8.8.13

Suatu Hari di Denting Sitarmu



Saat aku melarikan motor bututku ke Rembang, hari sudah mulai gelap. Matahari di punggungku sedang beranjak tenggelam. Burung-burung terbang pulang, setelah seharian melanglang jagad, menempuh kehidupan. Tujuanku kali ini, selain pulang menengok keadaan bapak dan ibu di kampung, juga untuk menemui seorang teman.

Seorang teman? Bisa dikatakan demikian. Meski aku baru sekali bertemu dengannya, tapi setidaknya kami sudah berkomunikasi melalui jejaring sosial. Dan sepertinya ada beberapa kesamaan minat yang membuat kami berdua nyambung.

Setiba di rumah bapak, aku langsung mandi. Air bak berwarna kuning tanah. Di musim kemarau seperti sekarang ini, guna memenuhi kebutuhan air untuk mandi atau masak, bapak terpaksa membeli. Karena aliran dari PAM sudah tidak bisa diharapkan lagi.

***

Di samping TPK, di situlah letak rumah temanku. Sebut saja namanya, Al. Aku tidak begitu tahu kepanjangannya, dan aku tidak tertarik untuk mengetahuinya. Tujuanku ke rumahnya, selain silaturahmi juga untuk berbincang dengannya. Tentang silahturahmi itu, kata orang bisa memperpanjang umur dan mendekatkan rejeki.

"Hidup semakin sulit. Mau apa-apa langsung dicurigai. Rakyat kecil selalu dibodohi", katanya tentang situasi yang ada, sambil memainkan sitar tua pemberian seorang seniman sepuh di desanya.

"Beberapa waktu lalu, setiap kali aku bepergian dan melewati baliho bergambar wajahnya, aku langsung menghentikan motorku. Kuhampiri baliho itu, kumaki-maki, bahkan tak jarang kuludahi, untuk melepaskan unek-unek dan perasaanku. Tapi lama-lama kupikir, aku malah mirip dengan orang gila", sambungnya.

Aku hanya diam, menyimak setiap tutur katanya, sambil sesekali menatap matanya. Rokok putih tanpa cukai, dan kopi hitam di hadapan kami berdua.

"Apakah kau perhatikan sewaktu kau lewat tadi? Pohon-pohon asem besar yang tadinya ada di pinggir jalan, sekarang sudah habis ditebang. Menjadi panas, tak bersahabat, bukan?", tanyanya

Aku hanya mengangguk, mengiyakan saja. Al masih memetik sitarnya, dan sesekali menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Wajahnya terlihat lelah, tapi sorot matanya seakan menentang kelelahan itu.

"Mungkin benar, kata seorang pintar, bahwa kekuasaan itu cenderung korup. Semena-mena, sewenang-wenang. Merasa berhak mengatur segalanya, merasa paling benar sendiri", sungutnya.

"Kau tahu, sebentar lagi gunung-gunung di daerah sini akan rata dengan tanah. Akan ada industri besar yang berdiri. Aku khawatir, para petani dan masyarakat akan semakin kesulitan air", sambungnya, “Sepertinya penguasa lebih berpihak kepada para pemilik modal ketimbang warganya sendiri. Padahal sewaktu pemilihan dulu, selalu berkoar akan bekerja demi dan untuk rakyat. Nyatanya apa? Gombal mukiyo, omong kosong!”.

Aku lalu teringat dengan berita di sebuah surat kabar lokal yang kubaca, tentang adanya penentangan dari warga yang tinggal di lokasi yang rencananya akan didirikan sebuah pabrik semen yang sudah mendapat ijin dari penguasa setempat, bahkan sudah mendapat rekomendasi lingkungan. Akan tetapi ketika dari pihak warga berusaha meminta klarifikasi dan informasi terkait hal tersebut, bukan kejelasan yang diterima tetapi malah intimidasi.

“Apakah yang kau maksud, seperti yang ada di surat kabar beberapa waktu lalu?,” tanyaku.

“Ya, bahkan yang paling parah, pihak pengusaha sudah berusaha mempengaruhi warga dengan memberikan bantuan sembako, dan ternyata beras dan mie instan yang dibagikan tersebut sudah kadaluarsa dan tidak layak dikonsumsi. Mereka anggap apa warga kami ini? Kami tak ingin mewarisi anak cucu kami dengan begitu sengsaranya penderitaan akibat kekurangan air sebagai sumber penghidupan kami sehari-hari”, jawabnya.

Suara sitar sudah beberapa menit yang lalu terhenti, karena salah satu senarnya terputus. Al masih menghisap rokoknya, dan pandangannya menerawang ke langit. Mungkin merenungkan nasib diri, nasib orang dan tanah yang dibelanya.

Aku hanya terdiam, dan beberapa saat kemudian pamit pulang.

***

Tut, tut, tut, telepon genggamku berbunyi, ada pesan masuk, dari Al.

“Apakabarmu, kawan? Tolong doakan kami agar sabar dan kuat menjaga tanah dan air sebagai sumber penghidupan warga di sini. Suwun”

Ya, jawab suara batinku. Sebab tanpa sepengetahuannya, sebenarnya dalam setiap doaku selalu kusampaikan pengharapan agar Al dan kawan-kawan tetap sabar dan diberi kekuatan untuk melakukan hal yang diyakininya.

Jepara-Sulang, 2013

No comments:

Post a Comment