9.8.18

Usai Menonton Teater

tak ada engkau di antara semua
ketika lakon tentangmu usai diperankan
dan rasa rindu yang meringkusnya.

ada rindu yang tak terkirakan
ketika tentangmu semua puisi dituliskan
dan peran yang mesti dimainkan.

Tak Lagi Peduli

tak lagi peduli aku 
pada semua yang mereka omongkan 
karena aku sedang mencoba 
untuk lebih menyayanginya. 

tak lagi peduli aku 
pada semua yang mereka lakukan 
karena aku sedang mencoba 
untuk lebih mencintainya.

dalam setiap nafas hidupku 
hanya satu tertuju selalu di sisinya 
dalam setiap lembar hariku 
hanya satu tertuju selalu bersamanya. 

tak lagi peduli aku 
pada semua yang mereka bicarakan 
karena memang mereka tak tahu 
begitu sangat aku mencintainya

4.5.18

Tentang Yayasan Lembayung


Berikut sekilas tentang Yayasan Lembayung sebagaimana dikutip dari apa yang disampaikan oleh Winahyu Widayati (Pendiri sekaligus Ketua Yayasan Lembayung Kalinyamatan) tentang awal mula dan sejarah berdirinya Yayasan Lembayung. Silakan disimak.

Ide membuat rekor MURI yang digelar oleh Lembayung Production pada tahun 2004 adalah hasil bincang-bincang mas Nur Hidayat, Rini dan saya. Singkat cerita, kala itu kami ditantang mas Nur untuk membuat rekor muri, guna meramaikan pasar kerajinan yang waktu itu mas Nur, dkk yang dipasrahi untuk mengelola. Kemudian terbentuklah nama Lembayung Production sebagai bendera/ EO yang akan kita pakai untuk mengusung rekor MURI yang berkaitan dengan lampion/ impes.

Nama Lembayung sendiri adalah hasil kesepakatan saya dan Rini. Berdua kami berdiskusi bahkan berantem karena mempertahankan ide masing-masing tentang bentuk acara, hingga menjadi sebuah proposal. Dalam prosesnya kami dibantu oleh Solikhul Huda dan kawan-kawan dari Sanggar Kreatif, juga kawan-kawan yang tinggal di sekitar Kalinyamatan. Alkhamdulillah, rekor MURI bisa kami buat dengan dukungan penuh dari Pemkab Jepara yang waktu itu bupatinya masih pak Hendro Martojo, dan warga Kalinyamatan sebagai arak-arakan pembawa lampion terpanjang. Peserta arak-arakan mencapai 3.000 orang lebih pada waktu itu.

Tahun berikutnya, karena tidak mungkin lagi menggelar rekor MURI, kami menggelar pesta baratan, dengan iring-iringan Ratu Kalinyamat dan dayang-dayang (yang merupakan ide dari ibu Dyah Hadaning, seorang seniman wanita dari Jepara yang tinggal di Bogor), dengan di belakangnya diikuti oleh anak-anak pembawa lampion/ impes perwakilan dari desa-desa di Kalinyamatan. Alkhamdulillah, Pesta Baratan dapat terus berlangsung setiap tahun hingga tahun ini. Pesta Baratan vakum tidak digelar hanya 2 kali, yakni tahun 2009, karena saya harus mempersiapkan pernikahan saya yang waktunya juga di bulan Sya'ban dan tahun 2012.

Demikian penjelasan saya, selaku ketua dan pendiri Yayasan Lembayung Kalinyamatan, semoga bisa meluruskan kesimpangsiuran yang terjadi, dan semoga pihak-pihak yang mengklaim dirinya sebagai pelopor atau pembuat sejarah yang kaitannya dengan Lembayung dan Pesta Baratannya, bisa legowo dengan sejarah yang tidak mungkin diubah. Mohon bantu share agar sampai ke pihak-pihak yang belum paham sejarah Lembayung.

Kita berkarya, maka kita ada.

Ttd.

Winahyu Widayati





3.5.18

Pesta Baratan 2018



Ratu Kalinyamat dan para Dayang
Pesta Baratan yang merupakan sebuah acara budaya adaptasi dari tradisi Baratan yang biasanya dilaksanakan menjelang bulan Ramadhan tiba, tepatnya pada saat Nisfu Syakban, dan diselenggarakan oleh Yayasan Lembayung Kalinyamatan.

Rangkaian acara dimulai dari diadakannya lomba lampion pada hari Sabtu tanggal 28 April 2018, yang juaranya akan diikut sertakan pada pawai/ karnaval yang dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 29 April 2018.

Dua bulan sebelum pelaksanaan Pesta Baratan pihak penyelenggara sudah melakukan proses audisi untuk setiap peran yang dilakonkan, karena di puncak acara ada pergelaran teatrikal penobatan Ratu Kalinyamat.

Dengan segala keterbatasan dan tantangan yang dihadapi akhirnya Pesta Baratan dapat terselenggara, dan dapat dikatakan sukses jika yang dijadikan ukuran adalah jumlah orang yang dating dan menyaksikan, atau bahkan dari jumlah sorotan (baik berupa dukungan maupun cibiran) terkait pelaksanaan Pesta Baratan 2018.

Ada beberapa hal yang banyak sekali bersliweran di lini masa media sosial terkait Pesta Baratan 2018, diantaranya adalah;

1.  Lokasi Acara

Pada tahun ini Pesta Baratan mengambil rute mulai dari Masjid Al Makmur Kriyan dan berakhir di Lapangan Desa Banyuputih.

Tentunya hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan dari para penonton yang hadir, yang mungkin juga banyak yang menelan kekecewaan karena merasa kecelik sudah standby di lokasi yang diharapkan ternyata malah tidak dilalui.

Pihak penyelenggara sudah berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait , utamanya dari kepolisian, namun pihak kepolisian bersikukuh untuk tidak memberikan ijin arak-arakan melewati jalan raya utama guna menghindari kemacetan. Pihak penyelenggara mematuhi arahan tersebut agar Pesta Baratan tetap dapat berlangsung, meski penyelenggara paham pasti ada konsekuensi yang akan diterima dengan adanya pengalihan rute tersebut. Termasuk hujatan dan cibiran.

2. Penampilan Ratu Kalinyamat

Penggunaan aksesoris yang berbau Sunda mengundang cibiran dan nyinyiran bahkan dari mantan pemeran Ratu Kalinyamat pada edisi sebelumnya. Ok, anggap itu kecelakaan kecil yang dilaksanakan penyelenggara karena minimnya referensi akan tetapi tidak bijak rasanya hanya menyebarkan cibiran dan hujatan tanpa memberikan rekomendari atau solusi. Saya kira penyelenggara akan sangat terbuka dengan segala macam ajakan diskusi tentang sosok Ratu Kalinyamat, apalagi jika disertai referensi yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Mari belajar besama. Kapan?

Ratu Kalinyamat berjilbab? Kenapa tidak. Apakah ada yang bisa memberi referensi gaya berpakaian seperti apa yang dikenakan oleh Ratu Kalinyamat? Lantas jika jilbab dipermasalahkan, apakah ada batasan dan larangan untuk seorang yang konsisten dengan jilbabnya untuk menjadi pemeran Ratu Kalinyamat?

Ada banyak hal yang perlu diperbaiki, untuk itu segala macam hujatan dan cibiran tidak akan menyelesaikan masalah. Bangun komunikasi, buka referensi, jangan takut belajar. Sukses untuk semua.

Tari Lampion
Salah satu peserta arak-arakan
Antusiasme penonton di depan panggung
Ritual di Masjid Al Makmur
tentang Yayasan Lembayung bisa dibaca di sini
*) Hakcipta foto milik Panitia

8.2.18

Catatan Perjalanan



[Di Gereja]
Mobil-mobil mewah berjajar rapi di halaman gereja, satu-satunya tempat ibadah yang kutemui di sini. Misa sore ini penuh sesak dengan para jemaat. Ayah ibu beserta anak-anaknya, kekasih-kekasih dan orang-orang lainnya. Aku duduk di barisan kursi paling belakang. Ujung sebelah kiri.

Kutbah dimulai, aku mulai mengantuk dan tertidur. Seperti ketika aku mengikuti acara-acara sejenis di masjid, pura atau vihara. Ritual yang sama, nama yang berbeda.

Aku tidak mendengar apa-apa, aku tidak tahu apa-apa. Terakhir yang sempat kuingat sebelum aku terlelap, hanya kata-kata si pengkutbah, yaitu “dia datang membawa kabar keselamatan”.

[Di Pusat Kota]
Berjalan di jam-jam sibuk, pengunjung tampak ramai memadati pusat perbelanjaan, café, resto, juga taman. Masuk ke café, aku merasa seperti dilemparkan kembali ke masa-masa lampau. Waktu yang membeku. Memori yang bisu.

Keriput di langit-langit café ini menyiratkan begitu lama kau dan aku menapaki perjalanan ini. Begitu juga dengan rekahan yang tampak di dindingnya. Akankah mengisyaratkan akhir dari cerita ini?

Aku berlama-lama tenggelam dalam keharuman kopi, sambil terus berusaha mengulang kembali memori tentangmu. Tapi, tak pernah bisa. Ada tabir yang menyelimuti. Seperti potret muram dalam pigura berdebu, di sudut café ini.
Dini hari, belum subuh. Udara masih menyisakan malam. Di jalan, tampak genangan air di beberapa tempat, bekas hujan. Jalan masih sepi, toko-toko masih belum bangun berdiri, dan suami-suami masih sembunyi di pangkal paha istri-istri mereka atau kekasih yang lain.

Kota ini masih sama seperti beberapa waktu yang lalu. Bangunan-bangunan kuno berarsitektur eropa peninggalan Belanda, masih tegak berdiri. Hanya fungsinya saja yang berubah. Bangunan-bangunan itu dulu digunakan sebagai kantor negara, tapi sekarang sudah banyak yang berubah menjadi hotel dan swalayan.

Air mancur di taman kota tampak berkilau keemasan, tertimpa sinar bulan. Dulu, aku pernah berpelukan dan berciuman dengan kekasihku di taman ini. Entah, berada di mana ia sekarang.

Di bawah lampu di depan bangunan bekas kantor pos yang sekarang sudah menjadi swalayan, sepasang gelandangan tertidur beralas berita-berita di koran, sambil berpelukan. Berselimutkan embun dan cahaya bulan. Ah, alangkah bahagianya mereka, yang tak terbebani dengan segala macam tafsir dan pengertian. Tentang norma dan etika. Tentang apa saja.

Di seberang jalan, tepat di depan bangunan bekas kantor pos itu, berdiri tegak gedung setinggi 15 lantai dengan dinding berwarna kuning yang tampak mencolok dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang lain. I’Hotel, namanya. Di mana pada tanggal 12 Agustus, 19 tahun lalu, Jean-Michel Basquiat ditemukan tewas setelah mengkonsumsi heroin hingga overdosis.

Sebuah mobil lewat. Pelan-pelan. Seperti kenangan yang akan segera menghilang. Perlahan-lahan.

[Di Stasiun Kereta Api]
“Semir bang?”
“Tidak usah. Duduk saja di sini, kita ngobrol”.

Kami duduk di bangku depan stasiun, sementara orang-orang yang hendak bepergian sibuk berlalu lalang. Antrean masih panjang di depan loket. Dan calo-calo yang menawarkan tiket dengan harga dua kali lipat lebih mahal.

“Kamu tidak sekolah, kenapa?”
“Untuk apa sekolah? Hanya akan menyusahkan ibu dan ayah. Saya ingin membantu ibu dan ayah”.

Ah, anak sekecil ini harus membanting tulang mencari uang. Bagaimana dengan “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar yang seharusnya dipelihara oleh negara?”, pikirku.

Aku ingat sahabatku. Ia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ayahnya adalah seorang pengusaha yang sukses. Oleh kedua orangtuanya, ia diharapkan untuk menjadi orang yang sukses pula. Karena merasa tertekan, ia memasrahkan hidupnya dengan menggantung lehernya, dan secarik kertas berisi pesan kepada orangtuanya, “Pa, Ma, Aku tidak bisa memenuhi keinginan Papa dan Mama. Lebih baik aku mati atau bunuh diri”.

Sahabatku bunuh diri. Dan ia masih kelas tiga sekolah dasar. Waktu itu.

Bocah penyemir sepatu tadi sudah sibuk menyemir sepatu seorang bapak di bangku sebelah. Dengan wajah berseri menanti keping rupiah pertamanya, ini hari.

Kugendong ranselku, beranjak untuk segera melanjutkan perjalanan. Kereta akan segera berangkat.

[Di Kereta]
Aku melihat wajah-wajah asing. Tak ada yang kukenal, tak ada yang mengenalku. Mereka sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Ada yang mengobrol dengan teman sebangkunya, ada yang membaca koran atau majalah, ada yang tertidur, atau bahkan tak melakukan apa-apa. Aku, meski aku yakin bahwa kita tak sendiri, tapi aku tetap merasa tak mempunyai teman seperjalanan.

Kereta melaju, kencang. Serasa melepas semua hasrat dan keinginan. Wajah-wajah terdiam. Membeku dan pasi. Mencoba untuk menikmati perjalanan ini. Segala kasta dan rahasia menumpuk di sini. Entah, akan kemana kereta ini membawa. Tak ada yang peduli. Semua masih terdiam, berkeringat, pengap.

Kereta masih melaju. Tak peduli awan mendung menggantung, di ujung perjalanan.

[Tujuan Akhir]
Kemana kita akan pergi? Ke rumah kosong tak berisi. Kemana kita akan menuju? Yang tersisa hanya tubuh lebam biru.

Matahari meninggi, berangkat pergi. Tapi, gelisah ini masih tetap tertinggal di sini. Abadi.[]