Kubuka
sebuah buku. Seperti
malam-malam sebelumnya, malam ini pun kulalui dengan membaca buku. Sejak
beberapa bulan yang lalu, tepatnya kapan aku tidak tahu, aku selalu susah
tidur. Aku hanya bisa memejamkan mataku selama dua sampai tiga jam saja setiap
harinya. Jadi, aku menghabiskan malam-malamku dengan membaca.
Di lembar-lembar buku yang kubaca, ternyata tidak
hanya terdapat deretan huruf-huruf yang terangkai menjadi kata. Tapi juga
terdapat bayangan-bayangan yang seolah nyata. Yang entah tercipta karena begitu
indahnya narasi sang pengarang atau hanya karena imajinasiku belaka. Aku tidak
tahu. Seperti yang kualami, saat ini.
Aku melihat seorang laki-laki yang bercelana jeans
dan kemeja flanel dengan t-shirt putih di lapisan dalamnya, berada di tengah-tengah
lingkaran yang tersusun atas beberapa buah lilin yang menyala. Laki-laki itu
kemudian memasukkan ujung laras pistolnya ke dalam mulutnya sendiri, dan
menembakkannya dengan tangan kiri. Lalu
tubuh laki-laki, yang ternyata kidal itu, tergeletak tepat di tengah-tengah
lingkaran dengan kepala pecah dan tak bernyawa. Mati! Kemudian media
memberitakan bahwa mayat laki-laki itu ditemukan setelah tiga hari meninggal.
Kubalik
lembar halaman berikutnya. Dan adegan yang terdapat di lembar itu pun berubah.
Berbeda.
Adam
dan Hawa berlari berkejaran di sebuah taman. Eden. Firdaus. Mereka berdua
telanjang. Tanpa busana. Hawa meminta kepada Adam untuk mengambilkan sebuah
apel merah yang ada pada sebuah pohon di taman itu, untuknya. Adam lalu
mengambil apel itu dan memberikannya kepada sang kekasih, Hawa. Mereka berdua
menggigit dan memakan apel itu. Sebagian-sebagian.
Sepasang
kekasih itu lalu berpelukan. Menjadi satu. Satu tubuh. Setubuh. Dan tidak sadar
bahwa ada sepasang mata yang mengamati di sebalik dedaunan. Entah mata siapa.
Setan atau Tuhan.
Aku
melirik weker di meja, masih jam dua dini hari. Acara tv sudah tidak ada yang
menarik lagi. Aku memilih channel yang menayangkan sebuah siaran langsung
pertandingan sepak bola. Entah, siapa melawan siapa. Aku tidak begitu
memperhatikan. Aku hanya berpikir, kenapa orang-orang itu begitu bodoh
berlarian ke sana ke mari hanya untuk mengejar dan memperebutkan sebuah bola.
Dan yang lebih aku herankan lagi, kenapa mereka tampak begitu menikmatinya. Siapa yang bodoh? Mereka atau aku? Atau para penontonnya?
Aku merindukan Niko. Sudah beberapa hari ini, dia
tidak kelihatan. Menghilang. Atau mungkin bertapa, seperti kebiasaannya jika
sedang mencari inspirasi untuk lukisan atau puisi-puisinya.
Niko
benar-benar seorang artis. Seniman. Selain melukis, ia juga menulis puisi dan
novel. Bahkan ia pernah pula bermain teater. Aku mengenalnya ketika masih di
kampus dulu. Waktu itu aku melihatnya pada sebuah pementasan teater. Di pentas
yang berjudul “Romeo and Juliet” itu, Niko berperan sebagai Juliet. Sungguh, aku begitu terpesona dengan aktingnya.
Sejak itu kami selalu ke mana-mana berdua. Pada awalnya
aku hanya merasa ia adalah seorang teman sekaligus sahabat yang baik. Dan aku
merasa nyaman bersamanya. Tapi tanpa sadar, lama-kelamaan aku merasa ada
sesuatu yang berbeda ketika aku bersamanya. Hingga akhirnya aku menyadari kalau
aku mencintainya. Dan, kami adalah sepasang kekasih!
Mungkin bukan Niko sebenarnya yang kurindukan. Tapi
yang tidak bisa kulupakan adalah sentuhan, belaian dan kecupan-kecupan Niko. Di
seluruh tubuhku. Memikirkan Niko, tanpa sadar membuat tanganku bermain-main di
sela-sela kedua pahaku. Sial! Kenapa aku begitu terobsesi dengannya?!
Sudah semakin akut saja insomnia ini. Kalau
beberapa bulan lalu aku masih bisa tidur empat atau lima jam sehari, sekarang
tidak. Saat-saat ini, aku hanya bisa tidur paling banyak hanya sekitar dua atau
tiga jam saja sehari. Dan untuk
menghabiskan malam, aku biasa melahap berbagai macam bacaan. Apa saja. Novel
atau buku-buku filsafat. Bahkan stensilan.
Malam ini, aku baru saja menyelesaikan sebuah bab
dalam “Misteri Soliter” yang di beri judul “Pangeran Keriting”. Aku tidak
begitu mengerti apa yang diceritakan Jostein di buku ini. Aku tidak begitu
peduli apa isi buku ini. Juga buku-buku yang pernah atau sedang kubaca. Karena
yang kulakukan adalah hanya membaca, membaca, dan membaca.
Aku melihat Adam dan Hawa. Mereka tampak terkejut,
begitu tersadar dari apa yang telah mereka lakukan tadi. Adam hanya terdiam
sambil memandang Hawa, sementara Hawa hanya menunduk. Adam berpikir, apa nanti
yang akan dijadikan alasan jika Ia tahu?
Adegan
Adam dan Hawa yang sedang termenung di taman tadi perlahan-lahan memudar.
Berganti warna. Menjadi gambar dengan dua orang model yang berpose seperti Adam
dan Hawa di taman Eden. Telanjang. Tanpa busana. Lalu, sekelompok orang berpakaian putih-putih
dengan berbagai macam poster berisi tulisan yang menentang segala bentuk
pornografi, melakukan demo yang mengecam pemuatan gambar itu di sebuah pameran.
Aku semakin tidak bisa memahami buku ini. Yang
kulakukan hanya membaca, tanpa harus tahu apa isi buku yang sedang kubaca ini.
Pokoknya membaca. Itu saja. Jadi aku tidak begitu heran ketika mataku masih
terpaku pada deretan huruf-huruf di buku ini, tapi pikiranku melayang-layang
jauh, entah kemana. Termasuk ketika aku ingat Niko.
Dimana kau sekarang, Nik? Aku merindukanmu. Dan
juga belaianmu. Tanganku kembali bermain-main, kali ini di payudara yang
menggantung di dadaku.
Image by G.C. from Pixabay |
^^
“What
A Wonderfull World”nya Louis Armstrong berbunyi. Nada panggil di ponselku berbunyi, segera kuangkat.
“Bean! Kapan kamu akan ke kantor?”, tanya suara di
seberang sana yang ternyata adalah Frances, partnerku di LSM yang kami kelola
bersama.
“Cepetan!
Kita ada meeting dengan relasi! Kalau bukan pendiri LSM ini, sudah kupecat
kau!”.
Gerutuan
Frances tentang kebiasaanku sudah tak terdengar lagi. Seperti biasa, aku telat lagi. Kulirik weker di meja, sudah jam sembilan kurang
lima belas menit. Gawat! Sudah telat
lima belas menit dari jadwal meeting hari ini.
Tanpa
sempat mandi, hanya cuci muka dan gosok gigi, serta menyemprotkan deodoran
seperlunya ke tubuhku, aku berangkat. Sambil
tak lupa membawa sebungkus kretek.[]