27.1.12

perempuan di atas bukit

perempuan di atas bukit
mata terpejam tengadah ke langit
gumam terdengar dari bibirnya
keluh kesah dan doadoa

“o, wahai
kembalikanlah hidup hamba
yang terampas oleh penguasa
yang terhempas ke dasar samudra
o, wahai
kemana lagi hamba harus mencari
setelah semua milik habis dicuri
orangorang pintar yang membodohi”

tangan terangkat
mata terpejam rapat
segaris air mengalir di pipi
berserah pasrahkan diri

cukup, sementara sampai di sini

sebelum lelap datang menyergap, apakah kau mendengar suaraku? berabad perjalanan, perputaran waktu yang berlangsung begitu cepat. hidup mati, siang malam. entah, ini sebuah kutukan atau kebetulan semata. tak perlu bertanya, kenapa dunia penuh sesak dengan orangorang gila. nikmati saja, sebuah sketsa yang diberikan oleh anakanak kita, dan jangan membalasnya dengan tamparan. jauhkan saja mereka dari televisi, sebab tuhan telah terbunuh karenanya. cukup, sementara sampai di sini

jangan menangis

sepertinya hari sudah selesai bagiku. tak kau dengarkah nyanyi gagak yang mengabarkan akan datangnya berita kehilangan? aku, aku telah kehilangan jiwaku; yang selalu muda saat bersamamu, yang tak pernah habis gairah denganmu. sebentar lagi, akan berakhir semua itu. getir dan manis yang kita hisap, adalah upah atas apa yang telah kita perbuat. jangan menangis, relakan saja kepergianku, mungkin ini yang terbaik, untuk kita. tersenyumlah, hanya itu yang ingin kulihat di wajahmu, bukan airmata yang mengalir. percayalah, kau akan selalu di hatiku. izinkan kutinggalkan semua di sini. cukuplah aku tahu, bahwa kau mencintaiku. selamat tinggal, dan kelak pasti kita akan bertemu lagi

sehabis hujan

langit cerah
hilang kabut
udara basah
air (me)nyusut


kegairahan semula redup
: kembali hidup

tentang kota yang kepadanya aku selalu kembali

pagi yang basah,
nyanyian katak mengalun dari persawahan di belakang rumah
petani mulai menyemai benih padi mereka,
dan berharap hasil panen akan melimpah nantinya

lalu sekumpulan anak-anak bertelanjang dada dan kaki,
berjalan berbaris di atas pematang menuju ke kali
keriaan yang terpancar di wajah mereka,
melebihi sebungkus jajanan pasar oleh-oleh dari ibunya

kisah masa kecil kami,
adalah perjalanan yang tak akan terlupa sampai nanti
meski kini tak bersama-sama lagi,
tapi selalu saja rasa rindu menyesaki dada ini

berpuluh tahun sudah berlalu,
kota ini telah jauh berbeda daripada dahulu
tanah yang lapang menghampar luasnya,
berganti bangunan-bangunan megah di atasnya
stasiun kereta  tempat kami sering bermain dan bercanda,
kini sudah menjadi terminal angkutan kota
hutan dan gunung yang ramai dengan kicau burung-burung
kini menjadi reruntuhan dan batu-batu yang berwajah murung

sudah begitu banyak yang berubah,
namun orang-orang masih saja ramah
atau mungkin menyembunyikan amarah,
dari penguasa yang serupa penjarah