I
[Aku jatuh cinta, lagi!]
Aku, Kurdt dan Niko berada di
studio 54, salah satu café paling ngetop di kota ini. Kebetulan saat itu lagi
diadakan suatu acara, jadi tak heran kalau suasana di dalam café itu begitu
ramai dan penuh sesak dengan para pengunjung yang berjubel.
Aroma alkohol begitu menusuk
hidung, belum lagi ditambah dengan asap-asap rokok yang saling berebut untuk
masuk ke paru-paru lebih dulu.
Di panggung, tiga orang penari
striptease sedang berlenggak-lenggok menunjukkan keseksiannya, di depan mata
telanjang pengunjung café yang sebagian besar adalah anak muda berusia belasan.
Sementara
itu, DJ terlihat asyik sendiri meramu musik dari Prodigy dan The Chemical
Brothers.
Kurdt dan Niko sudah melantai
sedari tadi. Aku masih bengong sendiri. Sementara malam belum begitu larut,
para penari tadi mulai mencopoti satu per satu busana yang mereka kenakan.
Kuhisap rokok dan kuhembuskan asapnya ke udara. Kuedarkan pandangan berkeliling
sambil berharap dapat menemukan seseorang yang kukenal.
Masih kuedarkan pandangan mataku
ke sekeliling ruangan. Kurdt dan Niko tampak asyik berjoget. Para penari tadi
sekarang tinggal mengenakan celana dalam dan penutup dada saja. Dan entah apa
sebabnya, di sudut sebelah timur terjadi sedikit keributan. Aku tak peduli.
Ketika pandanganku sampai di sudut
sebelah selatan panggung, mataku terpaku pada sosok perempuan yang sepertinya
pernah aku kenal, tapi aku lupa. Aku masih terus memandanginya
sambil berusaha untuk mengingat-ingat siapa dia.
Duduk
bersama tiga temannya, mereka asyik memperhatikan para penari striptease di
stage. Seperti ada yang mempengaruhi, dia menengok ke arahku. Pandangan kami
bertemu. Ia tersenyum, lalu berdiri dan berjalan ke arahku.
“Hai,
sendirian?”, tanyanya.
“Gak kok. Bersama teman, tapi
mereka lagi asyik melantai”.
“Lupa ya sama aku?”.
“Mmm, maaf, iya”, sahutku.
“Ingat gadis kecil berambut merah
yang bernyanyi di atas panggung pada suatu acara ulang tahun, sekitar 7 tahun
yang lalu? Ingat gak?”.
[Ah,
ternyata dia adalah gadis kecil berambut merah itu. Pantas kalau aku merasa seperti pernah mengenalnya.]
Image by Ady Setiawan from Pixabay |
II
Namanya
Frances Bean, tapi aku sering memanggilnya Bean. Pertama kali bertemu dengannya
ketika acara ulang tahun salah satu sepupuku. Waktu itu dia masih berumur 13
tahun.
Bean
tinggal beberapa blok dari apartemen yang kutinggali. Ia tinggal sendiri.
Ayahnya yang seorang diplomat sekarang bertugas di Paris. Sedangkan kakak
perempuannya sudah menikah dan tinggal bersama suaminya di Medan.
[Desember
13, Jam 19.45 Wib, Apartemen Bean]
“Mau minum apa?”
“Apa aja deh”.
Kuedarkan
pandangan ke seluruh ruangan apartemennya. Apartemen yang bersih dan rapi. Di
rak ada buku-buku filsafat yang berjejer rapi. Juga ada koleksi CD lagu-lagu
tahun 70-an. Di dinding terpajang beberapa buah lukisan dan satu potret hitam
putih sebuah keluarga.
“Nih,
masih suka kopi kan?”, tanyanya, sambil menyodorkan secangkir kopi padaku.
“Ya,
apa ada yang lebih nikmat dari secangkir kopi?”, kataku balik bertanya.
Bean
tidak menjawab, hanya tersenyum. Dan itu sudah cukup bagiku.
“Itu
lukisan siapa?”, tanyaku sambil menunjuk ke salah satu lukisan.
“Lukisanku sendiri. Dari kecil aku
suka melukis. Aku suka Picasso”.
“Oh”.
Sementara
CD player mengalunkan “What A Wonderful World”nya Louis Armstrong, kami masih
terus berbincang tentang banyak hal. Tentang Nietzsche, Picasso, puisi, film
atau musik. Tentang dunia politik di negeri ini. Juga tentang rencana-rencananya.
Sebenarnya sejak pertama jumpa,
aku sudah menyimpan rasa suka padanya. Tapi pada saat itu aku melihatnya masih
terlalu kecil, di samping jarak usiaku yang terpaut cukup jauh dengannya,
sekitar sepuluh tahun. Ya, sepuluh tahun, jarak usia yang memang cukup jauh.
III
“Bantu aku meyakinkan diriku,
bahwa pilihanku tinggal bersamamu adalah pilihan yang tepat”, katanya, ketika
dia sedang berada dalam kebimbangan menentukan pilihan antara melanjutkan
kuliahnya ke Paris atau tetap tinggal di sini.
“Kau tahu, aku tidak punya
apa-apa. Aku hanyalah seorang penulis. Kau tahu sendiri berapa uang yang bisa
didapat dari satu tulisan.”, aku balik bertanya padanya.
“Tapi, kita punya cinta. Bukankah
itu lebih dari cukup untuk kita? Untuk soal-soal yang lain, kita
bisa pikirkan bersama. Nanti!”.
“Kau
rela mengorbankan semua impian-impianmu selama ini?”.
“Aku
tidak akan mengorbankan impianku, karena impianku adalah bersamamu. Itu saja!”, katamu tegas.
“Baiklah, kalau itu yang kau
inginkan. Dan asal kau tahu, sebenarnya aku juga ingin selalu bersamamu”.
Aku dan Bean masih bersama,
merajut mimpi bersama. Bean masih tetap melukis dan
mencoba menggapai impiannya yang lain dengan cara yang berbeda. Aku juga masih
terus menulis, meski tidak terlalu produktif menghasilkan tulisan.
Aku
dan Bean mencoba bertahan meski berbagai masalah menghadang. Dan mungkin dengan
cinta yang merekatkan, akan bisa meringankan beban yang kami sandang, meski tidak
tahu sampai kapan perahu ini akan bertahan, tak akan tenggelam.[]