28.8.15

Episode Keabadian



[1]
Rambut gondrong, celana jeans robek di bagian lutut dan t-shirt putih bergambar sampul album band Sonic Youth, rokok di tangan, itulah atribut yang selalu melekat padanya. Kurt, namanya. Seorang vokalis sebuah band yang baru-baru ini albumnya meledak hebat di pasaran. Dan karena lirik-lirik lagunya yang lugas, tanpa batas dan kompromi, dia dianggap sebagai juru bicara generasinya.
Tapi orang-orang itu tak pernah tahu, apa sebenarnya yang dirasakannya. Orang-orang hanya melihatnya sebagai sosok yang sukses menjual jutaan kopi albumnya ke seluruh dunia, tanpa pernah mau tahu apa sebenarnya yang ada di dalam hatinya.
Sudah lama ia muak dengan apa yang telah ia dapatkan, nama tenar, uang melimpah dan segala fasilitas serta kemudahan-kemudahan lainnya. Tapi bukan itu yang ia inginkan, ia hanya ingin bernyanyi, tak peduli orang senang mendengarnya atau tidak. Ia muak dengan perlakuan para fans yang selalu mengelu-elukan namanya ketika di atas panggung, tapi ketika nanti ia sudah tidak bisa apa-apa, mereka akan dengan mudah melupakan dan menganggapnya tidak pernah ada. Ia juga muak dengan apa yang ditawarkan para penggemar kepadanya.
Pernah suatu kali, penggemarnya seorang perempuan muda yang bahkan payudaranya saja belum tumbuh menawarkan diri untuk memberikan keperawanannya, dan ia menolaknya. Dengan itu semua, yang dilakukannya adalah mengkonsumsi heroin secara rutin untuk menghilangkan semua kemuakan yang dirasakan.

Sudah dua bulan ini ia keluar masuk rehabilitasi, tapi tak pernah kelihatan hasilnya.
Orang-orang menganggapnya nyeleneh, aneh. Kadang ia menggonggong seperti anjing di pelataran parkir mobil. Kadang ia tertawa keras, tanpa ada sebabnya. Tapi kadang ia juga terlihat murung, diam dan menyendiri. Ia lebih kelihatan sebagai seorang “gelandangan” daripada seorang “bintang besar”.
Kemarin ia lari dari tempat rehabilitasi, dan orang-orang tidak ada yang tahu kemana perginya.
Hingga tiga hari kemudian, polisi menemukannya tewas dengan kepala tertembak, pistol di tangan kiri, dan secarik kertas bertuliskan,”…you have raped me harder than you’ll ever know…”.

[2]
Jendela kamar selalu tertutup, sehingga tak ada udara segar yang masuk. Cahaya matahari pun masuk hanya lewat celah-celah yang ada di atas jendela. Pengap, sesak, belum lagi asap rokok yang mengepul dari bibirnya. Tape deck butut lamat-lamat mengalunkan “Juwita Malam”nya Ismail Marzuki dalam versi keroncong.
Ia masih saja asyik menulis. Menulis apa saja, sajak, cerita atau hanya sekedar coretan-coretan yang tak tentu rimbanya. Di depannya, segelas kopi pekat sisa semalam yang tinggal separuh dan setangkup roti bakar dengan telur mata sapi di tengahnya, menemaninya. Tumpukan kertas terletak di atas meja, dan beberapa buku tampak tergeletak begitu saja di sudut kamar. Beberapa gumpalan kertas tersebar di beberapa sudut dalam ruangan ini.
Sudah beberapa minggu ini ia tinggal di kamar ini. Sendiri tanpa ada yang menemani. Hanya kadang-kadang saja ada teman yang mengunjungi, itu pun hanya sebentar, paling hanya untuk menengok keadaannya. Bahkan sudah hampir seminggu ini tak ada teman yang mengunjungi.

Ia terbatuk. Tubuhnya semakin kurus bila dibandingkan dengan keadaannya beberapa bulan sebelumnya. Sekarang ini ia nampak kumuh dan penyakitan. Ia terbatuk lagi, dan nafasnya mulai tersengal-sengal, penyakit yang menyerang paru-parunya kambuh lagi. Ia terbatuk lagi, dan kali ini disertai dengan dahak yang keluar dari mulutnya, berwarna hitam, kental dan ada sedikit bercak berwarna merah di situ, merah darah.
Ia masih belum menyerah. “Juwita Malam sudah masuk bagian reffrain. Di ambilnya roti, coba dimakannya, tapi dimuntahkannya lagi sepotong roti yang tadi berhasil digigitnya. Cuh!, ia muntahkan potongan roti ke bawah meja dekat kaki yang sebelah kanan.

Beberapa lama, ia masih asyik menulis. Masih terbatuk. Dan mungkin karena kepayahan, ia nampak pulas tertelungkup di atas kertas-kertas yang berserakan di meja.
Di atas ranjang, tergeletak satu eksemplar buku baru, masih bersegel plastik dengan tulisan,”AKU, kumpulan sajak oleh Chairil”.

[3]
…is everybody in? the ceremony is about to begin!…1

Musik mengalun pelan. Ia duduk sambil menghisap rokok, dan di tangan kirinya memegang sebotol vodka. Di depannya, sebuah layar televisi hitam putih 21 inci sedang menampilkan rangkaian gambar-gambar dari pemutar video yang terletak di atasnya.

Gambar-gambar itu bercerita, tentang sekumpulan bocah-bocah yang sedang berpesta di acara ulang tahun salah satu temannya, tentang seorang lelaki yang sedang berjalan-jalan di pantai sambil membawa buku Jack Kerouac “On The Road”, tentang sebuah band yang sedang mengadakan tour di sebuah kota besar di Amerika bagian utara.

Suatu hari ia dan bandnya sedang tour di suatu kota, ketika di panggung, pada saat menyanyikan lagu ketiga, orang-orang melihatnya bernyanyi sambil berdansa dengan gaya yang aneh. Padahal menurutnya, ia sedang bernyanyi dan berdansa dengan sekelompok orang-orang Apache di sebuah ritual acara penyembahan yang dilakukan oleh suku tersebut.

Seteguk vodka langsung dari botol meluncur ke perut melalui kerongkongan. Tubuhnya sekarang telah berbeda dengan tubuhnya yang dulu. Kini, perutnya telah dilapisi oleh tumpukan lemak yang membuat beberapa gelambir nampak menghiasi beberapa permukaan perutnya. Wajahnya pun kini sudah tak klimis lagi, penuh dengan bulu yang dibiarkan  memanjang tanpa pernah di cukur.

Gambar-gambar masih bercerita. Menampilkan keabadian dalam istilahnya sendiri. Ia masih belum beranjak dari tempatnya duduk. Masih dengan rokok di tangan kanan, dan vodka di tangan kirinya. Di belakangnya, poster dirinya berpose seperti Jesus saat disalibkan, menempel gagah di dinding kamarnya. Televisi menampilkan gambar seorang perempuan muda berambut ikal-pirang sedang tertawa-tawa dan menari-nari,”Ah, Pam, di mana sebenarnya kau kini? Aku merindukanmu!”. Ia bergumam sendiri.

Berdiri, meneguk lagi vodka dari botolnya. Memandang keluar ke arah bukit di sebelah selatan kamarnya, tempat pemakaman para tokoh-tokoh besar,”Jika aku mati nanti, aku ingin dimakamkan di sana”, katanya pada dirinya sendiri.

Berjalan perlahan ke kamar mandi. Berbaring di bath tub, dengan rokok di tangan kanan dan vodka di tangan kiri. Memejamkan mata. Mencoba menikmati segala kebekuan dan keabadian menurut caranya sendiri. Ia tersenyum, seperti menjemput malaikat maut yang akan membawanya ke surga.

[4]
Aku merasa seperti berada di taman labirin. Aku tak bisa menemukan jalan keluar. Semua buntu. Suntuk. Aku tersesat. Tak tahu harus menentukan, cara apa yang akan kutempuh untuk menyongsong keabadian. Kematian.


1 Lirik lagu “Awake Ghost Songs” The Doors

No comments:

Post a Comment