8.1.18

Demam

Artwork by @arr_riz
Dia kemudian menari, meliuk-liukkan tubuhnya dengan gemulai. Kukira dia pasti seorang perempuan, karena tariannya begitu luwes dan sedap dipandang mata. Tak mungkin seorang lelaki bisa menari segemulai itu, karena seorang lelaki diciptakan dari besi yang keras dan kuat.

Walaupun tak ada iringan suara gamelan dia masih tetap menari. Menari dalam sunyi. Seperti kesurupan. Seperti orang Indian yang sedang kerasukan roh leluhurnya. Masih menari. Terus menari.

Lama-kelamaan tubuhnya menjadi semakin besar hingga ukurannya sama dengan tubuhku. Dia tersenyum kepadaku, segera saja kubalas senyumannya. Dia mengajakku menari. Sebenarnya aku ingin menuruti ajakannya menari, aku ingin mempraktekkan tarian yang pernah kupelajari sewaktu les bersama seorang guru tari di pendopo kantor kecamatan. Tapi badanku rasanya ringkih, lemah sekali, tak mampu bergerak.

Perlahan dia kemudian berjalan menjauh, menuju ujung kamar ini sambil tetap menari. Mengajak siapa saja yang ditemuinya di sepanjang perjalanannya untuk menari bersamanya. Tapi tak ada yang mau dan peduli padanya. Aku hanya bisa menatapnya pergi, dan dari kejauhan dia melambaikan tangannya seakan pamit kepadaku.

Tubuhnya sudah tidak nampak dengan jelas lagi, samar menyerupai bayang-bayang hitam. Tapi tak mau hilang. Masih melekat di mata dan pikiran. Seperti kenangan yang ingin segera dilupakan, tapi malah menempel erat tak terpisahkan.

Kemudian kulihat wajah ibu. Tangannya lembut mengusap kepalaku. Bibirnya seperti berbicara tapi aku tak tahu apa.


No comments:

Post a Comment