Ibuk sudah pensiun delapan tahun yang lalu dari pekerjaannya yang dulu di sebuah kantor pemerintahan di kota kecil di pesisir Jawa Tengah.
Dengan uang pensiun yang diterimanya setiap awal bulan, ibuk harus pintar-pintar mengelola keuangannya, agar tidak selalu nombok atau tekor di akhir bulan. Pendapatan yang tidak seberapa itu selalu habis untuk kebutuhan sehari-hari; bayar listrik dan air, beli gas, beli sembako juga cicilan perumahan yang sekarang kami tempati. Belum lagi kalau ada undangan tetangga atau kerabat yang punya hajat, mau tidak mau harus mempersiapkan dana tambahan untuk amplopnya.
Keadaan yang demikian itu membuat ibuk berusaha mencari jalan lain untuk dapat menambah sedikit pemasukan bagi keluarga ini. Dan dengan keterampilannya yang sudah dikuasai sejak beliau masih smp, ibuk lalu mulai merajut. Ibuk membuat berbagai barang rajutan mulai dari dompet, tas hingga peci.
Awalnya barang-barang hasil rajutan itu hanya ditawarkan kepada kerabat atau kenalan ibuk saja, lalu lama kelamaan meluas menjadi ke banyak orang. Tidak pernah ada promosi khusus yang ibuk lakukan, hanya dari mulut ke mulut.
Dengan tekun dilakukannya kesibukan itu sepanjang hari. Bahkan karena lelahnya, kadang ibuk sampai tertidur di kursi sambil tangannya masih memegang rajutan yang belum selesai. Melihat hal seperti itu lantas menimbulkan rasa kasihan dari kami, anak-anaknya.
"Ibuk sudah sepuh. Sudah waktunya istirahat, menikmati hari tua sambil melihat cucu-cucu dengan bahagia. Ibuk mbok gak usah merajut lagi", kata Intan, anak bungsu ibuk.
Tapi apa jawab ibuk?
"Ibuk gak mau menyusahkan kalian. Biar ibuk lakukan apa yang bisa ibuk kerjakan untuk membantu meringankan beban kalian. Ibuk gak ingin menjadi benalu yang hanya bisa merepotkan kalian saja!", jawab ibuk tegas.
Kalau sudah begitu, ibuk kemudian diam dengan mata yang berkaca-kaca, lalu akan bilang, "Ibuk menyesal tidak bisa memberi kalian bekal hidup yang banyak, sehingga tidak perlu bersusah payah seperti sekarang. Biarlah ibuk terus merajut, semoga dengan ini ibuk bisa menebusnya".
Mendengar perkataan ibuk tersebut, kami lalu tertunduk menahan isak tangis yang hampir saja selalu gagal kami tahan. Dalam hati lalu kami berkata, "Maafkan kami ibuk, yang belum bisa membalas budi baik pengorbananmu. Maafkan kami yang belum bisa membahagiakanmu".
***
Sudah dua hari ini ibuk tidak merajut. Badannya demam dan tidak bisa beranjak dari tempat tidurnya. Intan harus mengambil cuti sampai 7 hari ke depan agar bisa leluasa merawat ibuk.
"Kamu tidak usah khawatir, ibuk baik-baik saja. Mungkin ibuk lelah, hanya butuh istirahat saja. Mana anak-anakmu, Yusuf dan Kamila? Ibuk rindu ingin memeluk mereka", kata ibuk sambil tersenyum.
"Mereka ada di depan buk, sedang mainan sama anaknya mas Putra. Nanti setelah mandi biar mereka menemani ibuk di sini"
"Buk, maafkan kami yang belum bisa membahagiakan ibuk di hari-hari yang seharusnya ibuk sudah menikmati buah dari benih yang ibuk tanam. Maafkan kami yang masih saja selalu menyusahkan ibuk dan juga bapak", lanjut Intan sambil meneteskan air matanya.
"Sudah, gak usah dipikirkan. Kalian tidak usah khawatir soal ibuk. Ibuk ikhlas merawat kalian", jawab ibuk sambil tersenyum.
***