18.9.15

In Utero



Cuaca hari ini terasa begitu menyengat. Meski sudah bertelanjang dada dan menggunakan kipas angin, tetapi tetap saja terasa panas. Bahkan aku sampai harus membuka jendela untuk sedikit mengurangi rasa panas ini. Tapi tetap saja tidak ada pengaruhnya. Tetap terasa panas.

Aku melanjutkan lagi menempelkan potongan-potongan gambar ke kanvas. Kolase ini belum selesai, masih setengah jadi. Ada beberapa gambar yang belum kutempelkan. Gambar bayi-bayi tanpa kepala, perisai, vagina, swastika, sepasang mata, gitar, sebungkus rokok, sebotol anggur dan sebatang korek api. Rencananya, kolase yang akan kuberi judul "in utero" ini akan kusertakan dalam pameran seni yang akan diadakan di Pendopo Kabupaten minggu depan.

Ketika aku masih asyik  menempelkan gambar-gambar itu, seorang laki-laki setengah baya datang menghampiriku. Kira-kira umurnya dua kali umurku. Meski sudah banyak uban di kepalanya, tetapi tubuhnya masih terlihat tegap.

"Nak, bagus sekali kolasemu itu", ucapnya.

Terasa sekali bahwa laki-laki itu mencoba sedikit berbasa-basi untuk membuka percakapan denganku. Aku diam saja, meneruskan pekerjaanku tadi yang belum selesai.

"Maaf, kamu benar Jimbo, kan?", tanya laki-laki itu padaku.
"Iya", dengan terpaksa aku harus berhenti menempelkan gambar dan menjawab pertanyaannya.
"Memang kenapa? Bapak siapa?", tanyaku kemudian.

Bapak itu diam sebentar, lalu menghela nafas.

"Aku...bapakmu", jawabnya datar.

Dhuaarr!!! Serasa seperti disambar petir ketika aku mendengar jawabannya. Aku berhenti menempelkan gambar. Aku layangkan pandanganku ke arah bapak itu. Aku amati wajahnya. Aku merasa asing. Dan, aku merasa tidak mengenalnya.

"Kenapa nak?".
"Tolong bapak jangan mengada-ada. Bapak saya sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu. Sejak kecil, saya hanya tinggal bersama ibu saya. Jadi, sekali lagi, tolong bapak jangan mengaku-aku sebagai bapak saya. Dan kalau pun ternyata bapak adalah benar-benar bapak saya, saya tetap tidak akan percaya begitu saja."

Bapak itu terdiam. Masih memandangiku. Lalu memandang kolase setengah jadi.

"Umur 6 tahun, waktu kamu main layang-layang di sawah, pipimu terkena benang gelasan2) sehingga tergores dan berdarah. Dan luka itu masih membekas di pipimu", bapak itu bercerita.
"Kemudian waktu kamu belajar naik sepeda, kamu berkali-kali terjatuh dari sepeda. Tapi itu tidak membuatmu kapok untuk belajar. Sampai pada suatu hari, kamu terjatuh dan  membentur batu sehingga membuat tulang tanganmu patah. Setelah itu kamu tidak mau lagi naik sepeda."

Bapak itu masih bercerita tentang hal-hal lain, yang samar-samar masih membekas di dalam ingatanku.

"Masih belum percaya kalau aku bapakmu?".
"Bapak bisa saja mengarang cerita dan secara kebetulan cerita itu sama dengan apa yang saya alami waktu kecil dulu."
"Nak, lantas apa yang harus saya lakukan untuk membuatmu percaya?".
"Bapak tidak perlu melakukan apa-apa."

^^

Semua gambar sudah menempel di kanvas. Aku sedang memberi sedikit sentuhan akhir untuk membuat “in utero”  sempurna, ketika bapak itu datang lagi.

"Nak, ini foto bapak dan ibumu yang sedang menggendongmu. Waktu itu kamu masih 3 tahun.", katanya sambil menyerahkan selembar foto hitam putih yang kelihatannya sudah tua sekali, padaku.

Aku melihat foto itu. Persis sama seperti foto yang dulu sering diperlihatkan ibu kepadaku, kalau aku merengek menanyakan tentang bapak. Yang aku ingat, waktu ibu menunjukkan foto dan bercerita tentang bapak, ibu terlihat bangga dan bahagia. Itu saja.

"Trus, kemana saja bapak selama ini? Ketika ibu harus membanting tulang, bersusah payah untuk melunasi utang-utang bapak pada rentenir? Ketika ibu harus bekerja keras untuk mencari makan dan menyekolahkan saya?", kataku sedikit keras.
"Apa itu yang dinamakan dengan seorang bapak?", kataku lagi, agak emosi.

Bapak itu terdiam. Menunduk. Lalu memandang “in utero”.

"Sudahlah. Saya sudah biasa dengan keadaan saya. Sejak kecil saya sudah merasa tidak mempunyai bapak. Bapak saya sudah mati."

Kembali, bapak itu hanya terdiam. Kulihat bibirnya sedikit bergetar, mungkin akan bicara. Sebelum sempat bapak itu bicara, segera kusudahi saja perbincangan ini.

"Maaf pak, saya masih belum bisa menerima bapak sebagai bapak saya."

^^

Pameran seni di Pendopo sukses besar. Dalam lelang yang di adakan waktu pameran tadi, "in utero" laku terjual 250 juta. Pembelinya seseorang dari luar kota, yang pada waktu pelelangan tidak datang dan diwakili oleh orang suruhannya. Jadi aku tidak bisa bertemu secara langsung dengan kolektor "in utero".

^^

Jarum jam berdentang 12 kali. Sudah tengah malam. Aku masih juga tidak bisa tidur. Berbagai pikiran berkecamuk di dalam otakku.

Dulu, aku pamit pergi ke kota dengan tujuan untuk mencari penghidupan yang lebih layak, dan suatu janji kelak jika aku sudah berhasil aku akan pulang dan membawa kembali anak dan istriku untuk menikmati keberhasilan yang kuperoleh. Tapi, ternyata  kenikmatan yang ditawarkan oleh kesuksesan itu telah membuatku lupa akan segalanya. Aku melupakan istriku. Aku melupakan anakku. Bahkan aku melupakan agamaku. Sampai suatu ketika datang seseorang yang mengingatkan aku kembali pada anak dan istriku.

Dan disaat rasa penyesalanku ini datang menghampiri, semua sudah terlambat. Sangat terlambat. Istriku sudah meninggal. Anakku tidak mau menerima aku sebagai bapaknya. Dan aku sendirian. Dan aku sendirian. Hanya ditemani "in utero", kolase yang kubeli pada lelang kemarin.

--d r o p--

[2006-2015]

1) “In Utero”, judul salah satu album Nirvana.
2) Benang tajam yang biasa digunakan untuk saling beradu layang-layang.

No comments:

Post a Comment