi ini, kabar duka kembali mengumandang di langit desa kami. Mbah Maryamah yang rumahnya sekitar 5 rumah dengan rumah yang saya tempati, dikabarkan meninggal dunia pada dini hari tadi.

 Jodoh, rezeki dan maut merupakan salah tiga dari beberapa rahasia yang dimiliki oleh Sang Pencipta. Kita sebagai makhluk ciptaannya tidak bisa memprediksi atau memilih apa yang bakal kita terima atau apa yang akan menimpa kita. 

 Sebagaimana halnya dengan percintaan, soal maut pun demikian. Kita mungkin bisa memilih untuk mati dengan cara yang baik, kata orang-orang mati secara husnul khotimah, tetapi kita tetap tidak akan tahu bagaimana dan kapan waktunya kita akan mati.

 Setiap hari pasti akan ada orang yang mati, dan yakinlah bahwa setiap hari pula ada yang dilahirkan. Akan selalu tercipta keseimbangan. Entah bagaimana caranya.

claude05alleva


14.12.21

Hari Yang Patut Diselamatkan

        Hari Minggu pagi ini aku terbangun dengan paksa di antara kepulan asap dari sisa rokok yang sempat kuhisap dini hari tadi. Ya, aku berangkat tidur satu jam yang lalu dan kini sudah terbangun karena dikejutkan oleh kegegeran yang ada di luar kamarku.

        Suara perempuan tua itu terdengar jelas sedang marah dan gerutuannya ditujukan kepadaku. Katanya sudah hampir tiga bulan ini uang sewa bulanan belum kulunasi, ditambah lagi tumpukan baju kotor yang menggunung di dekat sumur.

        Sebenarnya ingin segera kubungkam mulut embernya itu, kemudian kulipat tubuhnya dan akan kuangkat lalu kubawa keluar untuk kutempelkan ke tiang listrik. Agar orang-orang yang lewat mengira ia sedang memeluk tiang listrik itu.

        Tapi, ah tidak. Otakku masih waras. Biar saja ia mengomel sepuasnya. Toh nanti kalau sudah capai ia akan diam sendiri. Biar kunikmati saja omelannya pagi ini asalkan masih bisa diiringi dengan irama musik dangdut. Lalu segera saja kuputar lagu-lagu Via.

        Dan kucoba untuk lanjutkan tidurku lagi. Toh tidak ada apapun yang perlu kutunggu.


8.2.18

Catatan Perjalanan



[Di Gereja]
Mobil-mobil mewah berjajar rapi di halaman gereja, satu-satunya tempat ibadah yang kutemui di sini. Misa sore ini penuh sesak dengan para jemaat. Ayah ibu beserta anak-anaknya, kekasih-kekasih dan orang-orang lainnya. Aku duduk di barisan kursi paling belakang. Ujung sebelah kiri.

Kutbah dimulai, aku mulai mengantuk dan tertidur. Seperti ketika aku mengikuti acara-acara sejenis di masjid, pura atau vihara. Ritual yang sama, nama yang berbeda.

Aku tidak mendengar apa-apa, aku tidak tahu apa-apa. Terakhir yang sempat kuingat sebelum aku terlelap, hanya kata-kata si pengkutbah, yaitu “dia datang membawa kabar keselamatan”.

[Di Pusat Kota]
Berjalan di jam-jam sibuk, pengunjung tampak ramai memadati pusat perbelanjaan, café, resto, juga taman. Masuk ke café, aku merasa seperti dilemparkan kembali ke masa-masa lampau. Waktu yang membeku. Memori yang bisu.

Keriput di langit-langit café ini menyiratkan begitu lama kau dan aku menapaki perjalanan ini. Begitu juga dengan rekahan yang tampak di dindingnya. Akankah mengisyaratkan akhir dari cerita ini?

Aku berlama-lama tenggelam dalam keharuman kopi, sambil terus berusaha mengulang kembali memori tentangmu. Tapi, tak pernah bisa. Ada tabir yang menyelimuti. Seperti potret muram dalam pigura berdebu, di sudut café ini.
Dini hari, belum subuh. Udara masih menyisakan malam. Di jalan, tampak genangan air di beberapa tempat, bekas hujan. Jalan masih sepi, toko-toko masih belum bangun berdiri, dan suami-suami masih sembunyi di pangkal paha istri-istri mereka atau kekasih yang lain.

Kota ini masih sama seperti beberapa waktu yang lalu. Bangunan-bangunan kuno berarsitektur eropa peninggalan Belanda, masih tegak berdiri. Hanya fungsinya saja yang berubah. Bangunan-bangunan itu dulu digunakan sebagai kantor negara, tapi sekarang sudah banyak yang berubah menjadi hotel dan swalayan.

Air mancur di taman kota tampak berkilau keemasan, tertimpa sinar bulan. Dulu, aku pernah berpelukan dan berciuman dengan kekasihku di taman ini. Entah, berada di mana ia sekarang.

Di bawah lampu di depan bangunan bekas kantor pos yang sekarang sudah menjadi swalayan, sepasang gelandangan tertidur beralas berita-berita di koran, sambil berpelukan. Berselimutkan embun dan cahaya bulan. Ah, alangkah bahagianya mereka, yang tak terbebani dengan segala macam tafsir dan pengertian. Tentang norma dan etika. Tentang apa saja.

Di seberang jalan, tepat di depan bangunan bekas kantor pos itu, berdiri tegak gedung setinggi 15 lantai dengan dinding berwarna kuning yang tampak mencolok dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang lain. I’Hotel, namanya. Di mana pada tanggal 12 Agustus, 19 tahun lalu, Jean-Michel Basquiat ditemukan tewas setelah mengkonsumsi heroin hingga overdosis.

Sebuah mobil lewat. Pelan-pelan. Seperti kenangan yang akan segera menghilang. Perlahan-lahan.

[Di Stasiun Kereta Api]
“Semir bang?”
“Tidak usah. Duduk saja di sini, kita ngobrol”.

Kami duduk di bangku depan stasiun, sementara orang-orang yang hendak bepergian sibuk berlalu lalang. Antrean masih panjang di depan loket. Dan calo-calo yang menawarkan tiket dengan harga dua kali lipat lebih mahal.

“Kamu tidak sekolah, kenapa?”
“Untuk apa sekolah? Hanya akan menyusahkan ibu dan ayah. Saya ingin membantu ibu dan ayah”.

Ah, anak sekecil ini harus membanting tulang mencari uang. Bagaimana dengan “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar yang seharusnya dipelihara oleh negara?”, pikirku.

Aku ingat sahabatku. Ia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ayahnya adalah seorang pengusaha yang sukses. Oleh kedua orangtuanya, ia diharapkan untuk menjadi orang yang sukses pula. Karena merasa tertekan, ia memasrahkan hidupnya dengan menggantung lehernya, dan secarik kertas berisi pesan kepada orangtuanya, “Pa, Ma, Aku tidak bisa memenuhi keinginan Papa dan Mama. Lebih baik aku mati atau bunuh diri”.

Sahabatku bunuh diri. Dan ia masih kelas tiga sekolah dasar. Waktu itu.

Bocah penyemir sepatu tadi sudah sibuk menyemir sepatu seorang bapak di bangku sebelah. Dengan wajah berseri menanti keping rupiah pertamanya, ini hari.

Kugendong ranselku, beranjak untuk segera melanjutkan perjalanan. Kereta akan segera berangkat.

[Di Kereta]
Aku melihat wajah-wajah asing. Tak ada yang kukenal, tak ada yang mengenalku. Mereka sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Ada yang mengobrol dengan teman sebangkunya, ada yang membaca koran atau majalah, ada yang tertidur, atau bahkan tak melakukan apa-apa. Aku, meski aku yakin bahwa kita tak sendiri, tapi aku tetap merasa tak mempunyai teman seperjalanan.

Kereta melaju, kencang. Serasa melepas semua hasrat dan keinginan. Wajah-wajah terdiam. Membeku dan pasi. Mencoba untuk menikmati perjalanan ini. Segala kasta dan rahasia menumpuk di sini. Entah, akan kemana kereta ini membawa. Tak ada yang peduli. Semua masih terdiam, berkeringat, pengap.

Kereta masih melaju. Tak peduli awan mendung menggantung, di ujung perjalanan.

[Tujuan Akhir]
Kemana kita akan pergi? Ke rumah kosong tak berisi. Kemana kita akan menuju? Yang tersisa hanya tubuh lebam biru.

Matahari meninggi, berangkat pergi. Tapi, gelisah ini masih tetap tertinggal di sini. Abadi.[]

5.12.16

Membaca Peta di Tubuhmu



berulang kali kulalui jalan yang sama
semak perdu dan belukar di pematang
serta onak duri yang menghadang

mencoba merengkuhmu adalah ujian
bagi setiap kesabaran yang kauletakkan
di sisi-sisi jalan yang ada di hadapan

namun tak pernah selesai ini perjalanan
mungkin kaulupa atau memang sengaja
tak meninggalkan isyarat atau tanda-tanda

: untuk bisa kubaca

18.9.15

Mimpi Seorang Insomniak


Kubuka sebuah buku. Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini pun kulalui dengan membaca buku. Sejak beberapa bulan yang lalu, tepatnya kapan aku tidak tahu, aku selalu susah tidur. Aku hanya bisa memejamkan mataku selama dua sampai tiga jam saja setiap harinya. Jadi, aku menghabiskan malam-malamku dengan membaca.

Di lembar-lembar buku yang kubaca, ternyata tidak hanya terdapat deretan huruf-huruf yang terangkai menjadi kata. Tapi juga terdapat bayangan-bayangan yang seolah nyata. Yang entah tercipta karena begitu indahnya narasi sang pengarang atau hanya karena imajinasiku belaka. Aku tidak tahu. Seperti yang kualami, saat ini.

Aku melihat seorang laki-laki yang bercelana jeans dan kemeja flanel dengan t-shirt putih di lapisan dalamnya, berada di tengah-tengah lingkaran yang tersusun atas beberapa buah lilin yang menyala. Laki-laki itu kemudian memasukkan ujung laras pistolnya ke dalam mulutnya sendiri, dan menembakkannya dengan tangan kiri.  Lalu tubuh laki-laki, yang ternyata kidal itu, tergeletak tepat di tengah-tengah lingkaran dengan kepala pecah dan tak bernyawa. Mati! Kemudian media memberitakan bahwa mayat laki-laki itu ditemukan setelah tiga hari meninggal.
           
Kubalik lembar halaman berikutnya. Dan adegan yang terdapat di lembar itu pun berubah. Berbeda.
           
Adam dan Hawa berlari berkejaran di sebuah taman. Eden. Firdaus. Mereka berdua telanjang. Tanpa busana. Hawa meminta kepada Adam untuk mengambilkan sebuah apel merah yang ada pada sebuah pohon di taman itu, untuknya. Adam lalu mengambil apel itu dan memberikannya kepada sang kekasih, Hawa. Mereka berdua menggigit dan memakan apel itu. Sebagian-sebagian.
Sepasang kekasih itu lalu berpelukan. Menjadi satu. Satu tubuh. Setubuh. Dan tidak sadar bahwa ada sepasang mata yang mengamati di sebalik dedaunan. Entah mata siapa. Setan atau Tuhan.

Aku melirik weker di meja, masih jam dua dini hari. Acara tv sudah tidak ada yang menarik lagi. Aku memilih channel yang menayangkan sebuah siaran langsung pertandingan sepak bola. Entah, siapa melawan siapa. Aku tidak begitu memperhatikan. Aku hanya berpikir, kenapa orang-orang itu begitu bodoh berlarian ke sana ke mari hanya untuk mengejar dan memperebutkan sebuah bola. Dan yang lebih aku herankan lagi, kenapa mereka tampak begitu menikmatinya. Siapa yang bodoh? Mereka atau aku? Atau para penontonnya?

Aku merindukan Niko. Sudah beberapa hari ini, dia tidak kelihatan. Menghilang. Atau mungkin bertapa, seperti kebiasaannya jika sedang mencari inspirasi untuk lukisan atau puisi-puisinya.
           
Niko benar-benar seorang artis. Seniman. Selain melukis, ia juga menulis puisi dan novel. Bahkan ia pernah pula bermain teater. Aku mengenalnya ketika masih di kampus dulu. Waktu itu aku melihatnya pada sebuah pementasan teater. Di pentas yang berjudul “Romeo and Juliet” itu, Niko berperan sebagai Juliet. Sungguh, aku begitu terpesona dengan aktingnya.

Sejak itu kami selalu ke mana-mana berdua. Pada awalnya aku hanya merasa ia adalah seorang teman sekaligus sahabat yang baik. Dan aku merasa nyaman bersamanya. Tapi tanpa sadar, lama-kelamaan aku merasa ada sesuatu yang berbeda ketika aku bersamanya. Hingga akhirnya aku menyadari kalau aku mencintainya. Dan, kami adalah sepasang kekasih!

Mungkin bukan Niko sebenarnya yang kurindukan. Tapi yang tidak bisa kulupakan adalah sentuhan, belaian dan kecupan-kecupan Niko. Di seluruh tubuhku. Memikirkan Niko, tanpa sadar membuat tanganku bermain-main di sela-sela kedua pahaku. Sial! Kenapa aku begitu terobsesi dengannya?!

Sudah semakin akut saja insomnia ini. Kalau beberapa bulan lalu aku masih bisa tidur empat atau lima jam sehari, sekarang tidak. Saat-saat ini, aku hanya bisa tidur paling banyak hanya sekitar dua atau tiga  jam saja sehari. Dan untuk menghabiskan malam, aku biasa melahap berbagai macam bacaan. Apa saja. Novel atau buku-buku filsafat. Bahkan stensilan.

Malam ini, aku baru saja menyelesaikan sebuah bab dalam “Misteri Soliter” yang di beri judul “Pangeran Keriting”. Aku tidak begitu mengerti apa yang diceritakan Jostein di buku ini. Aku tidak begitu peduli apa isi buku ini. Juga buku-buku yang pernah atau sedang kubaca. Karena yang kulakukan adalah hanya membaca, membaca, dan membaca.

Aku melihat Adam dan Hawa. Mereka tampak terkejut, begitu tersadar dari apa yang telah mereka lakukan tadi. Adam hanya terdiam sambil memandang Hawa, sementara Hawa hanya menunduk. Adam berpikir, apa nanti yang akan dijadikan alasan jika Ia tahu?

Adegan Adam dan Hawa yang sedang termenung di taman tadi perlahan-lahan memudar. Berganti warna. Menjadi gambar dengan dua orang model yang berpose seperti Adam dan Hawa di taman Eden. Telanjang. Tanpa busana.  Lalu, sekelompok orang berpakaian putih-putih dengan berbagai macam poster berisi tulisan yang menentang segala bentuk pornografi, melakukan demo yang mengecam pemuatan gambar itu di sebuah pameran.

Aku semakin tidak bisa memahami buku ini. Yang kulakukan hanya membaca, tanpa harus tahu apa isi buku yang sedang kubaca ini. Pokoknya membaca. Itu saja. Jadi aku tidak begitu heran ketika mataku masih terpaku pada deretan huruf-huruf di buku ini, tapi pikiranku melayang-layang jauh, entah kemana. Termasuk ketika aku ingat Niko.

Dimana kau sekarang, Nik? Aku merindukanmu. Dan juga belaianmu. Tanganku kembali bermain-main, kali ini di payudara yang menggantung di dadaku.

Image by G.C. from Pixabay


^^
“What A Wonderfull World”nya Louis Armstrong berbunyi. Nada panggil di ponselku berbunyi, segera kuangkat.

“Bean! Kapan kamu akan ke kantor?”, tanya suara di seberang sana yang ternyata adalah Frances, partnerku di LSM yang kami kelola bersama.
“Cepetan! Kita ada meeting dengan relasi! Kalau bukan pendiri LSM ini, sudah kupecat kau!”.

Gerutuan Frances tentang kebiasaanku sudah tak terdengar lagi. Seperti biasa, aku telat lagi. Kulirik weker di meja, sudah jam sembilan kurang lima belas menit.  Gawat! Sudah telat lima belas menit dari jadwal meeting hari ini.

Tanpa sempat mandi, hanya cuci muka dan gosok gigi, serta menyemprotkan deodoran seperlunya ke tubuhku, aku berangkat. Sambil tak lupa membawa sebungkus kretek.[]

In Utero



Cuaca hari ini terasa begitu menyengat. Meski sudah bertelanjang dada dan menggunakan kipas angin, tetapi tetap saja terasa panas. Bahkan aku sampai harus membuka jendela untuk sedikit mengurangi rasa panas ini. Tapi tetap saja tidak ada pengaruhnya. Tetap terasa panas.

Aku melanjutkan lagi menempelkan potongan-potongan gambar ke kanvas. Kolase ini belum selesai, masih setengah jadi. Ada beberapa gambar yang belum kutempelkan. Gambar bayi-bayi tanpa kepala, perisai, vagina, swastika, sepasang mata, gitar, sebungkus rokok, sebotol anggur dan sebatang korek api. Rencananya, kolase yang akan kuberi judul "in utero" ini akan kusertakan dalam pameran seni yang akan diadakan di Pendopo Kabupaten minggu depan.

Ketika aku masih asyik  menempelkan gambar-gambar itu, seorang laki-laki setengah baya datang menghampiriku. Kira-kira umurnya dua kali umurku. Meski sudah banyak uban di kepalanya, tetapi tubuhnya masih terlihat tegap.

"Nak, bagus sekali kolasemu itu", ucapnya.

Terasa sekali bahwa laki-laki itu mencoba sedikit berbasa-basi untuk membuka percakapan denganku. Aku diam saja, meneruskan pekerjaanku tadi yang belum selesai.

"Maaf, kamu benar Jimbo, kan?", tanya laki-laki itu padaku.
"Iya", dengan terpaksa aku harus berhenti menempelkan gambar dan menjawab pertanyaannya.
"Memang kenapa? Bapak siapa?", tanyaku kemudian.

Bapak itu diam sebentar, lalu menghela nafas.

"Aku...bapakmu", jawabnya datar.

Dhuaarr!!! Serasa seperti disambar petir ketika aku mendengar jawabannya. Aku berhenti menempelkan gambar. Aku layangkan pandanganku ke arah bapak itu. Aku amati wajahnya. Aku merasa asing. Dan, aku merasa tidak mengenalnya.

"Kenapa nak?".
"Tolong bapak jangan mengada-ada. Bapak saya sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu. Sejak kecil, saya hanya tinggal bersama ibu saya. Jadi, sekali lagi, tolong bapak jangan mengaku-aku sebagai bapak saya. Dan kalau pun ternyata bapak adalah benar-benar bapak saya, saya tetap tidak akan percaya begitu saja."

Bapak itu terdiam. Masih memandangiku. Lalu memandang kolase setengah jadi.

"Umur 6 tahun, waktu kamu main layang-layang di sawah, pipimu terkena benang gelasan2) sehingga tergores dan berdarah. Dan luka itu masih membekas di pipimu", bapak itu bercerita.
"Kemudian waktu kamu belajar naik sepeda, kamu berkali-kali terjatuh dari sepeda. Tapi itu tidak membuatmu kapok untuk belajar. Sampai pada suatu hari, kamu terjatuh dan  membentur batu sehingga membuat tulang tanganmu patah. Setelah itu kamu tidak mau lagi naik sepeda."

Bapak itu masih bercerita tentang hal-hal lain, yang samar-samar masih membekas di dalam ingatanku.

"Masih belum percaya kalau aku bapakmu?".
"Bapak bisa saja mengarang cerita dan secara kebetulan cerita itu sama dengan apa yang saya alami waktu kecil dulu."
"Nak, lantas apa yang harus saya lakukan untuk membuatmu percaya?".
"Bapak tidak perlu melakukan apa-apa."

^^

Semua gambar sudah menempel di kanvas. Aku sedang memberi sedikit sentuhan akhir untuk membuat “in utero”  sempurna, ketika bapak itu datang lagi.

"Nak, ini foto bapak dan ibumu yang sedang menggendongmu. Waktu itu kamu masih 3 tahun.", katanya sambil menyerahkan selembar foto hitam putih yang kelihatannya sudah tua sekali, padaku.

Aku melihat foto itu. Persis sama seperti foto yang dulu sering diperlihatkan ibu kepadaku, kalau aku merengek menanyakan tentang bapak. Yang aku ingat, waktu ibu menunjukkan foto dan bercerita tentang bapak, ibu terlihat bangga dan bahagia. Itu saja.

"Trus, kemana saja bapak selama ini? Ketika ibu harus membanting tulang, bersusah payah untuk melunasi utang-utang bapak pada rentenir? Ketika ibu harus bekerja keras untuk mencari makan dan menyekolahkan saya?", kataku sedikit keras.
"Apa itu yang dinamakan dengan seorang bapak?", kataku lagi, agak emosi.

Bapak itu terdiam. Menunduk. Lalu memandang “in utero”.

"Sudahlah. Saya sudah biasa dengan keadaan saya. Sejak kecil saya sudah merasa tidak mempunyai bapak. Bapak saya sudah mati."

Kembali, bapak itu hanya terdiam. Kulihat bibirnya sedikit bergetar, mungkin akan bicara. Sebelum sempat bapak itu bicara, segera kusudahi saja perbincangan ini.

"Maaf pak, saya masih belum bisa menerima bapak sebagai bapak saya."

^^

Pameran seni di Pendopo sukses besar. Dalam lelang yang di adakan waktu pameran tadi, "in utero" laku terjual 250 juta. Pembelinya seseorang dari luar kota, yang pada waktu pelelangan tidak datang dan diwakili oleh orang suruhannya. Jadi aku tidak bisa bertemu secara langsung dengan kolektor "in utero".

^^

Jarum jam berdentang 12 kali. Sudah tengah malam. Aku masih juga tidak bisa tidur. Berbagai pikiran berkecamuk di dalam otakku.

Dulu, aku pamit pergi ke kota dengan tujuan untuk mencari penghidupan yang lebih layak, dan suatu janji kelak jika aku sudah berhasil aku akan pulang dan membawa kembali anak dan istriku untuk menikmati keberhasilan yang kuperoleh. Tapi, ternyata  kenikmatan yang ditawarkan oleh kesuksesan itu telah membuatku lupa akan segalanya. Aku melupakan istriku. Aku melupakan anakku. Bahkan aku melupakan agamaku. Sampai suatu ketika datang seseorang yang mengingatkan aku kembali pada anak dan istriku.

Dan disaat rasa penyesalanku ini datang menghampiri, semua sudah terlambat. Sangat terlambat. Istriku sudah meninggal. Anakku tidak mau menerima aku sebagai bapaknya. Dan aku sendirian. Dan aku sendirian. Hanya ditemani "in utero", kolase yang kubeli pada lelang kemarin.

--d r o p--

[2006-2015]

1) “In Utero”, judul salah satu album Nirvana.
2) Benang tajam yang biasa digunakan untuk saling beradu layang-layang.