3.8.13

Semacam Catatan: Lelaki Yang Tak Henti Menandai




LELAKI YANG TAK HENTI MENANDAI


Oleh Allief Zam Billah
 
Perkenalan kami lebih dalam dari yang diketahui siapapun. Namun sejauh ini sejujurnya aku tak mengenalnya kecuali sebagai Lelaki yang tak henti menandai. Sepanjang perjalanan yang ia tempuh adalah deretan puisi. Tidak pula pada sebuah pemberhentian kecuali di sana akan terparkir kata-kata.

Yudhie Yarcho, bersamanya kami sama-sama tak lelah berdiskusi tentang Negeri Rembulan bersama sang penarinya, Eyang Hardho Sayoko, seorang penyair gaek asal negeri rembulan, Ngawi. Semangat beliau untuk terus berpuisi menginspirasi kami untuk mengikuti jejaknya.

Oleh karenanya, aku melihat sang penulisnya menandai setiap jejaknya. Lelaki ini tak pernah henti menandai setiap jengkal perjalanan yang dilaluinya. Karenanya hampir tidak ada yang terlewatkan dari setiap waktu dan tempat yang dia singgah di sana.

Serupa Album Foto yang dia tuliskan. "Album foto yang berdebu, melambai memanggil untuk membukanya," demikian sepenggal kalimat yang dia tuliskan. Maka ini pun merangkum waktu yang dia lewatkan menjadi semacam album. Kelak menjadi inspirasi bagi siapa saja yang meneguhkan hatinya untuk meniti perjalanan.

Aku ingat pada suatu malam saat bercengkerama di sebelah TPK Sale dia berujar bahwa waktu akan berlalu begitu saja namun puisi akan tetap abadi. Maka dengan puisi itu pula kita akan ikut dalam keabadian kenangan. Tinggal menelisik kembali pada lembaran lembaran yang abadi terbukukan.

"Perlahan kau petik sitar tua di hadapanmu. Lalu kau berkata padaku, berpuisilah sekehendakmu. Bernyanyilah seperti adanya dirimu," bait ini tentu bagiku serupa putaran film dokumenter dan kita sebagai pelakunya. Saat membacanya seperti terdengar kembali dengan jelas petikan-petikan sitar yang kita mainkan malam itu. Melengkapkan percakapan yang tak usai hingga suara adzan menyadarkan kita bahwa waktu telah benar-benar pagi.

Energinya untuk menandai memang luar biasa. Tak peduli apapun hasil dari tanda yang berupa jejak sajak tersebut. Kita selalu bersepakat untuk tidak lagi peduli dengan beragam cibiran. "Baik buruknya terserah mereka saja. Siapapun berhak menilai tapi aku juga bebas menentukan bahasa," katamu suatu waktu.

Aku tak hendak berbicara apapun kecuali menikmati kebersamaan yang terlewatkan pada sebuah perjalanan. Jangan ada sejengkalpun yang terlewatkan tanpa mengabadikan. Tidak banyak yang memiliki kesempatan untuk mengabadikan setiap jengkal perkataan, setiap jejak perjalanan.

Buku ini akan menjadi kitab suci, mengukur jejak lintasan bathin yang terlewatkan dalam kesiaan atau harapan yang ditumbuh suburkan oleh himmah, cita-cita luhur sebagai musafir. Sekali kita menapakkan kaki di bumi manusia ini, bukankah mulai saat itu juga kita telah ditahbiskan sebagai pejalan.

Hanya menunggu waktu saja yang akan menjadi jawaban dari semuanya. Kelak akan sampai pada tujuan akhir dengan gemilang atau sekedar pelalu lalang biasa yang menghabiskan bekal dalam perjalanan. Atau akan menjadi anak pipit yang tersesat di belukar karena terlalu asyik bermain.

Menawarkan sejumlah opsi dari berbagai pilihan hidup dan juga ada tanda-tanda di dalamnya. Maka membaca buku ini membuat kita kembali merenung sudah seberapa jauh perjalanan yang kita tempuh. Seberapa banyak waktu yang terbuang percuma begitu saja. Yang kembali mengaduk rasa kita untuk jujur terhadap diri sendiri. Melihat kembali kebodohan dan kekonyolan kita sebagai manusia.

Ada banyak hal yang seharusnya kita lakukan namun pada kenyataanya sangat banyak pula yang terbiarkan begitu saja dengan percuma. Jika membaca sajak-sajak ini adalah sebuah pemberhentian sementara, maka menyisir setiap katanya menjadi semacam pengingat bahwa kita tidak sedang bermain-main saja. Ada hal penting yang harus kita lakukan sebagai manusia pada sebuah perjalanan.

*) Allief Zam Billah, lahir dan tinggal di Rembang. Menulis esai, gurit, cerpen dan puisi. Tulisannya termuat di media cetak dan online: Suara Merdeka, dll. Antologi bersama: Kumpulan Puisi Laut dan Gunung (Gentong Miring, 2012), Semacam Kado Pernikahan (Insomniakronika, 2013). Bergiat di Kethek Ogleng Baca Puisi. Selain menulis, juga melukis.  Sekarang sebagai wartawan dan penyiar di MataAir Radio Rembang

No comments:

Post a Comment