[1]
Rambut gondrong, celana jeans robek di bagian lutut
dan t-shirt putih bergambar sampul album band Sonic Youth, rokok di tangan,
itulah atribut yang selalu melekat padanya. Kurt, namanya. Seorang vokalis
sebuah band yang baru-baru ini albumnya meledak hebat di pasaran. Dan karena
lirik-lirik lagunya yang lugas, tanpa batas dan kompromi, dia dianggap sebagai
juru bicara generasinya.
Tapi orang-orang itu tak pernah tahu, apa
sebenarnya yang dirasakannya. Orang-orang hanya melihatnya sebagai sosok yang
sukses menjual jutaan kopi albumnya ke seluruh dunia, tanpa pernah mau tahu apa
sebenarnya yang ada di dalam hatinya.
Sudah lama ia muak dengan apa yang telah ia dapatkan,
nama tenar, uang melimpah dan segala fasilitas serta kemudahan-kemudahan
lainnya. Tapi bukan itu yang ia inginkan, ia hanya ingin bernyanyi, tak peduli
orang senang mendengarnya atau tidak. Ia muak dengan perlakuan para fans yang
selalu mengelu-elukan namanya ketika di atas panggung, tapi ketika nanti ia
sudah tidak bisa apa-apa, mereka akan dengan mudah melupakan dan menganggapnya
tidak pernah ada. Ia juga muak dengan apa yang ditawarkan para penggemar
kepadanya.
Pernah suatu kali, penggemarnya seorang perempuan
muda yang bahkan payudaranya saja belum tumbuh menawarkan diri untuk memberikan
keperawanannya, dan ia menolaknya. Dengan itu semua, yang dilakukannya adalah
mengkonsumsi heroin secara rutin untuk menghilangkan semua kemuakan yang
dirasakan.
Sudah dua bulan ini ia keluar masuk rehabilitasi,
tapi tak pernah kelihatan hasilnya.
Orang-orang
menganggapnya nyeleneh, aneh. Kadang ia menggonggong seperti anjing di
pelataran parkir mobil. Kadang ia tertawa keras, tanpa ada sebabnya. Tapi
kadang ia juga terlihat murung, diam dan menyendiri. Ia lebih kelihatan sebagai
seorang “gelandangan” daripada seorang “bintang besar”.
Kemarin
ia lari dari tempat rehabilitasi, dan orang-orang tidak ada yang tahu kemana
perginya.
Hingga
tiga hari kemudian, polisi menemukannya tewas dengan kepala tertembak, pistol
di tangan kiri, dan secarik kertas bertuliskan,”…you have raped me harder than you’ll ever know…”.
[2]
Jendela
kamar selalu tertutup, sehingga tak ada udara segar yang masuk. Cahaya matahari
pun masuk hanya lewat celah-celah yang ada di atas jendela. Pengap, sesak,
belum lagi asap rokok yang mengepul dari bibirnya. Tape deck butut lamat-lamat mengalunkan “Juwita
Malam”nya Ismail Marzuki dalam versi keroncong.
Ia
masih saja asyik menulis. Menulis apa saja, sajak, cerita atau hanya sekedar
coretan-coretan yang tak tentu rimbanya. Di depannya, segelas kopi pekat sisa
semalam yang tinggal separuh dan setangkup roti bakar dengan telur mata sapi di
tengahnya, menemaninya. Tumpukan kertas terletak di atas meja, dan beberapa
buku tampak tergeletak begitu saja di sudut kamar. Beberapa gumpalan kertas
tersebar di beberapa sudut dalam ruangan ini.
Sudah
beberapa minggu ini ia tinggal di kamar ini. Sendiri tanpa ada yang menemani.
Hanya kadang-kadang saja ada teman yang mengunjungi, itu pun hanya sebentar,
paling hanya untuk menengok keadaannya. Bahkan sudah hampir seminggu ini tak
ada teman yang mengunjungi.
Ia
terbatuk. Tubuhnya semakin kurus bila dibandingkan dengan keadaannya beberapa
bulan sebelumnya. Sekarang ini ia nampak kumuh dan penyakitan. Ia terbatuk
lagi, dan nafasnya mulai tersengal-sengal, penyakit yang menyerang paru-parunya
kambuh lagi. Ia terbatuk lagi, dan kali ini disertai dengan dahak yang keluar
dari mulutnya, berwarna hitam, kental dan ada sedikit bercak berwarna merah di
situ, merah darah.
Ia
masih belum menyerah. “Juwita Malam”
sudah masuk bagian reffrain. Di ambilnya roti, coba dimakannya, tapi
dimuntahkannya lagi sepotong roti yang tadi berhasil digigitnya. Cuh!, ia
muntahkan potongan roti ke bawah meja dekat kaki yang sebelah kanan.
Beberapa lama, ia masih asyik menulis. Masih
terbatuk. Dan mungkin karena kepayahan, ia nampak pulas tertelungkup di atas
kertas-kertas yang berserakan di meja.
Di atas ranjang, tergeletak satu eksemplar buku baru, masih bersegel plastik
dengan tulisan,”AKU, kumpulan sajak oleh Chairil”.
[3]
“…is everybody in? the ceremony is about to
begin!…1”
Musik
mengalun pelan. Ia duduk sambil menghisap rokok, dan di tangan kirinya memegang
sebotol vodka. Di depannya, sebuah layar televisi hitam putih 21 inci sedang
menampilkan rangkaian gambar-gambar dari pemutar video yang terletak di
atasnya.
Gambar-gambar
itu bercerita, tentang sekumpulan bocah-bocah yang sedang berpesta di acara
ulang tahun salah satu temannya, tentang seorang lelaki yang sedang
berjalan-jalan di pantai sambil membawa buku Jack Kerouac “On The Road”,
tentang sebuah band yang sedang mengadakan tour di sebuah kota besar di Amerika
bagian utara.
Suatu
hari ia dan bandnya sedang tour di suatu kota, ketika di panggung, pada saat menyanyikan lagu ketiga,
orang-orang melihatnya bernyanyi sambil berdansa dengan gaya yang aneh. Padahal
menurutnya, ia sedang bernyanyi dan berdansa dengan sekelompok orang-orang Apache
di sebuah ritual acara penyembahan yang dilakukan oleh suku tersebut.
Seteguk
vodka langsung dari botol meluncur ke perut melalui kerongkongan. Tubuhnya
sekarang telah berbeda dengan tubuhnya yang dulu. Kini, perutnya telah dilapisi
oleh tumpukan lemak yang membuat beberapa gelambir nampak menghiasi beberapa permukaan perutnya. Wajahnya pun kini
sudah tak klimis lagi, penuh dengan bulu yang dibiarkan memanjang tanpa pernah di cukur.
Gambar-gambar
masih bercerita. Menampilkan keabadian dalam istilahnya sendiri. Ia masih belum
beranjak dari tempatnya duduk. Masih dengan rokok di tangan kanan, dan vodka di
tangan kirinya. Di belakangnya, poster dirinya berpose seperti Jesus saat
disalibkan, menempel gagah di dinding kamarnya. Televisi menampilkan gambar
seorang perempuan muda berambut ikal-pirang sedang tertawa-tawa dan
menari-nari,”Ah, Pam, di mana sebenarnya
kau kini? Aku merindukanmu!”. Ia bergumam sendiri.
Berdiri,
meneguk lagi vodka dari botolnya. Memandang keluar ke arah bukit di sebelah
selatan kamarnya, tempat pemakaman para tokoh-tokoh besar,”Jika aku mati nanti, aku ingin dimakamkan di sana”, katanya pada
dirinya sendiri.
Berjalan
perlahan ke kamar mandi. Berbaring di bath tub, dengan rokok di tangan kanan dan vodka di tangan kiri. Memejamkan
mata. Mencoba menikmati segala kebekuan dan keabadian menurut caranya sendiri.
Ia tersenyum, seperti menjemput malaikat maut yang akan membawanya ke surga.
[4]
Aku merasa seperti berada di taman labirin. Aku tak
bisa menemukan jalan keluar. Semua buntu. Suntuk. Aku tersesat. Tak tahu harus
menentukan, cara apa yang akan kutempuh untuk menyongsong keabadian. Kematian.
1 Lirik lagu “Awake Ghost Songs” The Doors
No comments:
Post a Comment