[Di Gereja]
Mobil-mobil mewah berjajar
rapi di halaman gereja, satu-satunya tempat ibadah yang kutemui di sini. Misa
sore ini penuh sesak dengan para jemaat. Ayah ibu beserta anak-anaknya,
kekasih-kekasih dan orang-orang lainnya. Aku duduk di barisan kursi paling
belakang. Ujung sebelah kiri.
Kutbah dimulai, aku mulai
mengantuk dan tertidur. Seperti ketika aku mengikuti acara-acara sejenis di
masjid, pura atau vihara. Ritual yang sama, nama yang berbeda.
Aku tidak mendengar apa-apa,
aku tidak tahu apa-apa. Terakhir yang sempat kuingat sebelum aku terlelap,
hanya kata-kata si pengkutbah, yaitu “dia datang membawa kabar keselamatan”.
[Di Pusat Kota]
Berjalan di jam-jam sibuk, pengunjung
tampak ramai memadati pusat perbelanjaan, café, resto, juga taman. Masuk ke
café, aku merasa seperti dilemparkan kembali ke masa-masa lampau. Waktu yang
membeku. Memori yang bisu.
Keriput di langit-langit café
ini menyiratkan begitu lama kau dan aku menapaki perjalanan ini. Begitu juga
dengan rekahan yang tampak di dindingnya. Akankah mengisyaratkan akhir dari
cerita ini?
Aku berlama-lama tenggelam
dalam keharuman kopi, sambil terus berusaha mengulang kembali memori tentangmu.
Tapi, tak pernah bisa. Ada tabir yang menyelimuti. Seperti potret muram dalam
pigura berdebu, di sudut café ini.
Dini hari, belum subuh. Udara
masih menyisakan malam. Di jalan, tampak genangan air di beberapa tempat, bekas
hujan. Jalan masih sepi, toko-toko masih belum bangun berdiri, dan suami-suami
masih sembunyi di pangkal paha istri-istri mereka atau kekasih yang lain.
Kota ini masih sama seperti beberapa waktu yang lalu. Bangunan-bangunan
kuno berarsitektur eropa peninggalan Belanda, masih tegak berdiri. Hanya
fungsinya saja yang berubah. Bangunan-bangunan itu dulu digunakan sebagai
kantor negara, tapi sekarang sudah banyak yang berubah menjadi hotel dan
swalayan.
Air mancur di taman kota
tampak berkilau keemasan, tertimpa sinar bulan. Dulu, aku pernah berpelukan dan
berciuman dengan kekasihku di taman ini. Entah, berada di mana ia sekarang.
Di bawah lampu di depan
bangunan bekas kantor pos yang sekarang sudah menjadi swalayan, sepasang
gelandangan tertidur beralas berita-berita di koran, sambil berpelukan.
Berselimutkan embun dan cahaya bulan. Ah, alangkah bahagianya mereka, yang tak
terbebani dengan segala macam tafsir dan pengertian. Tentang norma dan etika.
Tentang apa saja.
Di seberang jalan, tepat di
depan bangunan bekas kantor pos itu, berdiri tegak gedung setinggi 15 lantai
dengan dinding berwarna kuning yang tampak mencolok dibandingkan dengan
bangunan-bangunan yang lain. I’Hotel, namanya. Di mana pada tanggal 12 Agustus,
19 tahun lalu, Jean-Michel Basquiat ditemukan tewas setelah mengkonsumsi heroin
hingga overdosis.
Sebuah mobil lewat.
Pelan-pelan. Seperti kenangan yang akan segera menghilang. Perlahan-lahan.
[Di Stasiun Kereta Api]
“Semir bang?”
“Tidak usah. Duduk saja di sini, kita ngobrol”.
Kami duduk di bangku depan stasiun, sementara orang-orang yang hendak
bepergian sibuk berlalu lalang. Antrean masih panjang di depan loket. Dan calo-calo
yang menawarkan tiket dengan harga dua kali lipat lebih mahal.
“Kamu tidak sekolah, kenapa?”
“Untuk apa sekolah? Hanya akan menyusahkan ibu dan ayah. Saya ingin
membantu ibu dan ayah”.
Ah, anak sekecil ini harus
membanting tulang mencari uang. Bagaimana dengan “fakir miskin dan anak-anak
yang terlantar yang seharusnya dipelihara oleh negara?”, pikirku.
Aku ingat sahabatku. Ia
berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ayahnya adalah seorang pengusaha yang
sukses. Oleh kedua orangtuanya, ia diharapkan untuk menjadi orang yang sukses
pula. Karena merasa tertekan, ia memasrahkan hidupnya dengan menggantung
lehernya, dan secarik kertas berisi pesan kepada orangtuanya, “Pa, Ma, Aku
tidak bisa memenuhi keinginan Papa dan Mama. Lebih baik aku mati atau bunuh
diri”.
Sahabatku bunuh diri. Dan ia masih kelas tiga sekolah dasar. Waktu itu.
Bocah penyemir sepatu tadi sudah sibuk menyemir sepatu seorang bapak di
bangku sebelah. Dengan wajah berseri menanti keping rupiah pertamanya, ini
hari.
Kugendong ranselku, beranjak untuk segera melanjutkan perjalanan. Kereta
akan segera berangkat.
[Di Kereta]
Aku melihat wajah-wajah asing. Tak ada yang kukenal, tak ada yang
mengenalku. Mereka sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Ada yang mengobrol
dengan teman sebangkunya, ada yang membaca koran atau majalah, ada yang
tertidur, atau bahkan tak melakukan apa-apa. Aku, meski aku yakin bahwa kita
tak sendiri, tapi aku tetap merasa tak mempunyai teman seperjalanan.
Kereta melaju, kencang. Serasa
melepas semua hasrat dan keinginan. Wajah-wajah terdiam. Membeku dan pasi.
Mencoba untuk menikmati perjalanan ini. Segala
kasta dan rahasia menumpuk di sini. Entah, akan kemana kereta ini membawa. Tak
ada yang peduli. Semua masih terdiam, berkeringat, pengap.
Kereta masih melaju. Tak peduli awan mendung menggantung, di ujung
perjalanan.
[Tujuan Akhir]
Kemana kita akan pergi? Ke rumah kosong tak berisi. Kemana kita akan
menuju? Yang tersisa hanya tubuh lebam biru.
Matahari meninggi, berangkat pergi. Tapi, gelisah ini masih tetap tertinggal di sini.
Abadi.[]