Cuaca hari ini terasa begitu menyengat. Meski sudah
bertelanjang dada dan menggunakan kipas angin, tetapi tetap saja terasa panas.
Bahkan aku sampai harus membuka jendela untuk sedikit mengurangi rasa panas
ini. Tapi tetap saja tidak ada pengaruhnya. Tetap terasa panas.
Aku melanjutkan lagi menempelkan potongan-potongan
gambar ke kanvas. Kolase ini belum selesai, masih setengah jadi. Ada beberapa
gambar yang belum kutempelkan. Gambar bayi-bayi tanpa kepala, perisai, vagina,
swastika, sepasang mata, gitar, sebungkus rokok, sebotol anggur dan sebatang
korek api. Rencananya, kolase yang akan kuberi judul "in utero"
ini akan kusertakan dalam pameran seni yang akan diadakan di Pendopo Kabupaten
minggu depan.
Ketika aku masih asyik menempelkan gambar-gambar itu, seorang
laki-laki setengah baya datang menghampiriku. Kira-kira umurnya dua kali
umurku. Meski sudah banyak uban di kepalanya, tetapi tubuhnya masih terlihat
tegap.
"Nak, bagus sekali kolasemu itu",
ucapnya.
Terasa sekali bahwa laki-laki itu mencoba sedikit
berbasa-basi untuk membuka percakapan denganku. Aku diam saja, meneruskan
pekerjaanku tadi yang belum selesai.
"Maaf, kamu benar Jimbo, kan?", tanya
laki-laki itu padaku.
"Iya", dengan terpaksa aku harus berhenti
menempelkan gambar dan menjawab pertanyaannya.
"Memang kenapa? Bapak siapa?", tanyaku
kemudian.
Bapak itu diam sebentar, lalu menghela nafas.
"Aku...bapakmu", jawabnya datar.
Dhuaarr!!! Serasa seperti disambar petir ketika aku
mendengar jawabannya. Aku berhenti menempelkan gambar. Aku layangkan
pandanganku ke arah bapak itu. Aku amati wajahnya. Aku merasa asing. Dan, aku
merasa tidak mengenalnya.
"Kenapa nak?".
"Tolong bapak jangan mengada-ada. Bapak saya
sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu. Sejak kecil, saya hanya tinggal
bersama ibu saya. Jadi, sekali lagi, tolong bapak jangan mengaku-aku sebagai
bapak saya. Dan kalau pun ternyata bapak adalah benar-benar bapak saya, saya
tetap tidak akan percaya begitu saja."
Bapak itu terdiam. Masih memandangiku. Lalu
memandang kolase setengah jadi.
"Umur 6 tahun, waktu kamu main layang-layang
di sawah, pipimu terkena benang gelasan2) sehingga tergores
dan berdarah. Dan luka itu masih membekas di pipimu", bapak itu bercerita.
"Kemudian waktu kamu belajar naik sepeda, kamu
berkali-kali terjatuh dari sepeda. Tapi itu tidak membuatmu kapok untuk
belajar. Sampai pada suatu hari, kamu terjatuh dan membentur batu sehingga membuat tulang
tanganmu patah. Setelah itu kamu tidak mau lagi naik sepeda."
Bapak itu masih bercerita tentang hal-hal lain,
yang samar-samar masih membekas di dalam ingatanku.
"Masih belum percaya kalau aku bapakmu?".
"Bapak bisa saja mengarang cerita dan secara
kebetulan cerita itu sama dengan apa yang saya alami waktu kecil dulu."
"Nak, lantas apa yang harus saya lakukan untuk
membuatmu percaya?".
"Bapak tidak perlu melakukan apa-apa."
^^
Semua gambar sudah menempel di kanvas. Aku sedang
memberi sedikit sentuhan akhir untuk membuat “in utero” sempurna, ketika bapak itu datang lagi.
"Nak, ini foto bapak dan ibumu yang sedang
menggendongmu. Waktu itu kamu masih 3 tahun.", katanya sambil menyerahkan
selembar foto hitam putih yang kelihatannya sudah tua sekali, padaku.
Aku melihat foto itu. Persis sama seperti foto yang
dulu sering diperlihatkan ibu kepadaku, kalau aku merengek menanyakan tentang
bapak. Yang aku ingat, waktu ibu menunjukkan foto dan bercerita tentang bapak,
ibu terlihat bangga dan bahagia. Itu saja.
"Trus, kemana saja bapak selama ini? Ketika
ibu harus membanting tulang, bersusah payah untuk melunasi utang-utang bapak
pada rentenir? Ketika ibu harus bekerja keras untuk mencari makan dan
menyekolahkan saya?", kataku sedikit keras.
"Apa itu yang dinamakan dengan seorang
bapak?", kataku lagi, agak emosi.
Bapak itu terdiam. Menunduk. Lalu memandang “in
utero”.
"Sudahlah. Saya sudah biasa dengan keadaan
saya. Sejak kecil saya sudah merasa tidak mempunyai bapak. Bapak saya sudah
mati."
Kembali, bapak itu hanya terdiam. Kulihat bibirnya
sedikit bergetar, mungkin akan bicara. Sebelum sempat bapak itu bicara, segera
kusudahi saja perbincangan ini.
"Maaf pak, saya masih belum bisa menerima
bapak sebagai bapak saya."
^^
Pameran seni di Pendopo sukses besar. Dalam lelang
yang di adakan waktu pameran tadi, "in utero" laku terjual 250
juta. Pembelinya seseorang dari luar kota, yang pada waktu pelelangan tidak
datang dan diwakili oleh orang suruhannya. Jadi aku tidak bisa bertemu secara
langsung dengan kolektor "in utero".
^^
Jarum jam berdentang 12 kali. Sudah tengah malam.
Aku masih juga tidak bisa tidur. Berbagai pikiran berkecamuk di dalam otakku.
Dulu, aku pamit pergi ke kota dengan tujuan untuk
mencari penghidupan yang lebih layak, dan suatu janji kelak jika aku sudah
berhasil aku akan pulang dan membawa kembali anak dan istriku untuk menikmati
keberhasilan yang kuperoleh. Tapi, ternyata
kenikmatan yang ditawarkan oleh kesuksesan itu telah membuatku lupa akan
segalanya. Aku melupakan istriku. Aku melupakan anakku. Bahkan aku melupakan agamaku.
Sampai suatu ketika datang seseorang yang mengingatkan aku kembali pada anak
dan istriku.
Dan disaat rasa penyesalanku ini datang
menghampiri, semua sudah terlambat. Sangat terlambat. Istriku sudah meninggal.
Anakku tidak mau menerima aku sebagai bapaknya. Dan aku sendirian. Dan aku sendirian.
Hanya ditemani "in utero", kolase yang kubeli pada lelang
kemarin.
--d r o p--
[2006-2015]
1) “In Utero”, judul salah satu album Nirvana.
2) Benang tajam
yang biasa digunakan untuk saling beradu layang-layang.