Showing posts with label insane. Show all posts
Showing posts with label insane. Show all posts

16.1.18

Surat Buat Mera

Mer, kamu pasti nggak akan nyangka bakal dapat surat dari aku. Ini adalah surat yang pertama kali kutulis dan kirim kepadamu, setelah berkali-kali kamu merengek minta dikirimi surat. “Kamu itu, mbok sesekali kirim surat ke aku!”, katamu, waktu itu. Aku tak pernah menggubris permintaanmu itu, sampai sekarang.

Ada banyak alasan yang membuat aku enggan untuk menulis surat ke kamu. Pengen tahu alasannya? Ok, yang pertama dan yang paling penting adalah karena tulisanku jelek dan aku takut surat itu akan percuma kukirimkan ke kamu, karena kamu tidak bakal bisa membaca tulisanku. Dan alasan yang kedua adalah aku takut dibilang kuno. Zaman sudah maju kok masih surat-suratan, nanti dibilang yang nggak modern, kuno dan lain sebagainya. Aku harap kamu bisa memakluminya. Aku tahu, kamu pasti akan memakluminya.

Dan kalau sekarang akhirnya kamu bisa menerima dan membaca surat dari aku ini, tak lain hanya karena aku takut jika aku tidak menulis surat ke kamu, aku akan kehilangan jejak kamu. Sebab sudah cukup lama kita berpisah tanpa saling kontak. Mau telepon, aku tak punya. Mau chatting atau email, aku buta dengan teknologi itu (aku benar-benar kuno, ya?). Jalan satu-satunya,  ya lewat surat. Mudah-mudahan surat ini sampai ke tangan kamu.

Bagaimana kabarmu? Sampai saat ini, aku masih sering berlama-lama tenggelam dalam kenangan di kafe, tempat pertama kali dulu kita bertemu. Aku sering kangen dengan kopi dan suasananya. Aku sering larut dalam bayangan, ketika masih bersamamu menghabiskan malam di sini. 

Mera sayang (apakah kita pernah saling menyayangi?), ngomong apa lagi ya.Itulah aku, masih sering kehilangan bahan pembicaraan. Tapi yang kuherankan, kenapa kamu betah padahal aku lebih banyak diam.

Kamu tahu, waktu nulis surat ini, aku merasa tersiksa sekali. Karena, aku harus berhati-hati sekali agar tulisanku nanti bisa terbaca olehmu. Kan tidak  lucu kalau sudah capek-capek nulis, eh, tulisannya malah jadi gak terbaca olehmu. Dan lagi, ini sudah terlalu malam, aku takut bila sendirian. Semoga kamu selalu baik-baik saja di tempat barumu dan selalu bahagia dengan apapun yang kamu lakukan.

Love you, 

Mera.

12.1.18

Biru

"Ayo bersenang-senanglah. Tabrak segala aturan. Lupakan semua persoalan", suara seseorang dalam kepalaku berbisik. Terdengar jelas dan dekat. Seperti aku berbisik pada diriku sendiri. Tapi aku tidak tahu siapa dia.

"Ayo jangan ragu. Tak ada yang peduli padamu. Tubuhmu adalah milikmu!", lagi seseorang itu berbisik. Kali ini dengan suara yang lebih tebal dan dalam. Seperti ular yang mendesis ketika menebarkan ancaman.

"Apa yang harus kuperbuat? Bukankah kita semua ini terikat norma dan etika?", tanyaku pada seseorang di dalam kepalaku. Sepi. Hening. Tak ada jawaban. "Ah, mungkin dia sudah pergi. Bersama kekasih yang lain", batinku.

Hampir 2 minggu dia tak lagi berbisik. Awalnya aku merasa senang tak ada lagi yang menggangguku dengan bisikan-bisikannya. Tapi lama-lama terbit rasa kehilangan. Aku kangen bisikan-bisikan lembutnya, meski kadang juga merasa jengkel dengan bisikannya yang serupa ancaman.

Semalam dia datang lagi. Tak lagi berbisik. Tapi mengajak bercakap-cakap. Tidak berhadapan. Masih di dalam kepala.

"Kemarin aku pergi jauh. Seseorang merayuku untuk meninggalkanmu, lalu mengajakku ke sebuah tempat yang semuanya berwarna biru. Orang-orangnya biru. Rumahnya biru. Pohonnya biru. Udaranya biru. Airnya biru. Kemudian aku teringat dirimu. Matamu yang biru", katanya ketika kutanya ke mana dia selama beberapa waktu.

"Kenapa kau sekarang kembali?", tanyaku. Dia tak menjawab. Hanya tersenyum. Senyum yang biru. Dan mata yang biru.

8.1.18

Demam

Artwork by @arr_riz
Dia kemudian menari, meliuk-liukkan tubuhnya dengan gemulai. Kukira dia pasti seorang perempuan, karena tariannya begitu luwes dan sedap dipandang mata. Tak mungkin seorang lelaki bisa menari segemulai itu, karena seorang lelaki diciptakan dari besi yang keras dan kuat.

Walaupun tak ada iringan suara gamelan dia masih tetap menari. Menari dalam sunyi. Seperti kesurupan. Seperti orang Indian yang sedang kerasukan roh leluhurnya. Masih menari. Terus menari.

Lama-kelamaan tubuhnya menjadi semakin besar hingga ukurannya sama dengan tubuhku. Dia tersenyum kepadaku, segera saja kubalas senyumannya. Dia mengajakku menari. Sebenarnya aku ingin menuruti ajakannya menari, aku ingin mempraktekkan tarian yang pernah kupelajari sewaktu les bersama seorang guru tari di pendopo kantor kecamatan. Tapi badanku rasanya ringkih, lemah sekali, tak mampu bergerak.

Perlahan dia kemudian berjalan menjauh, menuju ujung kamar ini sambil tetap menari. Mengajak siapa saja yang ditemuinya di sepanjang perjalanannya untuk menari bersamanya. Tapi tak ada yang mau dan peduli padanya. Aku hanya bisa menatapnya pergi, dan dari kejauhan dia melambaikan tangannya seakan pamit kepadaku.

Tubuhnya sudah tidak nampak dengan jelas lagi, samar menyerupai bayang-bayang hitam. Tapi tak mau hilang. Masih melekat di mata dan pikiran. Seperti kenangan yang ingin segera dilupakan, tapi malah menempel erat tak terpisahkan.

Kemudian kulihat wajah ibu. Tangannya lembut mengusap kepalaku. Bibirnya seperti berbicara tapi aku tak tahu apa.


5.1.18

Duniamera

Kami selalu mendengar celetukan mereka setiap kali kami melewati jalan depan pos ronda itu. Kata-kata yang selalu sama yang tak bosan-bosannya keluar dari mulut mereka yang berbau alkohol dicampur asap rokok. "Dasar sinting! Minggir sana!", begitu yang selalu kami dengar. Langsung saja kami bergeser ke tempat lain, mengurungkan niat sebelumnya yang ingin minta sedikit minuman untuk menyegarkan tenggorokan yang sudah kering kerontang.

Di lain waktu sering juga kami terima perlakuan yang kurang lebih sama seperti orang-orang di pos ronda itu. Di pasar, misalnya. Kami hanya ingin berteduh barang sejenak ketika hujan terlalu lebat bagi tubuh kurus kami ini, tapi langsung saja dihardik oleh pemilik warung. "Pergi sana! Nanti pelangganku gak mau makan lagi di sini".

Orang-orang terlalu sibuk dengan dunianya, mengejar dunianya. Menghabiskan waktu di tempat kerja, mengharapkan kebahagiaan yang diukur dari materi yang dimiliki. Melihat itu semua kadang membuat kami tertawa kemudian memperbincangkannya. Dan hal itu malah menjadikan orang-orang melirik dengan tatap mata yang tajam. Bahkan tak jarang di antara mereka ada yang menggerakkan jarinya miring di dahi. 

Sudah lama kutinggalkan dunia seperti mereka, aku tak butuh apa-apa lagi selain kebersamaanku dengannya. Jika kau bersama dengan kekasihmu, masih adakah yang kaubutuhkan selainnya? Oh ya, perkenalkan namaku Mera.