"Mas, robusta muria aja, seperti biasa", seru Bean begitu memasuki kafe. Sejenak diedarkan pandangan ke seluruh ruangan, lalu berjalan menuju pojok tempat dia biasa duduk berlama-lama di situ.
"Sial! Gara-gara hujan seharian, aku jadi telat presentasi. Padahal ini saat yang paling penting, tapi hasil akhirnya gak begitu bagus. Untung klien masih mau mengerti dan memberi waktu lagi", gerutunya.
"Ups! Tidak seharusnya aku memaki hujan. Benar kata Magda bahwa hujan adalah rahmat, jadi tidak selayaknya makian kutumpahkan padanya. Mestinya kumaki diriku sendiri yang tiap kali hujan datang selalu malas mau ngapa-ngapain."
Secangkir kopi datang. Dihirupnya aroma khas kopi yang begitu digemarinya. Kopi yang berasal dari tempat dia menghabiskan masa kecilnya. Kopi dari perkebunan milik leluhurnya yang sekarang kondisinya seperti hidup segan mati tak mau.
"Proposal untuk menyulap perkebunan kopi menjadi pusat agribisnis besok harus sudah klir. Tidak boleh lagi ada alasan dan permakluman terhadap diri sendiri", batinnya.
Disruputnya kopi, kemudian didiamkan beberapa saat di rongga mulutnya. Untuk sejenak dia teringat kampung halamannya. Teringat teman-teman masa kecilnya yang sering bermain-main di kebun kopi kakeknya. Teringat Niko, Kurdt, Frances dan Mera.
Ah, bagaimana kabar mereka sekarang? Semoga baik-baik saja. Terakhir ada kabar kalau Mera dirawat di Rumah Sakit Jiwa karena stres entah apa sebabnya.
Kopi selalu mengingatkan Bean akan banyak hal. Termasuk kenangan-kenangan yang sebenarnya ingin dilupakan, ingin disingkirkan. Itu kenapa Bean minum kopi yang disaring terlebih dahulu agar tidak menyisakan ampas, tidak menyisakan kenangan. Tapi tetap saja, ada. Walau setitik.
No comments:
Post a Comment